Wahai,
Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian? Hasan Aspahani ; Menerbitkan majalah Mata Puisi, Mengelola
situs www.haripuisicom, dan Ketua Komite Sastra DKJ 2020-2023 |
KOMPAS, 8 Agustus 2021
Ucapan
Endo Suanda, etnomusikolog, pakar arsip musik dan seni tradisi dalam diskusi
tentang preservasi seni yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), Selasa, 29 Juni 2021 lalu, memantik saya untuk menarik isunya ke dunia
sastra. Beliau
pada pernyataan penutup diskusi mengatakan, buku adalah benda mati yang hanya
akan hidup kalau dibaca, arsip tak ada artinya apabila tidak dikaji untuk
menghasilkan pengetahuan baru. Beliau tampak mengatakan itu dengan geram dan
cemas. Kesadaran kita untuk merawat arsip memang rendah, apatah lagi
menghidupkannya dan mengembangkan pengetahuan dari situ. Hal itu terjadi di
semua bidang, sastra, dan puisi tak terkecualikan. Puisi
adalah sebuah wilayah, atau sebuah daerah, kata Jassin. Penyair berada di
sana, meniup tifanya, menyuarakan sajaknya. Wilayah puisi itu tidak mati, ia
hidup, berkembang, menghidupi, dan dihidupi oleh penyair-penyair yang datang
dan pergi. Di wilayah itu tradisi sastra dibentuk dan dihidupkan, dengan
segala jejak pencapaian. Setiap
penyair yang memasuki lalu berada di daerah itu menghadapi ketegangan antara
konvensi pencapaian yang tertradisikan dan kesempatan berinovasi menawarkan
pembaruan yang bisa ia bayangkan untuk ditawarkan, hal apa yang disebut Teeuw
pada 1980 ketika membahas beberapa puisi penyair kita, terutama ketika ia
mengulas Sutardji. Setiap penyair yang masuk ke daerah itu sadar atau tidak,
ia terlibat dan terbawa arus sejarahnya. Seorang
penyair terseleksi atas pilihannya dan keberaniannya ketika mengatasi ketegangan
itu dan tentu saja seberapa berlimpah energi kreatif, bakat, kecerdasan, dan
kesungguhan dalam dirinya. Ketegangan itulah yang membuat daerah puisi
menjadi hidup, dinamis, bergerak, meluas, dan berkembang. Terciptalah apa
yang oleh Jacob Sumardjo sebagai topografi: sastra pop, sastra konvensional
atau mainstream, dan sastra avant garde. Sastra
yang sehat adalah ekosistem yang merawat semua yang berada dalam dirinya,
yang pop, yang konvensional, juga yang avant garde. Penyair bisa saja
bergerak, melompat, berpindah di semua ketinggian topografi itu. Kita ingat
Motinggo Busye untuk kasus ini. Sepanjang
bisa kita baca, sejarah puisi kita melahirkan para penyair yang menaklukkan
konvensi (bukan menolak atau mengingkarinya) dan dengan kuat menawarkan
inovasi. Di ranah prosa, kita bisa melihat bagaimana pengaruh inovasi Armijn
Pane, Idrus, dan Iwan Simaptupang, misalnya, berhasil mendobrak dan membuka
kemungkinan perkembangan tradisi baru. Di
daerah puisi, kita punya Amir Hamzah, Chairil, Sutardji, Afrizal, dan Jokpin,
sekadar mengingat beberapa nama yang kerap disebut ketika kita bicara soal
keberhasilan mendobrak konvensi, memperluas daerah penjelajahan puisi,
membuka gerbang kemungkinan baru, dan menempatkan diri dan puisinya di gigir
avant garde, dalam hal bentuk dan tema. Penyair
hidup dan bernapas dalam konvensi itu. Ia merawat tradisi, tapi harus juga ia
lakukan bagaimana ia bisa menaklukkannya, bukan tunduk atau takluk pada
kejumudannya. Sajak Chairil yang paling matang dari sisi isi ditulis dalam
bentuk kwatrin yang rapi, bukan dalam bentuk sajak bebas. Kwatrin adalah
konvensi klasik dalam bentuk. Konvensi
adalah zona nyaman, yang menyinambungkan kehidupan puisi kita, tapi harus
diingatkan kita tak boleh terjebak di situ. Kita melihat para penyair
berkerumun di sana agar tetap dianggap hadir. Dengan konvensi, mereka
memenuhi undangan menerbitkan antologi bersama, dengan mengikut konvensi ia
berharap bukunya dilirik penerbit. Di
situlah perlunya para pendobrak, para pembaru, untuk mengganggu keterlenaan
perpuisian kita, dan mengusik kenyamanan para penyair yang girang
ketawa-ketawa sambil memeluk konvensi persajakan umum. Kita
merindukan dan memerlukan banyak penyair yang dengan gagah mengambil risiko
menjadi inovator, mendobrak konvensi, bereksperimen, dengan segala risiko
yang kerap tak nyaman. Risiko itu adalah: ia dengan serta-merta disambut
tepuk tangan dan dielu-elukan, atau hasil kerjanya tak terpahami,
eksperimennya tertolak dan hanya dianggap kenes, lalu ia kelelahan, kehabisan
energi kreatif, lalu berhenti dan kembali ke konvensi. Di
situlah pula kita bisa merasa cemas. Kita kekurangan para inovator. Atau
bahkan yang kita hadapi adalah ketiadaan. Penyair muda, juga mereka yang
sudah matang dengan pengalaman, seperti tak merasa perlu menyadari adanya
ketegangan itu. Asyik berkubang saja di wilayah konvensi, jadilah puisi kita
seakan menggenang saja, tak mengalir ke mana-mana. Pada
puisi, seni puisi, sebagai mana seni lain, kreativitas adalah mesin, adalah
motor penggerak kemajuan. Juga padanya segalanya dipertaruhkan. Seorang
inovator berada di garis itu. Sejarah puisi kita akan berisi bahan-bahan
catatan yang kaya dan menarik apabila para penyairnya serentak,
sendiri-sendiri dan bersama-sama menyinambungkan apa yang telah ada, mengulang
hal-hal baik, mengembangkan yang belum maksimal dan masih mungkin dimajukan,
dan terutama mengubah ke arah kemungkinan-kemungkinan baru. Dan,
itulah persoalannnya: pengarsipan hasil karya sastra kita jauh dari lengkap,
jika tidak ingin dibilang buruk. Ada upaya-upaya pribadi yang harus diberi
salut, tapi ketika bicara soal kesadaran untuk memanfaatkannya kita harus
berpikir bagaimana membangun sistemnya. Padahal,
itulah bahan utama yang harus dirujuk dan diolah apabila seorang penyair hari
ini ingin membangun fondasi persajakan yang kuat dan memperkuat tradisi
perpuisian kita, juga apabila ingin mendobrak dengan inovasi baru. Ditambah
lagi godaan untuk berkreasi nyaman di jalur konvensional—bahkan
ngepop—terlalu besar. Sastra kita, dipenuhi orang yang berkreasi setengah
hati—memakai istilah Budi Darma—dan kita memang kekurangan para inovator. Wahai,
para inovator sastra, di manakah kalian? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar