Olimpiade
dan Kesenian Selalu Bergandengan Tangan Agus Dermawan T ; Pengamat Seni Rupa; Penulis Buku Karnaval
Sahibulhikayat |
KOMPAS, 8 Agustus 2021
Olimpiade
Tokyo 2020 digelar pada 23 Juli sampai hari ini, 8 Agustus 2021. Mata manusia
di bumi telah memperhatikan pesta olahraga terbesar ini. Prestasi demi
prestasi telah dicatat dan kenangan pertandingan lekat terpateri. Di
balik peristiwa olahraga yang seru itu sesungguhnya ada ”makhluk halus” yang
selalu mendampingi. Dan itu adalah kesenian. Pendampingan ini dimulai sejak
Olimpiade kuno diselenggarakan di Yunani pada ribuan tahun silam. Bukti dari
peran kesenian itu tampak pada banyaknya artefak yang kini terpajang di
Museum Olympia di kota Olympia. Begitu menariknya artefak sehingga sejumlah
patung batu, tembikar dan tembaga merangsang hasrat perampok pada 2012. Olimpiade
dan kesenian tetap bertaut hati ketika Olimpiade modern mulai digagas pada
akhir abad ke-19. Dan itu dimulai ketika seorang bangsawan Perancis, Pierre
Baron de Coubertin, melihat bahwa ada sebuah kota kecil di Inggris telah
beberapa kali mengadakan pertandingan olahraga bagi atlet-atlet berbagai
wilayah. Ia berpikir: alangkah menarik apabila perhelatan olahraga itu diformulasi
dalam bentuk seperti Olimpiade. Untuk mengembangkan ide tersebut, ia lantas
berdiskusi panjang dengan para sejarawan dan pakar olahraga Yunani, pihak
yang memiliki sejarah Olimpiade kuno. Sampai akhirnya Olimpiade modern
pertama pun digelar di kota Athena pada 1896. Dalam
perancangan acara, panitia penyelenggara mendapati fakta bahwa perhelatan
olahraga Yunani dahulu kala senantiasa bersekutu dengan kesenian. Mengapa itu
terjadi, ceritanya demikian. Syahdan
Olimpiade kuno yang digelar pada 776 SM sampai 394 M adalah sebuah ritual
besar untuk memuja Zeus (Dewa Langit dan Bumi), bapak para dewa yang tinggal
di puncak Gunung Olimpus. Dan sekaligus untuk memuliakan Athena (Dewa
Kebijaksanaan dan Kejujuran), Hermes (Dewa Perdagangan), Apollo (Dewa Kesenian
dan Logika) serta Aphrodite (Dewi Kecantikan dan Percintaan). Bentuk pemujaan
dan pemuliaan itu berupa pergelaran besar Olimpiade, yang diselenggarakan di
kota Olympia, sebelah barat kota Athena. Konten
utama Olimpiade kuno ini adalah pertandingan olahraga, yang dipersembahkan
sebagai kultus atas Dewa Zeus. Karena pesta ini juga menjunjung Dewa Athena
dan Dewa Hermes, maka setiap acara diproyeksi bisa mengembangkan kearifan
budi serta kesejahteraan sosial ekonomi warga kota Olympia (dan Yunani). Lalu
untuk pemuliaan Dewa Apollo dan Dewa Aphrodite, kesenian dimunculkan sebagai
bagian amat penting dari perhelatan. Busana para penyambut, alat olahraga,
mahkota daun dan buah zaitun bagi juara, sampai panggung perhelatan didesain
indah. Acara pembukaan pun dikemas dalam seremoni artistik. Pada
hari-hari pertandingan, di luar arena ada pertunjukan musik tambur, lira,
sampai harpa. Ada pula pembacaan syair, pentas monolog dan dongeng. Bahkan
ceramah filsafat, yang berkonteks dengan gairah dan semangat manusia. Dalam
buku The Histories yang disusun sejarawan dan ahli geografi Yunani, Herodotus
(kelahiran 484 SM), ceramah filsafat biasanya dilakukan di sejumlah kuil di
Olympia. Sementara kesenian boleh dipentaskan di mana saja. Lalu
dalam Olimpiade kuno, olahraga dan kesenian terlihat selalu bergandeng
tangan. Pembukaan dan penutupan Pada
Olimpiade modern, persahabatan kesenian dan olahraga paling kelihatan pada
saat opening dan closing ceremony. Dua acara ini di kemudian hari ditunggu
sebagai bagian yang harus dipandang sepenuh mata. Karena akhirnya kemunculan
kesenian di situ tidak lagi cuma bermuatan mitos atas Apollo dan Aphrodite,
tetapi juga menjadi ajang pertunjukan kebudayaan bangsa yang jadi
penyelenggara. Persis
seperti yang dikatakan petinggi panitia Olimpiade Meksiko 1968: ”Seni adalah
wajah kebudayaan sebuah bangsa. Acara Olimpiade–betapapun itu memerlukan
biaya selangit–adalah kesempatan emas untuk menunjukkan ketinggian kesenian
bangsa kepada khalayak dunia.” Itu sebabnya sebuah negara kadang tak lagi
menghitung medali yang akan didapat, tetapi bagaimana lewat kesenian di
Olimpiade bangsanya naik martabat. Kesenian
pun lantas dieksplorasi habis-habisan dalam acara Olimpiade sepanjang 120
tahun terakhir. Olimpiade
1992 di Barcelona, misalnya, mementaskan warni-warni kebudayaan Spanyol, yang
merupakan asimilasi dari budaya Visigothic Eropa, Latin, Islam Timur Tengah,
Katolik Roma, dan Meditarenia. Tarian flamenco, fandango, mulneira sampai
jerapah jangkung lukisan surealis Salvador Dali pun muncul secara spektakuler
di lapangan. Olimpiade
London 2012 mementaskan teater akbar bertema keunggulan manusia Inggris dalam
menaklukkan seribu tantangan. Sejak dari penguasaan jagat samudra sampai
pembangunan pabrik-pabrik raksasa. Olimpiade
Beijing 2008 menyajikan keragaman kesenian China yang tumbuh dari kurun ke
kurun. Dari musik, syair, busana, arsitektur, tari, sampai seni bela diri.
Sebagai negeri yang mengklaim memiliki kebudayaan berusia 10.000 tahun, China
mengisi panggung dengan seni visual yang nyaris tak masuk akal estetiknya.
Kaligrafi, keramik, relief-relief Buddha masa silam dihadirkan gigantik dalam
teknologi maya. Sendratari kolosal era keemasan seni Dinasti Han dihidupkan
dengan gegap gempita. Olimpiade
Atlanta 1996 menghadirkan seni teater fantastik yang menceritakan para
olahragawan Yunani kuno sedang beratraksi di depan Dewa Zeus. Efek sinematik
muncul dari olahan seni multimedia. Bentangan kain 150 meter dan sorot lampu
ratusan ribu watt menghantar pemandangan historis yang mencengangkan. Olimpiade
Sydney tahun 2000 menggelar pertunjukan kolosal ihwal perjalanan bangsa
Australia, yang dimulai dari keunikan budaya Aborigin, keajaiban bukit Uluru
dan karang Ningaloo yang disemburati aurora, cahaya milik Dewa Apollo. Ihwal
di atas mengingatkan kita kepada kiprah Wishnutama dan para seniman Indonesia
dalam membuka Asian Games XVII Jakarta-Palembang 2018. Dalam perhelatan itu,
Indonesia menghadirkan pentas konfigurasi ribuan penari yang megah gempita di
panggung Gelora Bung Karno. Kekuatan seni Indonesia dari Aceh sampai Papua
menghantar wajah cantik budaya Indonesia ke dunia internasional. Yang
jangan dilupa: pesta kembang api dalam setiap pembukaan dan penutupan.
Semburan bunga api yang sungguh indah itu adalah bentuk pengingatan atas mitos
Zeus sebagai sang pemilik setriliun petir! Mematri kenangan Selanjutnya,
untuk mengabadikan kenangan atas kehebatan perhelatan, dibangunlah taman seni
dan museum seni. China menghamparkan Beijing Olympic Park di Distrik
Chaoyang. Seni arsitektur niaochao atau yanwo (sarang burung) rancangan
perupa kontemporer Ai Weiwei yang dibangun oleh Herzog & de Meuron dari
Swiss tentulah diposisikan sebagai ikonnya. Jepang
mendirikan Japan Olympic Museum di Tokyo. Benda memorabilia Olimpiade,
termasuk jajaran medali kemenangan Jepang yang bertubi-tubi dihidangkan
dengan ramuan seni ultramodern. Wahana ini mendampingi Museum Olimpiade dan
Paralimpic di Colorado, Amerika Serikat, yang berangkat dari konsep seni rupa
kontemporer. Jauh hari sebelumnya Korea Selatan pada 1988 membangun Olympic
Sculpture Park di Seoul, yang memajang 190 patung monumen dari seluruh dunia. Olimpiade
dan kesenian memang selalu terlihat jalan bersama. Sementara
itu, diakui, penghadiran kesenian spektakuler di panggung Olimpiade
memerlukan biaya sangat tinggi. Itu pasti lantaran kesenian yang istimewa
memang barang mahal. Namun, ”keluhan” atas harga nan tinggi itu akan luruh
ketika kita ingat ucapan para dewa di Gunung Olympus: Omnium Artium (seni
terbaik, berapa pun harganya) adalah sangat layak untuk sang citius, altius,
faltius. Bagi yang tercepat, yang tertinggi, dan yang terkuat! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar