Stabilkah
Indonesia pada Proklamasi Ke-100? Jean Couteau ; Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 8 Agustus 2021
Di
mana-mana bendera Merah Putih sudah berkibar. Di mana-mana masyarakat
merayakan kemenangan medali emas bagi pemain bulu tangkis di Olimpiade Tokyo. Ya,
biar pun korban pandemi berjatuhan tak terhitung jumlahnya, rakyat seluruh
Nusantara masih tetap bersiap-siap untuk merayakan dengan gembira ulang tahun
ke-76 Kemerdekaan Indonesia. Tetapi, akankah demikian pula bagi proklamasi
ke-100? Sekarang
ini, bila Indonesia dibandingkan dengan negara multireligius apa pun lainnya
di Asia, situasinya jauh lebih baik. India boleh disebut demokratis, tapi
tetap ada perlakukan diskriminatif terhadap warga minoritas Islam di sana.
Lalu bagaimana Pakistan? Di situ, para penganut Syah dan Sikh juga mengalami
diskriminasi. Bagaimana
Bangladesh? Sederhana: minoritas Hindunya ramai-ramai hengkang ke India,
bukan tanpa alasan. Kalau Myanmar? Lebih jelek lagi: bahkan pada waktu
kepemimpinan ”demokratis” seorang Aung San Suu Kyi, penduduk Rohingya kerap
disebut korban ”genosida”. Bisa
saja mengulur daftar negara lain: Sri Lanka memiliki persoalan serupa.
Thailand dan Filipina punya persoalan separatisme Islam-nya. Sebagai penutup,
bagaimana dengan China? Oh! Kalau Islam Uighur, memori kulturalnya digojlok
agar tampil ”Marxis-Leninis” ragam China. Belum tentu lebih baik, kan? Rumus
kebangsaan Indonesia tampak jauh lebih kokoh daripada rumus kebangsaan hampir
semua negara multireligius lainnya, yang entah ”menaklukkan” agama seperti
China; memutlakkannya secara hukum atau faktual seperti Pakistan dan Myanmar;
atau melencengkan hukum sehingga suatu agama saja diunggulkan, seperti di
India, Bangladesh, dan bahkan Malaysia. Melihat
itu, apakah Indonesia adalah ”surga” agama-agama? Tidak: berbagai anutan
marjinal masih terlarang; masih ada diskriminasi sana-sini. Namun, disokong
Pancasila, negara tidak mengancam agama, dan agama tidak mengancam negara;
semua institusi pokok negara bersifat multietnis dan multireligius: tentara,
polisi, peradilan, pendidikan; dan situasi keseharian tidak tegang di seputar
agama. Apakah
situasi multikultural ini bisa lestari? Tergantung. Pada umumnya, bila salah
kelola, modernisasi dapat bermuara pada kristalisasi identiter agama, antara
lain karena merombak mekanisme tradisional transmisi pengetahuan:
kemelekhurufan, yang fenomena ”baru” itu, memperluas otonomi tafsir terhadap
kitab-kitab suci; orang bisa mengaksesnya sendiri tanpa bimbingan guru
spiritual tradisional. Alhasil,
ketika tanda-tanda ketidakadilan sosial terlihat meningkat akibat
modernisasi, kerap terjadi elite-elite lama entah kehilangan kuasa atau tidak
ada pilihan selain merangkul para ideolog agama didikan baru yang lebih
”mempribumi” dan lebih fanatik juga. Jadi, agama tersulap menjadi sarana
perjuangan politik. Kalau sudah sampai ke situ, agama bisa saja terisap
pusaran identiter yang tiada henti, seperti di beberapa negara di atas. Jauh
dari pertimbangan spiritual apa pun. Indonesia
relatif terlindungi terhadap evolusi itu. Terlidungi oleh laut, tradisi
keterbukaannya, serta ideologinya. Tetapi, apakah cukup? Sejak 1966, otonomi
tafsir tahap awal sudah membawa buah: tafsir terbuka ala Nurcholish Madjid,
tetapi juga lahir kelompok-kelompok ultrakonservatif dan radikal. Namun,
tantangan yang sebenarnya berada 10-20 tahun ke depan: bila pendidikan sudah
meningkat, tetapi tanpa disertai keadilan sosial, terdapat risiko bahwa
generasi muda, yang semuanya akan rata-rata berijazah SMA ke atas, kian
cenderung melepaskan diri dari tafsir kiai/ulama tradisional untuk merangkul
tafsir radikal sebagai sarana perjuangan sosial. Fenomena
kemungkinan pergeseran pemuda Islam ke arah radikalisme ini menggugah
sosiolog terkemuka Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, untuk memberi
peringatan: ”Be ready for the worse”,
dia menulis tahun 2017, mengenai risiko radikalisme urban (Festschrift ke-84
Toeti Heraty, 2017). Risiko
radikalisme juga menghantui agama lain, dengan problematik yang serupa:
masalah sosio-ekonomi ditanggapi sebagai masalah agama. Misalnya di Bali, di
mana perlawanan terhadap reklamasi Teluk Benoa pernah mengambil bentuk
religius, dan di mana anggota DPD dengan raihan suara tertinggi kerap
berpidato di ambang batas toleransi. Yang
pokok ialah bahwa penguasa negeri ini memahami bahwa radikalisme agama adalah
fenomena sosial murni. Berakar di luar agama, dan hendaknya dihadapi secara
politik-demokratis, dibantu kebijakan pendidikan yang tepat nan ketat, serta
kebijakan keadilan sosial yang seadil-adilnya. Memahami
ini adalah syarat perayaan 100 tahun kemerdekaan yang riang gembira kelak, 24
tahun lagi. Mampukah sistem kepartaian ini menghadapi tantangan ini? Semoga. ”Prevention is better than cure”.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Merdeka!
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar