Senin, 23 Agustus 2021

 

Indonesia sebagai Keterberian Politik

Max Regus ;  Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores Alumnus S-3 Tilburg University, Netherlands

MEDIA INDONESIA, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

INDONESIA ialah sebuah keterberian politik. Kita menerima negeri ini sebagai hadiah politik puncak para bapak bangsa. Negeri ini bukan hanya susunan ketatanegaraan. Dia ialah bangunan peradaban politik. Di atasnya, ada dimensi pengetahuan dan kebijaksanaan politik. Ada cetakan pengalaman perjuangan dan kepahlawanan yang panjang dari para pendahulu. Negeri ini tidak kalah penting, ialah sebuah imajinasi tentang kemakmuran sosial. Bangsa ini menggenggam niat untuk bergerak di atas basis estetika dan etika sosial-politik.

 

Namun, perjalanan 76 tahun Republik Indonesia (RI) bukan semata lukisan indah linearitas waktu. Sejarah bangsa ini sekian sering juga terbekap dalam serial penistaan politik dan kekuasaan. Negeri ini saban waktu diwarnai pertengkaran politik. Sebagiannya berujung pada kekerasan sosial. Rasa kebangsaan pernah amblas dihantam keangkaraan politik. Pengabdian politik para elite terkikis hebat akibat ikhtiar rakus memperkaya para sanak.

 

Meski begitu, Indonesia harus menjejakkan kaki di antara patahan-patahan sejarah—yang sebagiannya menganga begitu lebar dan dalam. Ada saat negeri ini berada di titik terdalam dari kisah kejatuhan politik. Beberapa pemimpin politik nasional harus berakhir secara tragis. Seolah kekuasaan (politik) di Indonesia memanggul kutukan sejarah. Sesuatu yang menyebabkan bangsa ini kehilangan sebagian nilai-nilai keagungan politik. Dalam beberapa dimensi krusial, politik menyelipkan kepedihan ke dalam lembaran-lembaran sejarah negeri ini.  

 

Pengeroposan keutamaan politik

 

Hingga pada bentuknya yang paling mutakhir, sejak lama politik dianggap sebagai salah satu keutamaan (virtue). Politik mendefinisikan sistem nilai serentak etos pelayanan pejabat publik. Para filsuf politik mengajarkan politik sebagai bagian dari aktualisasi diri manusia menuju kesempurnaan. Politik ialah suatu cara berada. Sebagai cara berada, politik mesti memancarkan keadaban. Dengan itu, politik bernilai dalam dirinya sendiri.

 

Politik, kemudian lebih banyak beririsan dengan kekuasaan. Konsep politik kemudian berhubungan dengan segala privilese sosial dan ekonomi. Di titik ini, pada tangan sekelompok orang, yang kemudian sebagiannya muncul sebagai kelas oligarki, politik mengeropos dan membusuk tanpa terkendali. Ada penghancuran optio fundamentalis politik. Politik kemudian menyempit, sekadar sebagai ruang kerumunan keluarga dan kerabat kekuasaan.

 

Politik melesat jauh dari substansi. Politik kehilangan karakter konseptual asali. Politik tidak lagi menjadi basis nilai-etik. Di ranah praksis, politik kemudian hadir sebagai alat (instrumen) kepentingan kekuasaan—dari segelintir orang. Politik menjadi alat akumulasi keistimewaan, yang hanya boleh direngkuh kelas-kelas penguasa tanpa batas.

 

Politik menjadi jalan bagi elite. Mereka meraih banyak kemudahan, kenikmatan, dan pengecualian dari suatu kewajiban. Studi Johnston (2017) menyingkapkan politik sebagai pemulus akses bagi kelas penguasa ke dalam penguasaan aset-aset ekonomi.

 

Di Indonesia, politik kemudian berlaku lebih jahat dengan daya rusak yang tidak terkendali. Politik mengobrak-abrik ruang hidup bersama. Semua dimensi sosial-kemanusiaan, terhisap ke dalam kawah persaingan politik. Bahkan, bau amis politik menelusup masuk hingga ke dusun-dusun yang polos dan nir kebencian. Pertarungan kekuasaan meninggalkan borok-borok sosial yang membusuk dalam lingkaran kebencian tanpa akhir.

 

Pengelolaan konflik

 

Politik dalam kejumudan praktis seperti ini, cenderung membunuh dirinya sendiri. Salah satunya melalui konflik dan brutalitas politik. Politik Indonesia merekam ini dengan baik. Kita bisa menyebut deretan partai politik yang terpanggang dalam bara panas perselisihan.

 

Bentangan kenyataan historis ini sebetulnya membicarakan satu hal penting. Politik kita sering kali hanya tenggelam dalam kesibukan menggelembungkan volume dukungan politik. Mereka hanya berkutat dengan simpati publik. Sesuatu yang dikuburkan, ketika kekuasaan ada dalam jepitan ketiak politik mereka.

 

Pada ranah internal, pelembagaan nilai-nilai demokrasi kelihatannya tidak mengakar. Energi politik terhisap tanpa batas, untuk membangun dinasti politik. Secara implisit, ikhtiar busuk ini mungkin saja menggeser sumber daya lainnya (Kenawas, 2015). Di titik ini, sebuah kekuatan politik terlihat sangat solid. Namun, sebetulnya serentak ada dalam kerapuhan yang tidak terlihat. Pada aspek eksternal, kekuatan politik juga dipengaruhi eskalasi keterbukaan. Situasi yang mempercepat tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik alternatif, baik secara institusional maupun personal.

 

Bukan hanya pada aspek kelemahan, bagaimana kecerdasan mengelola kekuatan juga sebenarnya menentukan perjalanan kekuatan-kekuatan politik. Secara sosiologis, kekuatan-kekuatan politik tidak memiliki kemampuan mengatur, dan mengelola agensi-agensi politik mereka, baik ke dalam maupun ke luar. Padahal, konflik-konflik politik semacam ini selalu berkaitan dengan baik pada faktor eksternal, tetapi terlebih faktor internal mereka sendiri. Kesemrawutan yang sering tersaji di ranah politik sebagiannya muncul dari tidak memadainya profesionalitas dalam manajemen konflik (Vercesi, 2016).  

 

Kesadaran politik

 

Dalam situasi semacam ini, kita tidak menemukan dialektika wacana politik demi kematangan demokrasi. Para elite politik hanya mempertontonkan nihilisme etik. Kondisi politik ini, merujuk pada dua aspek fundamental berikut. Pertama, naluri dinasti kekeluargaan dan perkoncoan cenderung melenyapkan orientasi etis politik. Politik kekuasaan tanpa batas, cenderung berakhir tragis dengan membusukkan dirinya sendiri. Kedua, para elite tidak segan memperlihatkan kontestasi tanpa rasionalitas demokrasi. Kerakusan terus menggusur nilai-nilai utama etika politik.

 

Dua aspek di atas mendedahkan buramnya budaya politik. Tragisnya, berangkat dari potongan-potongan ketidakbecusan pengurusan sumber daya politik, situasi kontemporer ini mencuatkan divergensi pekat ketika kita sedang terengah-engah menghadapi krisis kesehatan di bawah ancaman pandemi covid-19. Para elite tanpa malu bergulat di atas panggung politik dengan urusan yang sarat bau amis kekuasaan. Negeri ini, kemudian lunglai ketika kemanusiaan tidak menjadi jiwa kunci keberadaan, sebagai kebersamaan politik.

 

Tidak ada waktu untuk mengelak dari luka-luka sejarah yang terus menguntit kesadaran bersama. Negeri ini harus terus berjalan melampaui kepedihan-kepedihan sosial-politik yang terpahat dalam ingatan. Pakar Indonesia, NS Nordholt (2001), di awal perjalanan reformasi dua dekade lalu mengingatkan kita pada panggilan politik abadi, bahwa Indonesia ialah perjalanan pencarian akan jati diri serentak proses mematangkan struktur dan mentalitas politik-kenegaraan.

 

Kesadaran bersama mesti mengalir pada panggilan merawat negeri ini sebagai sebuah keterberian politik. Indonesia sebagai anugerah politik abadi. Di dalamnya, ada kandungan tanggung jawab sosial-politik bersama—sebagaimana tema peringatan kemerdekaan RI 2021 ini—mengawal Indonesia yang terus tumbuh menjadi semakin tangguh.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/426767/indonesia-sebagai-keterberian-politik

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar