Senin, 23 Agustus 2021

 

Wisma Atlet, Saksi Bisu Semangat Bangsa

Bagus Satrio Utomo & Nastiti Tiasundari ;  Pemenang Lomba Karya Tulis Favorite PUPR Kategori PUPR

DETIKNEWS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sebuah karya bangsa untuk menjamu tamu-tamu negara di tahun 2018, Wisma Atlet yang telah berdiri diam selama hampir satu setengah tahun akhirnya hidup kembali sebagai Rumah Sakit Darurat COVID-19. Bukan hanya sebagai tempat isolasi terpusat atau tempat ICU semata, namun juga sebagai fasilitas yang dapat disandarkan warga Jakarta dan sekitarnya sebagai solusi nyata yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

 

Saat ini, tujuh gedung di Wisma Atlet Kemayoran dan tiga gedung di Wisma Atlet Pademangan dimanfaatkan sebagai fasilitas rumah sakit, tempat tinggal tenaga kesehatan, serta tempat karantina bagi para pendatang. Ini hanyalah cuplikan kecil dari segala yang terjadi di sekitar Wisma Atlet, sebuah gedung yang menjadi saksi bisu atas semangat dan karakter bangsa Indonesia.

 

Kisah yang epik ini berawal pada tahun 2014, saat Indonesia mendapat kehormatan sebagai tuan rumah Asian Games Tahun 2018 dan Asian Para Games Tahun 2018. Dengan hanya empat tahun yang tersisa, persiapan event ini merupakan sebuah perjuangan yang sangat berisiko. Tantangan besar muncul pada bulan Juli 2018, saat nama Bangsa Indonesia diuji dengan munculnya kasus Kali Item tepat sebelum pelaksanaan event bergengsi ini.

 

Sedianya, Kali Item memang sudah mengeluarkan bau tidak sedap, namun bau yang lebih menyengat menyeruak sesaat sebelum Asian Games diselenggarakan. Tajuk pemberitaan di luar negeri menyoroti betapa tercemar, beracun, dan baunya sungai yang berada di dekat kompleks yang nantinya menjadi tempat tinggal atlet berbagai negara peserta Asian Games. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Berbagai pihak menjawab panggilan tersebut dan saling membantu dengan satu tujuan, yaitu membereskan permasalahan Kali Item dengan cepat sebelum penyelenggaraan Asian Games. Berbagai metode dilakukan mulai dari pemasangan jaring, penyebaran nano bubble, bubuk penghilang bau, serta pengalihan aliran Kali Item ke Kali Sunter hingga akhirnya bau tidak sedap bisa dihilangkan.

 

Aksi yang kilat dan masif ini merupakan buah kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hingga dukungan dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Alumni UGM. Sikap Bhineka Tunggal Ika ini patut dicontoh, saat semua pihak dari berbagai golongan bahu-membahu menyelesaikan permasalahan atas dasar pengabdian untuk negeri.

 

Energy of Asia, itulah moto dari Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang dihadiri oleh hampir dua belas ribu atlet dan official se-Asia. Sebuah moto yang, uniknya, cocok menggambarkan hiruk-pikuk dan ketegangan sepanjang persiapan agar event ini dapat berjalan dengan lancar. Dengan tekad yang bulat dan dukungan dari masyarakat, Indonesia berhasil mempersiapkan Jakarta dan Palembang hanya dalam waktu 2 tahun dan 3 bulan.

 

Sejak penyelesaian konstruksi pada bulan Januari 2018, delapan bulan lamanya Wisma Atlet harus menunggu sebelum penghuni pertamanya menjejakkan kaki di kompleks ini. Kedatangan para atlet memecah kesunyian dan memberikan gairah kehidupan tersendiri di lingkungan Wisma Atlet Kemayoran. Geliat hiruk-pikuk dan euforia mereka mewarnai Wisma Atlet bagaikan tanaman bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Tidak sedikit pujian dari para atlet dan official atas fasilitas-fasilitas di Wisma Atlet Kemayoran yang telah menghibur dan menunjang performa mereka. Pencapaian ini mendapat pujian dari Olympic Council of Asia dan media mancanegara seperti The New York Times, dan South China Morning Post. Inilah klimaks bangkitnya nasionalisme dan rasa bangga kita terhadap ibu pertiwi.

 

Selepas berjalannya Asian Games, ada kisah pelik yang jarang kita lihat. Nasib Wisma Atlet yang tadinya dibangun dengan penuh harapan, terbengkalai sepeninggalnya para atlet dari tanah air kita. Pasca Asian Games 2018, Wisma Atlet Kemayoran sempat direncanakan untuk disewakan sebagai tempat tinggal Aparatur Sipil Negara yang bertugas di wilayah DKI Jakarta. Sangat disayangkan bahwa hal ini masih belum dapat dilakukan karena proses serah terima aset dari Kementerian PUPR ke Sekretariat Negara selaku pemilik tanah belum selesai, sehingga selama periode tahun 2018 hingga akhir tahun 2019, Wisma Atlet dibiarkan kosong.

 

Selama masa pemeliharaan pasca gelaran Asian Games, Kementerian PUPR melakukan perbaikan terhadap beberapa kerusakan yang terjadi. Tidak tanggung-tanggung, biaya pemeliharaan sebesar Rp 5 miliar dialokasikan dari APBN untuk pengelolaan, termasuk membayar tagihan listrik dan air selama satu tahun. Pengeluaran ini, termasuk perabot yang masih duduk di tiap kamar, menjadi bahan cerminan kita sebagai negara yang berkembang untuk tidak menyia-nyiakan kekayaan yang kita miliki.

 

Kisah kita berlanjut pada awal tahun 2020 saat wabah COVID-19 mulai merajalela. Pada bulan Maret 2020, Presiden Joko Widodo membuka Wisma Atlet sebagai RS Darurat COVID-19. Pada saat itu, pengetahuan akan penyakit ini masih minim dan belum ada penanganan yang jelas untuk menjamin pemulihan pasien. Bagi orang yang tertular di masa awal COVID-19, banyak sekali info simpang siur yang beredar di masyarakat. Begitu pula rasa takut berlebih yang dapat kita lihat dari berita-berita di luar negeri. Kerap kita lihat diskriminasi sesama tetangga, ketidakpercayaan antar masyarakat, dan sulitnya pengerahan kebijakan preventif yang dikeluarkan oleh pemerintah. Adanya RS Darurat di periode ini ibarat dinding sandaran bagi pasien yang bingung mencari pertolongan, yang tidak tahu harus berobat ke mana, atau berbuat apa. Di sinilah kisah kita benar-benar dimulai.

 

Tanpa dipungut biaya dan tanpa harus memikirkan cara memenuhi kebutuhan hidup selama perawatan, masyarakat bisa mendapat jaminan dari pemerintah bahwa siapa pun yang sakit memiliki hak yang sama untuk mendapat pertolongan. Wisma Atlet bukanlah rumah sakit tempat para pasien menunggu dengan pasrah. Lebih dari itu, kompleks beton ini merupakan komunitas yang penuh warna, penuh semangat dan senyuman. Jejaring grup WhatsApp untuk setiap pasien dibuat agar mereka bisa bercengkrama dan saling menyemangati satu sama lain.

 

Kegiatan komunal seperti sepak bola, senam, klub bermain, dan berbagai jenis lomba membantu mencerahkan hari-hari mereka. Ikatan yang kuat ini bukan hanya membantu percepatan kesembuhan para pasien, namun juga membantu mereka untuk menjalin hubungan baru yang dapat menjadi tempat pertukaran ide dan membuka kesempatan baru bagi orang-orang yang telah kehilangan pekerjaan di masa yang sulit akibat pandemi.

 

Semangat tersebut tidak berhenti di dalam gedung wisma saja. Puluhan masyarakat dari berbagai latar belakang datang ke Wisma Atlet untuk memberikan berbagai macam sumbangan dari bahan makanan hingga alat pelindung diri. Semangat kebersamaan ini kita curahkan untuk meringankan beban mereka yang sedang berjuang, baik pasien maupun tenaga kesehatan. Media sosial pun mulai dibanjiri oleh gambar-gambar makanan manis dan kartu ucapan yang dikirim untuk meringankan keluh kesah tenaga kesehatan yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan hidup saudara-saudaranya. Sementara COVID-19 terus mendesak pemerintah untuk menambah jumlah rumah sakit rujukan dan tempat isolasi terpusat di seluruh Indonesia, virus positif dalam bentuk paparan media sosial ini kian menyebarkan kepekaan masyarakat akan perjuangan yang sedang terjadi.

 

Era dari new normal telah datang, era saat kita saling mengingatkan dan menjaga kesehatan satu sama lain untuk bisa bertahan hidup bersama. Salah satu nilai moral yang bisa kita pelajari dari COVID-19 ini adalah kita tidak dapat hidup sendiri. Kita terpaksa untuk menjaga kesehatan orang di sekitar kita demi menjaga kesehatan diri sendiri. Sayangnya, hal ini terlupa dari benak kita semua saat datang Hari Raya Idul Fitri. Budaya lebaran, nikmatnya kembali pada sanak saudara di kampung halaman, terlalu sulit untuk ditinggalkan. Sebuah budaya yang selama ini merupakan keunggulan moral bangsa menjadi bencana bagi kita semua ketika kita tidak mampu menunda hasrat untuk pulang. Para tenaga kesehatan tahu apa yang akan menunggu di balik lebaran, dan kita semua bersiap untuk hal itu. Menunggu hari-hari datangnya sebuah konsekuensi yang pasti.

 

Ledakan kasus baru pun muncul sesuai prediksi, ditunggangi oleh jenis virus yang lebih ganas dari sebelumnya. Hal ini menimbulkan efek yang amat berat bagi bangsa. Penambahan bed ICU dan IGD di rumah sakit tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan yang selama ini harus bekerja diambang batas. Tidak sedikit kita lihat liputan dari rumah sakit bahwa pasien perlu mengantre selama berhari-hari menunggu bed ICU yang kosong. Pada beberapa kasus, bahkan pasien terpaksa tidur di lantai. Kita semua memantau grafik jumlah kematian yang terus melesat. Hari demi hari kita jalani dengan berita duka yang datang secara bertubi-tubi.

 

Walau begitu, bangsa ini tidak tinggal diam. Wisma Atlet yang awalnya hanya membuka dua gedung sebagai rumah sakit darurat, saat ini mengoperasikan empat gedung sebagai rumah sakit, tiga Gedung sebagai rumah karantina, dan tiga sisanya sebagai tempat tinggal para tenaga medis. Pemerintah mempersiapkan skenario terburuk jika nantinya seluruh bed di Wisma Atlet akan dipenuhi pasien. Koordinasi antar sektor terus dilakukan untuk melaksanakan penambahan peralatan dan personil, serta pengadaan infrastruktur penunjang dalam rangka mengembangkan kapasitas Rumah Sakit Darurat COVID-19 yang berlomba dengan kenaikan jumlah pasien.

 

Puncak lonjakan pandemi hadir pada tanggal 30 Juni 2021 dengan lebih dari tujuh ribu pasien memenuhi kamar Wisma Atlet. Ledakan kasus ini bagaikan tamparan keras yang membangunkan kesadaran masyarakat yang kian menurun. Foto penuhnya lobby Wisma Atlet, lobby yang selama ini menjadi harapan bersandarnya para pasien yang mencari pertolongan, menjadi katalis penggerak hati banyak orang untuk mengingatkan sesama bahwa pertempuran ini belum selesai.

Kesadaran ini terlihat jelas pada program pembatasan sosial terbaru, yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Indonesia (PPKM).

 

Berbeda dengan program sebelumnya, penyelenggaraan PPKM kali ini berakhir dengan penurunan drastis jumlah kasus COVID-19 selama hampir satu bulan penuh. Hari demi hari, jumlah penghuni Wisma Atlet kian menurun, hingga hari ini Wisma Atlet hanya merawat sedikit di atas dua ribu pasien. Namun perjuangan belum selesai. Selama masih ada orang yang rentan akan penyakit ini, belum saatnya kita merayakan. Sebagai sebuah bangsa yang besar, kita tidak boleh lengah dalam menghadapi tantangan yang begitu nyata di hadapan kita.

 

Di sini lah kisah kita berhenti, namun belum berakhir. Dari awal direncanakan sebagai tempat tinggal untuk para atlet, hingga sekarang berdiri sebagai Rumah Sakit Darurat COVID-19, keberadaan Wisma Atlet menjadi bukti pengabdian kita untuk negeri. Tanpa kita sadari, bangunan dari beton dan baja itu telah menjadi saksi semangat, keringat, tangis, dan tawa dari berbagai kisah yang dilaluinya. Tanggung jawab pemerintah atas rakyatnya, bahu-membahu dari berbagai kelompok masyarakat, tenggang rasa dari sesama, dan tekad keras untuk terus maju dan menolak untuk menyerah adalah nilai-nilai yang tidak boleh kita tinggalkan. Saudaraku, jika dinding bisa berbicara, inilah kisah sebuah karya bangsa. Bukan hanya sekedar gedung, Wisma Atlet adalah warisan yang patut kita jaga sebagai saksi bisu semangat bangsa.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5689358/wisma-atlet-saksi-bisu-semangat-bangsa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar