”Unboxing”
Pembelajaran Tatap Muka Oong Komar ; Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu
Pendidikan Luar Sekolah |
KOMPAS, 12 Agustus 2021
Pelaksanaan
pembelajaran tatap muka pada masa sebelum pandemi Covid-19 dianggap
biasa/lazim dan tidak diperhatikan. Pada saat ini menjadi fokus perhatian,
terutama agar pembelajaran tatap muka tidak menimbulkan kluster penularan
Covid-19, dengan penyediaan alat protokol kesehatan menjadi syarat penting. Peserta
didik pun diatur khusus per rombongan belajar, jumlah dibatasi hanya 50
persen dan lama kegiatan belajar dua jam. Sehingga dengan aturan tersebut,
kehadiran peserta didik belajar tatap muka per minggu hanya pada hari
tertentu. Pengamatan
pembelajaran tatap muka menunjukkan, pertama, berbentuk tahapan kegiatan,
yaitu mencakup tahap perencanaan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi.
Kedua, berupa keterlibatan komponen, yaitu melibatkan komponen guru, peserta
didik, teaching materials, tujuan, metode, evaluasi, dan lain sebagainya. Ketiga,
berwujud penampilan (performance) perilaku pemain, yaitu penampilan pemain
dalam proses interaksi guru-peserta didik-teaching materials-lingkungan
secara timbal balik. Kondisi
proses pembelajaran tampak bersifat black box. Analisis setiap faktor-faktornya
belum bisa terdeteksi tingkat keterlibatannya, penciptaan situasi berbentuk
kondusifitas melalui otonomi guru, seperti kewibawaan, refresif, laissez
faire, permissive, dan sebagainya, dan pada rencana pelaksanana pembelajaran
(RPP) pun sifat isinya deskripsi naratif. Esensi pembelajaran Paling
tidak, membuka black box pembelajaran melalui pendekatan psikologi dan
pendekatan sistem. Pertama, salah satu pendekatan psikologi memandang
pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang reatif tetap, dari
pengalaman yang dilaluinya (Clifford T
Morgan, 1961). Menurut
teori behaviorisme Throndike, poses pembelajaran didasarkan pada hubungan
antara rangsangan (stimulus) dan balasan (respons). Sehingga, perilaku
terbentuk melalui pengendalian kaitan antara stimulus (rangsangan) dan
respons (balasan). Ada
tiga hukum pembelajaran, yaitu jika kondisi peserta didik disiapkan lebih
dahulu sebelum mengikuti pembelajaran (rangsangan), maka hasil pembelajaran
semakin meningkat (respons) atau disebut law of readiness. Kemudian, jika
kondisi peserta didik dilatih terus-menerus melakukan pembelajaran
(rangsangan), hasil pembelajaran semakin meningkat (respons) atau disebut law
of exercise. Terakhir, jika kondisi peserta didik memperoleh kepuasan
mengikuti pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran semakin meningkat
(respons) dan sebailknya atau disebut law of effect. Kedua,
penggunaan pendekatan sistem pada pembelajaran, dipandang untuk keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran yang ditentukan oleh fungsi semua komponen
pembelajaran. Menurut Witte and Walsh (1990) bahwa input, proses, lingkungan,
dan perangkat pembelajaran dapat menjadi luaran pencapaian tujuan
pembelajaran. Sehingga terjadi kegiatan pembanding antara luaran (output) dan
masukan (input). Semakin tinggi perbandingannya, semakin tinggi produk yang
dihasilkan. Maka terjadi pengaturan pemanfaatan semua komponen pembelajaran
untuk mencapai optimalisasi hasil pembelajaran atau tolok ukur produktivitas. Terdapat
tiga aturan pembelajaran. Satu, pengelolaan secara terorganisir faktor-faktor
pembelajaran, yaitu peserta didik, guru, media, perangkat pembelajaran dan
sebagainya. Dua, interaksi pembelajaran melakukan pengolahan/pengubahan,
yaitu memproses input menjadi sejumlah output yang memiliki nilai tambah atau
nilai guna/ekonomis (outcome). Tiga, implementasi pembelajaran dapat
diamati/dilihat (observabilitas), yaitu penggunaan perangkat pembelajaran
dapat dimonitor secara nyata. Tantangan pembelajaran Berdasarkan
pandangan psikologis dan sistem di atas, ternyata kondisi pembelajaran belum
memenuhi harapan. Sehingga, proses pembelajaran saat ini belum mampu
mengendalikan capaian tujuan pendidikan. Pertama,
dipandang satu-satunya alat monitor proses pembelajaran melalui instrumen tes
pembanding antara pre-test dengan post-test, dimana terdapat selisih dianggap
tingkat daya serap peserta didik pada proses pembelajaran. Hasil selisih itu
pada hakikatnya tidak diketahui, apakah faktor yang berasal dari diri peserta
didik yang telah dimiliki sebelumnya, ataukah faktor kebetulan peserta didik
dapat menjawab tes dengan baik dan dengan cara lain. Guru sekalipun ketika
proses pembelajaran berlangsung tidak mengetahui apa yang terjadi pada
peserta didik. Kedua,
tampak capaian tujuan pembelajaran menunjukkan market driven. Pertama, sering
pembelajaran cenderung mengejar capaian nilai angka. Kedua, fenomena
pembelajaran cenderung bersifat kompetitif daripada eqity dan equality.
Ketiga, profil perilaku pembelajaran cenderung berfokus ranah kognitif. Oleh
karena itu, capaian puncak hierarki jenjang pendidikan pada peserta didik
belum menggambarkan wujud amanat UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003, serta kebijakan pemerintah dan Kemendikbudristek.
Sehingga, urgen merestorasi learning outcome kompetensi profesi guru,
mengenai analisis makna pendidikan yang termaktub dalam perundang-undangan
dan elaborasi kebijakan pemerintah. Pertama,
menambahkan learning outcome kompetensi profesi guru mengenai analisis makna
pendidikan untuk mewujudkan capaian puncak hierarki jenjang pendidikan pada
peserta didik. Sebagaimana amanat UU Sisdiknas bahwa pendidikan adalah ”usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara”. Sehingga ”usaha sadar dan terencana” tersebut tersurat sebagai
nama mata kuliah tersendiri pada kurikulum pendidikan profesi guru, agar
terprogramkan mengenai konsep dan teori ”usaha sadar dan terencana” sejak
apa, mengapa, bagaimana, makna yang dikandung dan indikator-indikatornya
hingga implementasi dan perangkat pembelajarannya. Kedua,
menambahkan learning outcome kompetensi profesi guru mengenai elaborasi
kebijakan pemerintah, untuk mewujudkan capaian pengembangan SDM sebagai
kapital intelektual yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, serta
siap menghadapi era globalisasi. Yaitu kondisi era Revolusi Industri 4.0 yang
bertumpu pada cyber-physical system, dengan didukung oleh kemajuan teknologi,
basis informasi, pengetahuan, inovasi, dan jejaring, yang menandai era
penegasan munculnya abad kreatif. Pengembangan
SDM yang dikehendaki, dihasilkan melalui sekolah yang berintikan peran dan
tugas guru. Sehingga, guru harus mampu menciptakan transformasi pembelajaran
yang dapat membekali dan menyiapkan lulusan sekolah menjadi generasi yang
unggul, yang tanggap dan siap menghadapi tantangan jamannya, serta tanpa
tercerabut dari akar budaya bangsanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar