Sabtu, 14 Agustus 2021

 

”Unboxing” Pembelajaran Tatap Muka

Oong Komar ;  Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu Pendidikan Luar Sekolah

KOMPAS, 12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pelaksanaan pembelajaran tatap muka pada masa sebelum pandemi Covid-19 dianggap biasa/lazim dan tidak diperhatikan. Pada saat ini menjadi fokus perhatian, terutama agar pembelajaran tatap muka tidak menimbulkan kluster penularan Covid-19, dengan penyediaan alat protokol kesehatan menjadi syarat penting.

 

Peserta didik pun diatur khusus per rombongan belajar, jumlah dibatasi hanya 50 persen dan lama kegiatan belajar dua jam. Sehingga dengan aturan tersebut, kehadiran peserta didik belajar tatap muka per minggu hanya pada hari tertentu.

 

Pengamatan pembelajaran tatap muka menunjukkan, pertama, berbentuk tahapan kegiatan, yaitu mencakup tahap perencanaan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi. Kedua, berupa keterlibatan komponen, yaitu melibatkan komponen guru, peserta didik, teaching materials, tujuan, metode, evaluasi, dan lain sebagainya.

 

Ketiga, berwujud penampilan (performance) perilaku pemain, yaitu penampilan pemain dalam proses interaksi guru-peserta didik-teaching materials-lingkungan secara timbal balik.

 

Kondisi proses pembelajaran tampak bersifat black box. Analisis setiap faktor-faktornya belum bisa terdeteksi tingkat keterlibatannya, penciptaan situasi berbentuk kondusifitas melalui otonomi guru, seperti kewibawaan, refresif, laissez faire, permissive, dan sebagainya, dan pada rencana pelaksanana pembelajaran (RPP) pun sifat isinya deskripsi naratif.

 

Esensi pembelajaran

 

Paling tidak, membuka black box pembelajaran melalui pendekatan psikologi dan pendekatan sistem. Pertama, salah satu pendekatan psikologi memandang pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang reatif tetap, dari pengalaman yang dilaluinya (Clifford T  Morgan, 1961).

 

Menurut teori behaviorisme Throndike, poses pembelajaran didasarkan pada hubungan antara rangsangan (stimulus) dan balasan (respons). Sehingga, perilaku terbentuk melalui pengendalian kaitan antara stimulus (rangsangan) dan respons (balasan).

 

Ada tiga hukum pembelajaran, yaitu jika kondisi peserta didik disiapkan lebih dahulu sebelum mengikuti pembelajaran (rangsangan), maka hasil pembelajaran semakin meningkat (respons) atau disebut law of readiness. Kemudian, jika kondisi peserta didik dilatih terus-menerus melakukan pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran semakin meningkat (respons) atau disebut law of exercise. Terakhir, jika kondisi peserta didik memperoleh kepuasan mengikuti pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran semakin meningkat (respons) dan sebailknya atau disebut law of effect.

 

Kedua, penggunaan pendekatan sistem pada pembelajaran, dipandang untuk keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran yang ditentukan oleh fungsi semua komponen pembelajaran. Menurut Witte and Walsh (1990) bahwa input, proses, lingkungan, dan perangkat pembelajaran dapat menjadi luaran pencapaian tujuan pembelajaran. Sehingga terjadi kegiatan pembanding antara luaran (output) dan masukan (input). Semakin tinggi perbandingannya, semakin tinggi produk yang dihasilkan. Maka terjadi pengaturan pemanfaatan semua komponen pembelajaran untuk mencapai optimalisasi hasil pembelajaran atau tolok ukur produktivitas.

 

Terdapat tiga aturan pembelajaran. Satu, pengelolaan secara terorganisir faktor-faktor pembelajaran, yaitu peserta didik, guru, media, perangkat pembelajaran dan sebagainya. Dua, interaksi pembelajaran melakukan pengolahan/pengubahan, yaitu memproses input menjadi sejumlah output yang memiliki nilai tambah atau nilai guna/ekonomis (outcome). Tiga, implementasi pembelajaran dapat diamati/dilihat (observabilitas), yaitu penggunaan perangkat pembelajaran dapat dimonitor secara nyata.

 

Tantangan pembelajaran

 

Berdasarkan pandangan psikologis dan sistem di atas, ternyata kondisi pembelajaran belum memenuhi harapan. Sehingga, proses pembelajaran saat ini belum mampu mengendalikan capaian tujuan pendidikan.

 

Pertama, dipandang satu-satunya alat monitor proses pembelajaran melalui instrumen tes pembanding antara pre-test dengan post-test, dimana terdapat selisih dianggap tingkat daya serap peserta didik pada proses pembelajaran. Hasil selisih itu pada hakikatnya tidak diketahui, apakah faktor yang berasal dari diri peserta didik yang telah dimiliki sebelumnya, ataukah faktor kebetulan peserta didik dapat menjawab tes dengan baik dan dengan cara lain. Guru sekalipun ketika proses pembelajaran berlangsung tidak mengetahui apa yang terjadi pada peserta didik.

 

Kedua, tampak capaian tujuan pembelajaran menunjukkan market driven. Pertama, sering pembelajaran cenderung mengejar capaian nilai angka. Kedua, fenomena pembelajaran cenderung bersifat kompetitif daripada eqity dan equality. Ketiga, profil perilaku pembelajaran cenderung berfokus ranah kognitif.

 

Oleh karena itu, capaian puncak hierarki jenjang pendidikan pada peserta didik belum menggambarkan wujud amanat UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, serta kebijakan pemerintah dan Kemendikbudristek. Sehingga, urgen merestorasi learning outcome kompetensi profesi guru, mengenai analisis makna pendidikan yang termaktub dalam perundang-undangan dan elaborasi kebijakan pemerintah.

 

Pertama, menambahkan learning outcome kompetensi profesi guru mengenai analisis makna pendidikan untuk mewujudkan capaian puncak hierarki jenjang pendidikan pada peserta didik. Sebagaimana amanat UU Sisdiknas bahwa pendidikan adalah ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Sehingga ”usaha sadar dan terencana” tersebut tersurat sebagai nama mata kuliah tersendiri pada kurikulum pendidikan profesi guru, agar terprogramkan mengenai konsep dan teori ”usaha sadar dan terencana” sejak apa, mengapa, bagaimana, makna yang dikandung dan indikator-indikatornya hingga implementasi dan perangkat pembelajarannya.

 

Kedua, menambahkan learning outcome kompetensi profesi guru mengenai elaborasi kebijakan pemerintah, untuk mewujudkan capaian pengembangan SDM sebagai kapital intelektual yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, serta siap menghadapi era globalisasi. Yaitu kondisi era Revolusi Industri 4.0 yang bertumpu pada cyber-physical system, dengan didukung oleh kemajuan teknologi, basis informasi, pengetahuan, inovasi, dan jejaring, yang menandai era penegasan munculnya abad kreatif.

 

Pengembangan SDM yang dikehendaki, dihasilkan melalui sekolah yang berintikan peran dan tugas guru. Sehingga, guru harus mampu menciptakan transformasi pembelajaran yang dapat membekali dan menyiapkan lulusan sekolah menjadi generasi yang unggul, yang tanggap dan siap menghadapi tantangan jamannya, serta tanpa tercerabut dari akar budaya bangsanya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar