Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Problem Moral Penegakan Hukum

Amir Syamsudin ;  Mantan Menteri Hukum dan HAM RI

KOMPAS ,13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Penegakan hukum di era Pemerintahan Joko Widodo yang kedua ini perlu mendapat perhatian publik.

 

Mulai dari pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019, pengesahan UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, pengesahan omnibus law Cipta Kerja 5 Oktober 2020, sampai perubahan Statuta UI melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI untuk menggantikan PP No 68 Tahun 2013; menjadi periode pembentukan UU yang penuh kontroversi dan berpotensi menimbulkan problem moral penegakan hukum.

 

UU KPK dianggap melemahkan KPK, omnibus law Cipta Kerja dianggap produk hukum yang berpihak pada pelaku usaha, sementara UU No 2 Tahun 2020 dibuat untuk keadaan darurat di luar kontrol hukum (out of control). Sementara, perubahan Statuta UI melegalkan “larangan” yang dibuat sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembentukan hukum yang tidak layak.

 

Tentu saja pembentukan UU di atas didahului dengan isu-isu kontroversial terkait perilaku penguasa yang berpotensi terjadi penyalahgunaan keadaan, penyalahgunaan hak dan kewenangan yang menjurus kepada penumpukan kekuasaan yang otoritarian, sewenang-wenang, tak adil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

 

Negara hukum Indonesia

 

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.

 

Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum yang semua harus diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi sepadan. Penegakan prinsip-prinsip negara yang berkeadilan adalah suatu keniscayaan dalam suatu negara hukum.

 

Dalam kerangka Friedmann, misalnya, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law), sehingga penegakan prinsip-prinsip negara hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum dan bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.

 

Negara hukum Indonesia menganut prinsip “rule of law” yang diuraikan oleh Dicey sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan adanya supremacy of law yaitu dominasi dari aturan-aturan hukum untuk membatasi kewenangan penguasa; adanya equality before the law yaitu persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan baik pejabat maupun warga negara biasa, dan adanya due prosess of law atau terjaminnya hak-hak manusia oleh konstitusi.

 

Implementasi konsep rule of law ini adalah penyelenggaraan negara diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang berkeadilan sehingga peraturan perundang-undangan tak hanya digunakan sebagai sebuah alat oleh penguasa, namun juga dapat mewakili keadilan yang ada di masyarakat.

 

Konsep rule by law yang berasaskan kepastian hukum, tentunya memberikan legalitas yang tinggi dalam menjalankan aturan hukum, di mana legalitas merupakan sebuah nilai inti, hak asasi manusia, dalam arti nullum crimen, nulla poena sine lege (tidak ada kejahatan, tak ada hukuman tanpa hukum) yang sebenarnya berarti tidak hanya memberikan jaminan kebebasan manusia, tapi juga melindungi individu dari tindakan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang tidak adil oleh penguasa kepada individu dan warga masyarakat.

 

Di dalam penerapan prinsip-prinsip negara hukum, strategi pembentukan UU dalam periode pemerintah Jokowi kedua ini mengindikasikan adanya problematika moral hukum kita yang selama ini belum berubah, bahkan terjebak dalam intensitas yang lebih rumit. Hal ini menegaskan legacy problem moral hukum dan penegakan hukum kita tidak terbantahkan sekalipun kita tahu pepatah mengatakan "quid leges sine moribus?" (Apa artinya hukum atau undang-undang bila tanpa moralitas").

 

Masalah pembentukan UU KPK, omnibus law Cipta Kerja, UU Darurat Pandemi Covid-19 hingga perubahan statuta UI, misalnya, jelas menggambarkan problema mendasar dari dunia hukum kita: adanya manipulasi fungsi hukum oleh pemegang kekuasaan yang membutakan masyarakat. Akhirnya hukum di Indonesia hidup dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum, sehingga menentang adagium "ubi societas ibi jus" (di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya).

 

Artinya, masyarakat tak peduli dengan hukum karena hukum tak bermanfaat bagi mereka. Keberadaan UU KPK yang baru tetap saja tak mengurangi korupsi yang terjadi. UU Cipta Kerja dibuat untuk mendorong kemajuan ekonomi dan investasi, ternyata bisa berpotensi menjadi aturan yang paling berbahaya bagi masyarakat pekerja, yang dalam istilah latinnya disebut "jus naturale est quod natura omnia animalia docuit".

 

Seorang politisi saat paripurna pengesahan omnibus law tersebut 5 Oktober 2020 lalu sudah mengingatkan, UU Cipta Kerja adalah omnibus law yang diduga bisa menciptakan praktik-praktik permufakatan jahat pelaku usaha, perbudakan dalam arti ekonomis, kekerasan sosial, dan sebagainya.

 

Dominasi kekuasaan atas hukum

 

Hukum dan kekuasaan adalah bagian dari masyarakat (social order). Hubungan hukum dan kekuasaan tentu saja bersifat dialektis, resiprokal dan simbiotik, sehingga tidak boleh ada kekuasaan yang mendominasi hukum. Fungsi kekuasaan terhadap hukum jelas sebagai sarana untuk membentuk UU (law making), menegakkan hukum (law enforcement) dan melaksanakan hukum (executor). Sementara hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan.

 

Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan dari kekuasaan dari segi yuridisnya. Problemnya di Indonesia, kekuasaan yang legal ini sering disalahgunakan menjadi sewenang-wenang, tak bermoral dan tak adil sehingga bermasalah dengan legitimasi.

 

Oleh karena kekhawatiran akan terjadi masalah dengan legitimasi, maka fungsi hukum terhadap kekuasaan juga untuk mengatur dan membatasi kekuasaan. Pengaturan ini penting agar tidak terjadi kekuasaan yang ambiguitas dan paradoksal di dalam negara.

 

Sementara pembatasan diperlukan agar tidak terjadi penumpukan kewenangan pada satu pejabat atau lembaga yang dikhawatirkan akan terjebak dalam perilaku otoritarian dalam penyelenggaraan negara dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

 

Fungsi hukum terakhir adalah meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Hal ini penting untuk menjaga agar kekuasaan digunakan sesuai mekanisme dan tujuan diberikan kekuasaan. Dengan demikian jelas hubungan dialektis dan simbiotik antara hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan fungsional yang setara dan teratur dalam bingkai supremasi hukum.

 

Namun demikian, hubungan kekuasaan dan hukum sering mengalami pasang surut. Revisi UU KPK, pembentukan omnibus law Cipta Kerja, pembentukan UU Darurat Covid-19 dan lain-lain ternyata mengindikasikan sebaliknya ada dominasi kekuasaan atas hukum.

 

Untuk itu, kita perlu kembali mempelajari untuk memahami hukum secara lebih benar dan adil. Pemahaman hukum dalam konteks kaidah-kaidah berarti memahami hukum sebagai hal yang seharusnya dilakukan (das sollen) dalam kehidupan masyarakat.

 

Demikian juga studi hukum kita selama ini juga untuk memahami hukum sebagai realitas sosial (das sein) yang terjadi dalam masyarakat. Esensi hukum pada dasarnya adalah soal nilai yang menggambarkan tentang moralitas, kebenaran dan keadilan.

 

Oleh karena itu dalam hubungannya yang dialektis dan simbiotik dengan kekuasaan, hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tidak boleh menjadi alat penguasa atau alat kapitalis untuk melindungi kepentingan penguasa atau kelompok elite.

 

Kita menginginkan hukum yang menentukan eksistensi dari kekuasaan dan hukum dibuat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan kepentingan penguasa atau elite.

 

Konsep negara hukum memberikan kepastian, ada kontrol sosial terhadap perilaku penguasa, namun konsep negara hukum ini terkadang melegalkan tindakan negara dan jika itu dilakukan tanpa didukung dengan sikap moral dan prinsip keadilan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum karena hukum dimanfaatkan oleh penguasa sebagai alat untuk melegalkan segala bentuk perbuatannya yang melanggar hukum.

 

Praksis hukum yang jauh dari rasa keadilan publik, bila direfleksikan sesungguhnya mengalami problem sosial dan moral, karena kurang bermanfaat bagi perkembangan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik, yang oleh Von Benda Beckman disebut praksis hukum yang tak bermakna secara sosial. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar