Problem
Moral Penegakan Hukum Amir Syamsudin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM RI |
KOMPAS ,13 Agustus 2021
Penegakan
hukum di era Pemerintahan Joko Widodo yang kedua ini perlu mendapat perhatian
publik. Mulai
dari pengesahan Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tahun 2019, pengesahan UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, pengesahan omnibus
law Cipta Kerja 5 Oktober 2020, sampai perubahan Statuta UI melalui Peraturan
Pemerintah (PP) No 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI untuk menggantikan PP No
68 Tahun 2013; menjadi periode pembentukan UU yang penuh kontroversi dan
berpotensi menimbulkan problem moral penegakan hukum. UU
KPK dianggap melemahkan KPK, omnibus law Cipta Kerja dianggap produk hukum
yang berpihak pada pelaku usaha, sementara UU No 2 Tahun 2020 dibuat untuk
keadaan darurat di luar kontrol hukum (out of control). Sementara, perubahan
Statuta UI melegalkan “larangan” yang dibuat sebelumnya, sehingga dianggap
sebagai pembentukan hukum yang tidak layak. Tentu
saja pembentukan UU di atas didahului dengan isu-isu kontroversial terkait
perilaku penguasa yang berpotensi terjadi penyalahgunaan keadaan,
penyalahgunaan hak dan kewenangan yang menjurus kepada penumpukan kekuasaan
yang otoritarian, sewenang-wenang, tak adil dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum. Negara hukum Indonesia Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan
kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa ini sudah
menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum. Ketika
memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini
harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum yang semua harus
diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya
haruslah dikenakan sanksi sepadan. Penegakan prinsip-prinsip negara yang
berkeadilan adalah suatu keniscayaan dalam suatu negara hukum. Dalam
kerangka Friedmann, misalnya, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum
(content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum
(culture of law), sehingga penegakan prinsip-prinsip negara hukum tidak saja
dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan
aparat dan fasilitas hukum dan bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat
yang kondusif untuk penegakan hukum. Negara
hukum Indonesia menganut prinsip “rule of law” yang diuraikan oleh Dicey
sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan adanya supremacy of
law yaitu dominasi dari aturan-aturan hukum untuk membatasi kewenangan penguasa;
adanya equality before the law yaitu persamaan di hadapan hukum atau
penundukan yang sama dari semua golongan baik pejabat maupun warga negara
biasa, dan adanya due prosess of law atau terjaminnya hak-hak manusia oleh
konstitusi. Implementasi
konsep rule of law ini adalah
penyelenggaraan negara diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan yang
menjunjung tinggi supremasi hukum yang berkeadilan sehingga peraturan
perundang-undangan tak hanya digunakan sebagai sebuah alat oleh penguasa,
namun juga dapat mewakili keadilan yang ada di masyarakat. Konsep
rule by law yang berasaskan
kepastian hukum, tentunya memberikan legalitas yang tinggi dalam menjalankan
aturan hukum, di mana legalitas merupakan sebuah nilai inti, hak asasi
manusia, dalam arti nullum crimen, nulla poena sine lege (tidak ada
kejahatan, tak ada hukuman tanpa hukum) yang sebenarnya berarti tidak hanya
memberikan jaminan kebebasan manusia, tapi juga melindungi individu dari
tindakan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang
tidak adil oleh penguasa kepada individu dan warga masyarakat. Di
dalam penerapan prinsip-prinsip negara hukum, strategi pembentukan UU dalam
periode pemerintah Jokowi kedua ini mengindikasikan adanya problematika moral
hukum kita yang selama ini belum berubah, bahkan terjebak dalam intensitas
yang lebih rumit. Hal ini menegaskan legacy problem moral hukum dan penegakan
hukum kita tidak terbantahkan sekalipun kita tahu pepatah mengatakan
"quid leges sine moribus?" (Apa artinya hukum atau undang-undang
bila tanpa moralitas"). Masalah
pembentukan UU KPK, omnibus law Cipta Kerja, UU Darurat Pandemi Covid-19
hingga perubahan statuta UI, misalnya, jelas menggambarkan problema mendasar
dari dunia hukum kita: adanya manipulasi fungsi hukum oleh pemegang kekuasaan
yang membutakan masyarakat. Akhirnya hukum di Indonesia hidup dalam
masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum, sehingga menentang adagium "ubi societas ibi jus" (di
mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya). Artinya,
masyarakat tak peduli dengan hukum karena hukum tak bermanfaat bagi mereka.
Keberadaan UU KPK yang baru tetap saja tak mengurangi korupsi yang terjadi.
UU Cipta Kerja dibuat untuk mendorong kemajuan ekonomi dan investasi,
ternyata bisa berpotensi menjadi aturan yang paling berbahaya bagi masyarakat
pekerja, yang dalam istilah latinnya disebut "jus naturale est quod
natura omnia animalia docuit". Seorang
politisi saat paripurna pengesahan omnibus law tersebut 5 Oktober 2020 lalu
sudah mengingatkan, UU Cipta Kerja adalah omnibus law yang diduga bisa
menciptakan praktik-praktik permufakatan jahat pelaku usaha, perbudakan dalam
arti ekonomis, kekerasan sosial, dan sebagainya. Dominasi kekuasaan atas hukum Hukum
dan kekuasaan adalah bagian dari masyarakat (social order). Hubungan hukum
dan kekuasaan tentu saja bersifat dialektis, resiprokal dan simbiotik,
sehingga tidak boleh ada kekuasaan yang mendominasi hukum. Fungsi kekuasaan
terhadap hukum jelas sebagai sarana untuk membentuk UU (law making),
menegakkan hukum (law enforcement) dan melaksanakan hukum (executor).
Sementara hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi
hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan dari kekuasaan dari
segi yuridisnya. Problemnya di Indonesia, kekuasaan yang legal ini sering
disalahgunakan menjadi sewenang-wenang, tak bermoral dan tak adil sehingga
bermasalah dengan legitimasi. Oleh
karena kekhawatiran akan terjadi masalah dengan legitimasi, maka fungsi hukum
terhadap kekuasaan juga untuk mengatur dan membatasi kekuasaan. Pengaturan
ini penting agar tidak terjadi kekuasaan yang ambiguitas dan paradoksal di
dalam negara. Sementara
pembatasan diperlukan agar tidak terjadi penumpukan kewenangan pada satu
pejabat atau lembaga yang dikhawatirkan akan terjebak dalam perilaku
otoritarian dalam penyelenggaraan negara dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Fungsi
hukum terakhir adalah meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Hal ini penting
untuk menjaga agar kekuasaan digunakan sesuai mekanisme dan tujuan diberikan
kekuasaan. Dengan demikian jelas hubungan dialektis dan simbiotik antara hukum
dan kekuasaan melahirkan hubungan fungsional yang setara dan teratur dalam
bingkai supremasi hukum. Namun
demikian, hubungan kekuasaan dan hukum sering mengalami pasang surut. Revisi
UU KPK, pembentukan omnibus law Cipta Kerja, pembentukan UU Darurat Covid-19
dan lain-lain ternyata mengindikasikan sebaliknya ada dominasi kekuasaan atas
hukum. Untuk
itu, kita perlu kembali mempelajari untuk memahami hukum secara lebih benar
dan adil. Pemahaman hukum dalam konteks kaidah-kaidah berarti memahami hukum
sebagai hal yang seharusnya dilakukan (das sollen) dalam kehidupan
masyarakat. Demikian
juga studi hukum kita selama ini juga untuk memahami hukum sebagai realitas
sosial (das sein) yang terjadi dalam masyarakat. Esensi hukum pada dasarnya
adalah soal nilai yang menggambarkan tentang moralitas, kebenaran dan
keadilan. Oleh
karena itu dalam hubungannya yang dialektis dan simbiotik dengan kekuasaan,
hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tidak boleh menjadi alat penguasa
atau alat kapitalis untuk melindungi kepentingan penguasa atau kelompok
elite. Kita
menginginkan hukum yang menentukan eksistensi dari kekuasaan dan hukum dibuat
untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan kepentingan penguasa
atau elite. Konsep
negara hukum memberikan kepastian, ada kontrol sosial terhadap perilaku
penguasa, namun konsep negara hukum ini terkadang melegalkan tindakan negara
dan jika itu dilakukan tanpa didukung dengan sikap moral dan prinsip
keadilan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prinsip-prinsip negara
hukum karena hukum dimanfaatkan oleh penguasa sebagai alat untuk melegalkan
segala bentuk perbuatannya yang melanggar hukum. Praksis
hukum yang jauh dari rasa keadilan publik, bila direfleksikan sesungguhnya
mengalami problem sosial dan moral, karena kurang bermanfaat bagi
perkembangan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik, yang oleh Von Benda
Beckman disebut praksis hukum yang tak bermakna secara sosial. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar