Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Kasmaran Belajar di Masa Pandemi

Riduan Situmorang ;  Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional

KOMPAS ,12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Belajar pada masa pandemi selalu dekat dengan data muram. Berbagai keluhan, tidak saja dari siswa dan guru, bahkan juga dari orangtua, sudah bermunculan ke permukaan. Karena itu, belajar pada masa pandemi berarti belajar di bawah tekanan.

 

Padahal, Daniel Coleman dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, orang yang berada dalam tekanan, rasionya akan terkungkung. Karena itu, wajar kita mengkhawatirkan bahwa kemungkinan akan terjadi lost learning pada generasi Covid. Belum lagi sudah menjadi kenyataan bahwa tindakan anak didik kita sudah lebih banyak di dunia digital.

 

Ironisnya, tindakan digital kita justru kurang baik. Dalam studi Digital Civility Index terhadap 16.000 responden di 32 negara pada  April—Mei 2020 yang baru dirilis Microsoft, ditunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 29 dengan skor 76.

 

Menariknya, waktu kita justru banyak tersita pada tindakan digital. Dalam studi Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, total tindakan-digital kita per hari adalah 9 jam 12 menit, yang artinya itu melebihi jam kerja normal, yaitu 8 jam per hari. Namun, mengapa banyaknya jam tayang tindakan digital ini masih membuat siswa kita gagap untuk belajar daring?

 

Pada awal tahun ajaran baru ini, saya melakukan tatap muka-maya dari Google Meet. Saya mencoba mengajar sebagaimana pada tatap muka. Sengaja saya unduh buku digital sesuai pegangan siswa. Papan tulis digital pun saya maksimalkan. Layar saya berisi buku digital dan papan tulis digital benar-benar tersaji dengan jelas kepada mereka.

 

Sengaja saya menggunakan Google Meet daripada zoom biar suaranya jauh lebih jelas. Namun, ketika ditanya tentang apakah pola pembelajaran akan dilanjutkan seperti itu, rata-rata hanya empat dari 36 yang setuju. Selebihnya, mereka meminta pola belajar dengan menggunakan Google Classroom/grup Whatsapp (WAG).

 

Berkembang secara alamiah

 

Saya sebenarnya merasa bahwa jika hanya dengan mengandalkan Google Classroom dan WAG, selain komunikasi tidak interaktif dan real time, mereka juga tak akan mengerti dengan sempurna. Dalam pada alur berpikir seperti ini, saya merasa bahwa mereka akan kehilangan kesempatan belajar meski tetap tidak kehilangan kesempatan bersekolah.

 

Karena itu, saya ingin memaksa mereka belajar sesuai dengan pendekatan saya tadi: tatap-muka maya yang identik tatap muka biasa agar mereka mengerti konten pembelajaran. Namun, saya hanya guru. Pola belajar harus disesuaikan dengan kenyamanan siswa.

 

Untuk apa belajar jika tidak nyaman, apalagi tersiksa, bukan? Sebab, sebagaimana disebutkan EP Selligman, kognisi dan emosi sangat berhubungan. Jika emosi tertekan, kognisi bisa melambat. Karena itulah, para ahli selalu menyarankan supaya pembelajaran dekat dengan kebahagiaan. John Dewey bahkan mengulang-ulang kata kebahagiaan dalam salah satu masterpiece-nya, Democracy and Education. UNESCO pada 2016 juga menerbitkan buku berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific. Buku ini khusus untuk negara kontinental, termasuk Indonesia.

 

Dalam buku itu disebut bahwa kebahagiaan siswa salah satunya dikaitkan dengan guru. Saya menyadari pola belajar kesukaan saya tidak identik dengan pola mereka. Mungkin, akan terjadi penurunan kualitas pembelajaran. Namun, penelitian membuktikan bahwa anak-anak belajar dan berkembang secara alamiah.

 

Secara empiris, inovator pendidikan asal India, Sugata Mitra, pernah membuat eksperimen yang dahsyat. Satu kelompok siswa dari desa terpencil yang tak tahu berbahasa Inggris dibuat sebagai obyek penelitian. Kelompok kontrolnya dari sekolah kaya di kota besar.

 

Kedua kelompok tersebut mendapat intervensi yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama: penguasaan materi bioteknologi. Anak-anak di kota besar mendapat intervensi berupa pengajaran konvensional dengan fasilitas lengkap dan dipandu guru profesional. Sementara itu, anak-anak di desa mendapat intervensi “lubang dalam tembok” dengan teknis sebuah komputer dimasukkan dalam tembok yang dapat diakses anak-anak. Komputer yang digunakan bersama itu berisi materi bioteknologi berbahasa Inggris. Sugata Mitra menyiapkan seorang gadis desa untuk memberi semangat pada anak-anak.

 

Setelah waktu eksperimen selesai, kedua kelompok tersebut diuji. Kesimpulannya sungguh mengesankan: tidak ada perbedaan signifikan rata-rata nilai kedua kelompok anak tersebut. Padahal kelompok anak desa menghadapi tantangan belajar berganda. Mereka tidak bisa bahasa Inggris dan tidak dipandu guru profesional. Dari penelitian itu terbukti bahwa anak belajar dengan caranya sendiri, tentu dengan satu syarat utama, yaitu selama akses belajar masih ada. Guru dan fasilitas nyata hanyalah faktor X.

 

Tiba-tiba saya teringat pada seorang siswa akselerasi: lebih cepat tamat dari SD, SMP, dan SMA. Namun, pada akhirnya juga, siswa akselerasi dan konvensional tak menunjukkan kualitas yang jauh berbeda di masa tua.

 

Saya juga membandingkan kisah hidup saya yang bersekolah tanpa bimbel karena melulu ke ladang setiap hari, dengan istri saya yang bersekolah berasrama sejak SMP dengan kesehariannya yang selalu belajar. Namun, saya merasa bahwa perbedaan kualitas akademik kami tak jauh berbeda di ujungnya. Karena itu, saya berpikiran positif bahwa setiap siswa saat ini punya "lubang dalam tembok" masing-masing.

 

Memang, jujur saja, saya menaruh curiga bahwa siswa akan lupa belajar jika selalu bermain gawai. Tetapi, saya kemudian tersadar: di mana letak bahagianya siswa jika gawai selalu digunakan untuk belajar dan belajar? Di mana letak kebebasan siswa jika kita mengajar mereka dengan gaya kesukaan kita seakan mereka hanya bisa belajar dengan cara kita?

 

Karena itu, pada tahun ajaran baru ini, saya membuat sebuah keputusan aman: selang-seling dengan gaya kesukaan saya serta gaya kesukaan mereka. Gaya tatap-muka maya dengan berbagi layar berisi buku dan papan digital hanya saya buat di awal bab pembelajaran.

 

Sebelum hal itu saya terapkan, saya tentu saja sudah minta izin kepada mereka. Intinya, saya sedang merevolusi pemikiran saya sebagai guru bahwa ketika siswa asyik dengan gawai, bukan berarti mereka tidak sedang belajar. Mereka justru sedang bermain dengan "lubang dalam tembok" mereka sendiri. Kesadaran itu bermula ketika saya membaca, sebagaimana dikutip dari penyataan Plato, bahwa Socrates sebagai simbol filosofi unggul masa silam pernah juga khawatir dengan budaya kertas yang dipikirnya sebagai muasal dari kedangkalan berpikir di masa depan.

 

Tidak boleh skeptis

 

"Karena simbol menggantikan ingatan, tulisan mengancam akan membuat kita menjadi pemikir dangkal sehingga kita tidak bisa mencapai kedalaman intelektual yang akan mengantarkan kita pada pengetahuan dan kebahagiaan sejati," demikian kata Socrates dalam kisahan Plato. Terbukti sudah bahwa budaya kertas tidak melambatkan pikiran. Kita menjadi saksi betapa peradaban semakin canggih dengan budaya kertas. Senada dengan itulah saya pikir bahwa menggunakan teknologi saat ini bukan berarti akan melambatkan, apalagi memampatkan pikiran generasi pemakainya.

 

Setiap generasi akan menciptakan kearifan zaman mereka sendiri, kurang lebih begitu Iqbal Aji Daryono menulis. Karena itu, pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini, mari kita para guru untuk tidak terlalu mengintervensi cara belajar siswa. Mari kita data cara mereka lalu kita minta persetujuan dari mereka.

 

Tentu saja kita tak harus menyetujui semua gaya mereka karena guru juga harus tetap punya otoritas dan wibawa untuk sampai pada tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, mari dibuat selang-seling sebagai titik temu cara kita mengajar dan cara siswa belajar. Mungkin, dengan cara seperti ini, siswa kita akan kasmaran belajar di masa pandemi alih-alih tertekan.

 

Yang lebih penting, meski tetap harus kritis, kita tidak boleh skeptis dengan tindakan digital siswa kita. Sebab, tindakan digital itu juga bagian dari pembelajaran melek literasi digital. OECD sudah membuat rekomendasi bahwa agar berhasil sebagai masyarakat dunia pada abad ke-21, salah satunya kita harus mampu menggunakan pelbagai alat, tentu saja termasuk teknologi. Lagipula, seperti dikutip dari Ratih D Putri, menurut UNESCO, literasi digital berarti kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevalusi informasi melalui teknologi digital untuk bisa diterapkan dalam kehidupan (Kompas, 27/7/2021).

 

Ayo, mari membuat siswa kasmaran belajar, bahkan di tengah pandemi saat ini…. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar