Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Tempe, Koro Pedang, dan Kedaulatan Pangan

Agus Somamihardja ;  Pendiri dan Ketua Koperasi BUMR Paramasera, Bogor; Anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian Dewan Riset Nasional (DRN) 2019-2020

KOMPAS ,13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tempe semakin mendunia. Aneka menu modern, seperti burger, grill, dan sandwich tempe, bermunculan. Tempe bukan lagi menu pinggiran.

 

Di luar negeri tempeh telah jadi ikon makanan sehat kaya nutrisi. Tempe rumahan dan pabrikan telah hadir di China, Korea, dan Amerika. Ironisnya, industri tempe lokal saat ini dipaksa ekstra-kreatif untuk bisa sintas menyiasati lonjakan harga kedelai impor.

 

Pada fermentasi tempe, jamur Rhizopus bersama berbagai bakteri memproduksi aneka enzim, mengurai ikatan kimia karbohidrat dan protein kedelai menjadi komponen sederhana mudah dicerna. Asam lemak jenuh diurai menjadi lemak tak jenuh, mengurangi efek negatif kolesterol di dalam tubuh.

 

Vitamin B12; riboflavin, piridoksin, niasin, biotin, asam folat, dan asam pantotenat, naik berkali lipat. Kapang Rhizopus memproduksi fitase pengurai asam fitat, meningkatkan penyerapan mineral; Fe, Cu, dan Zinc, dalam tubuh, meningkatkan imunitas bekal menghadapi pandemi.

 

Isoflavon diurai menjadi 6,7,4-trihidroksi isoflavone, memperkuat daya antioksidan mencegah kanker dan penuaan dini. Tempe mencukupi kebutuhan nutrisi vegetarian.

 

Dalam naskah kuno, kosakata dhele (kedelai) merujuk pada kacang hitam makanan rakyat di Jawa abad ke-12. Aneka olahan tempe dhele sebagai makanan rakyat abad ke-16 diceritakan dalam Serat Centhini. Penemuan tempe tidak lepas dari sifat titen para leluhur. Titen artinya suka menyimak, meneliti berbagai fenomena di sekeliling.

 

Perubahan pada dhele yang dibungkus daun jati yang mengandung Rhizopus menginspirasi terciptanya tempe. Ratusan tahun tempe berkembang menjadi makanan rakyat.

 

Dhele putih, bahan baku tempe modern, muncul belakangan bersamaan masuknya tahu pengaruh China. Merasa perlu, pemerintah telah mengajukan kepada UNESCO agar tempe diakui sebagai warisan budaya dunia meskipun bukan berharap royalti bagi negara.

 

Konsumen tahu dan tempe tertinggi adalah masyarakat Jawa Timur bagian timur, masing-masing 25,2 kilogram (kg) dan 16,8 kg per kapita. Konsumsi rata-rata nasional keduanya 8,1 dan 7,5 kg per kapita.

 

Tahun 2017, kedelai lokal hanya mampu menyuplai 900.000 ton dari 3,6 juta ton kebutuhan. Kekurangan 2,7 juta ton senilai 1,1 miliar dollar AS harus diimpor. Sejak 1970, tempe, makanan rakyat sehari-hari, bergantung pada impor.

 

Menoleh ke belakang, setidaknya empat kebijakan politik pangan telah memerangkap, melumpuhkan, kedaulatan pangan nasional. Pertama, kebijakan Orde Lama mendorong konsumsi beras ke segenap wilayah Indonesia, melemahkan simpul erat diversifikasi pangan. Usaha tani ubi, talas jagung, dan sagu perlahan menghilang.

 

Kedua, akhir dekade 1960- an, ketika kewalahan mengatasi lonjakan kebutuhan beras dan impor kian mahal, Indonesia digiring perangkap strategi dagang gandum AS. Dikemas sebagai bantuan pinjaman lunak, aneka olahan terigu murah bersubsidi sukses besar mengubah pola makan berbasis pangan lokal.

 

Ketiga, atas nama solidaritas, komitmen dalam pergaulan internasional, pemerintah rela melepas proteksi pangan lokal, mendukung liberalisasi produk pertanian dengan menandatangani kesepakatan mengenai pertanian di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tanpa disiapkan, produk pertanian kita kalah bersaing.

 

Keempat, sebagai salah satu syarat cairnya pinjaman saat krisis ekonomi 1998, Indonesia terpaksa menyetujui paket letter of intent IMF, menambah lebar pintu impor bahan pangan.

 

Aneka kacang lokal, senasib dengan aneka umbi lokal, kini diikuti jagung, sayuran, dan buah-buahan lokal tersisih produk impor. Jika penjajah kolonial berhasil menghapus tuntas jiwa bahari nenek moyang Nusantara, maka penjajahan kapitalis modern mengikis habis potensi agraris negeri ini. Miris, Indonesia telah lama kehilangan kedaulatan pangan.

 

Potensi koro pedang

 

Kembali ke tempe, leluhur mengkreasinya dari kacang lokal dari sekeliling. Kedelai hitam (Glycin soya), kacang gude (Cajanus cajan), kacang tunggak (Vigna unguiculata), terbukti bisa dibuat tempe.

 

Kacang koro pedang, Canavalia ensiformis, calon terkuat bahan baku tempe. Tumbuh di berbagai jenis tanah; lempung, liat, hingga lahan berpasir; keasaman tanah 4,5 hingga 7,5; relatif tahan di lahan kering, dan ketinggian hingga 1.500 mdpl.

 

Koro pedang optimal dengan penyinaran matahari penuh, tetapi tumbuh di bawah naungan, cocok sebagai tumpang sari di perkebunan. Di petani, produktivitas koro pedang mencapai 4,5 ton per hektar, hampir tiga kali kedelai. Kaya akan karbohidrat dan protein, lengkap akan asam, vitamin, dan mineral; terutama kalsium dan fosfor.

 

Koro pedang mengandung trigolenin dan Con-canavalin A, mengaktifkan Sel-T, antikanker. Polifenol kaempferol glikosida pada koro pedang menghambat Αglucosidases, menjaga kadar gula darah, baik untuk penderita diabetes.

 

Ratusan hasil riset mengenai kelebihan koro pedang dipublikasikan oleh berbagai lembaga penelitian, termasuk puslitbang di Kementerian Pertanian dan perguruan tinggi. Sayangnya, pemerintah tidak juga tertarik untuk menetapkan koro pedang sebagai komoditas strategis prioritas dikembangkan.

 

Ibarat ayam dan telur, perajin tempe dan petani koro pedang kini saling menunggu. Introduksi, riset, edukasi, dan promosi harus dimulai secara paralel. Sementara itu, jaminan suplai, tata niaga, standar kualitas, dan harga koro pedang harus kompetitif terhadap kedelai impor. Bagi petani, menanam tanpa kepastian pasar tentu sangat berisiko. Kewajiban pemerintah untuk menjembatani keduanya.

 

Kebijakan pangan masa lalu telah memarginalkan lahan pertanian. Pemiskinan petani terus berlanjut karena bertani di lahan sempit sangat tidak efisien.

 

Upaya swasembada tempe koro pedang harus dimulai dengan memberikan akses lahan kepada petani.

 

Namun, agar efisien dan kompetitif, usaha tani koro pedang harus dikonsolidasikan ke dalam lembaga koperasi. Petani pemilik lahan dan pemilik hak garap atas lahan menjadi anggota koperasi, mengelola usaha bersama terintegrasi hulu-hilir. Menerapkan manajemen modern, akses informasi, teknologi, mekanisasi, dan finansial terbuka lebar.

 

Koperasi tingkat kecamatan selanjutnya bergabung dalam wadah koperasi di tingkat kabupaten. Selain berperan sebagai off-taker, koperasi ini jadi penggerak sektor pengolahan dan pemasaran. Karena besarnya skala usaha layaknya korporasi, peluang mengembangkan usaha secara nasional ataupun global (ekspor) terbuka lebar.

 

Koperasi produksi pangan harus terus digalakkan. Regulasi dan pendanaan harus disederhanakan dan dimudahkan agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat.

 

Konsep Orde Baru yang sangat berpihak dan mengandalkan pemodal menjadi penggerak ekonomi terbukti gagal. Arah pembangunan telah melenceng jauh dari pedoman dan tuntunan para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1-3.

 

Pandemi seharusnya menyadarkan kita bahwa menyia-nyiakan sumber daya alam di depan mata, tidak waspada terhadap trik bangsa lain, abai, berpaling dari sejarah, budaya, dan kearifan nenek moyang, hanya mengukuhkan kita menjadi bangsa bermental miskin.

 

Hitungan sederhana saja, apabila petani diberi akses mengelola rata-rata satu hektar lahan tidur telantar, mampu dihasilkan 4,5 ton koro pedang per tahun, maka biaya impor kedelai Rp 15 triliun per tahun bisa dialihkan menjadi pendapatan bagi sekitar 600.000 petani di perdesaan, plus ribuan orang lainnya di sektor terkait.

 

Kesenjangan dan kemiskinan perlahan berkurang. Swasembada tempe harus menjadi ajang latihan membangun dan menguatkan kelembagaan ekonomi rakyat, sekaligus membuktikan bahwa pemerintah serius membangun kedaulatan pangan bangsa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar