Tempe,
Koro Pedang, dan Kedaulatan Pangan Agus Somamihardja ; Pendiri dan Ketua Koperasi BUMR Paramasera,
Bogor; Anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian Dewan Riset Nasional (DRN) 2019-2020 |
KOMPAS ,13 Agustus 2021
Tempe
semakin mendunia. Aneka menu modern, seperti burger, grill, dan sandwich
tempe, bermunculan. Tempe bukan lagi menu pinggiran. Di
luar negeri tempeh telah jadi ikon makanan sehat kaya nutrisi. Tempe rumahan
dan pabrikan telah hadir di China, Korea, dan Amerika. Ironisnya, industri
tempe lokal saat ini dipaksa ekstra-kreatif untuk bisa sintas menyiasati
lonjakan harga kedelai impor. Pada
fermentasi tempe, jamur Rhizopus bersama berbagai bakteri memproduksi aneka
enzim, mengurai ikatan kimia karbohidrat dan protein kedelai menjadi komponen
sederhana mudah dicerna. Asam lemak jenuh diurai menjadi lemak tak jenuh,
mengurangi efek negatif kolesterol di dalam tubuh. Vitamin
B12; riboflavin, piridoksin, niasin, biotin, asam folat, dan asam pantotenat,
naik berkali lipat. Kapang Rhizopus memproduksi fitase pengurai asam fitat,
meningkatkan penyerapan mineral; Fe, Cu, dan Zinc, dalam tubuh, meningkatkan
imunitas bekal menghadapi pandemi. Isoflavon
diurai menjadi 6,7,4-trihidroksi isoflavone, memperkuat daya antioksidan
mencegah kanker dan penuaan dini. Tempe mencukupi kebutuhan nutrisi
vegetarian. Dalam
naskah kuno, kosakata dhele (kedelai) merujuk pada kacang hitam makanan
rakyat di Jawa abad ke-12. Aneka olahan tempe dhele sebagai makanan rakyat
abad ke-16 diceritakan dalam Serat Centhini. Penemuan tempe tidak lepas dari
sifat titen para leluhur. Titen artinya suka menyimak, meneliti berbagai
fenomena di sekeliling. Perubahan
pada dhele yang dibungkus daun jati yang mengandung Rhizopus menginspirasi
terciptanya tempe. Ratusan tahun tempe berkembang menjadi makanan rakyat. Dhele
putih, bahan baku tempe modern, muncul belakangan bersamaan masuknya tahu
pengaruh China. Merasa perlu, pemerintah telah mengajukan kepada UNESCO agar
tempe diakui sebagai warisan budaya dunia meskipun bukan berharap royalti
bagi negara. Konsumen
tahu dan tempe tertinggi adalah masyarakat Jawa Timur bagian timur,
masing-masing 25,2 kilogram (kg) dan 16,8 kg per kapita. Konsumsi rata-rata
nasional keduanya 8,1 dan 7,5 kg per kapita. Tahun
2017, kedelai lokal hanya mampu menyuplai 900.000 ton dari 3,6 juta ton
kebutuhan. Kekurangan 2,7 juta ton senilai 1,1 miliar dollar AS harus
diimpor. Sejak 1970, tempe, makanan rakyat sehari-hari, bergantung pada
impor. Menoleh
ke belakang, setidaknya empat kebijakan politik pangan telah memerangkap,
melumpuhkan, kedaulatan pangan nasional. Pertama, kebijakan Orde Lama
mendorong konsumsi beras ke segenap wilayah Indonesia, melemahkan simpul erat
diversifikasi pangan. Usaha tani ubi, talas jagung, dan sagu perlahan
menghilang. Kedua,
akhir dekade 1960- an, ketika kewalahan mengatasi lonjakan kebutuhan beras
dan impor kian mahal, Indonesia digiring perangkap strategi dagang gandum AS.
Dikemas sebagai bantuan pinjaman lunak, aneka olahan terigu murah bersubsidi
sukses besar mengubah pola makan berbasis pangan lokal. Ketiga,
atas nama solidaritas, komitmen dalam pergaulan internasional, pemerintah
rela melepas proteksi pangan lokal, mendukung liberalisasi produk pertanian
dengan menandatangani kesepakatan mengenai pertanian di Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Tanpa disiapkan, produk pertanian kita kalah
bersaing. Keempat,
sebagai salah satu syarat cairnya pinjaman saat krisis ekonomi 1998,
Indonesia terpaksa menyetujui paket letter of intent IMF, menambah lebar
pintu impor bahan pangan. Aneka
kacang lokal, senasib dengan aneka umbi lokal, kini diikuti jagung, sayuran,
dan buah-buahan lokal tersisih produk impor. Jika penjajah kolonial berhasil
menghapus tuntas jiwa bahari nenek moyang Nusantara, maka penjajahan
kapitalis modern mengikis habis potensi agraris negeri ini. Miris, Indonesia
telah lama kehilangan kedaulatan pangan. Potensi koro pedang Kembali
ke tempe, leluhur mengkreasinya dari kacang lokal dari sekeliling. Kedelai
hitam (Glycin soya), kacang gude (Cajanus cajan), kacang tunggak (Vigna
unguiculata), terbukti bisa dibuat tempe. Kacang
koro pedang, Canavalia ensiformis, calon terkuat bahan baku tempe. Tumbuh di
berbagai jenis tanah; lempung, liat, hingga lahan berpasir; keasaman tanah
4,5 hingga 7,5; relatif tahan di lahan kering, dan ketinggian hingga 1.500
mdpl. Koro
pedang optimal dengan penyinaran matahari penuh, tetapi tumbuh di bawah
naungan, cocok sebagai tumpang sari di perkebunan. Di petani, produktivitas
koro pedang mencapai 4,5 ton per hektar, hampir tiga kali kedelai. Kaya akan
karbohidrat dan protein, lengkap akan asam, vitamin, dan mineral; terutama
kalsium dan fosfor. Koro
pedang mengandung trigolenin dan Con-canavalin A, mengaktifkan Sel-T,
antikanker. Polifenol kaempferol glikosida pada koro pedang menghambat
Αglucosidases, menjaga kadar gula darah, baik untuk penderita diabetes. Ratusan
hasil riset mengenai kelebihan koro pedang dipublikasikan oleh berbagai
lembaga penelitian, termasuk puslitbang di Kementerian Pertanian dan
perguruan tinggi. Sayangnya, pemerintah tidak juga tertarik untuk menetapkan
koro pedang sebagai komoditas strategis prioritas dikembangkan. Ibarat
ayam dan telur, perajin tempe dan petani koro pedang kini saling menunggu.
Introduksi, riset, edukasi, dan promosi harus dimulai secara paralel.
Sementara itu, jaminan suplai, tata niaga, standar kualitas, dan harga koro
pedang harus kompetitif terhadap kedelai impor. Bagi petani, menanam tanpa
kepastian pasar tentu sangat berisiko. Kewajiban pemerintah untuk
menjembatani keduanya. Kebijakan
pangan masa lalu telah memarginalkan lahan pertanian. Pemiskinan petani terus
berlanjut karena bertani di lahan sempit sangat tidak efisien. Upaya
swasembada tempe koro pedang harus dimulai dengan memberikan akses lahan
kepada petani. Namun,
agar efisien dan kompetitif, usaha tani koro pedang harus dikonsolidasikan ke
dalam lembaga koperasi. Petani pemilik lahan dan pemilik hak garap atas lahan
menjadi anggota koperasi, mengelola usaha bersama terintegrasi hulu-hilir.
Menerapkan manajemen modern, akses informasi, teknologi, mekanisasi, dan
finansial terbuka lebar. Koperasi
tingkat kecamatan selanjutnya bergabung dalam wadah koperasi di tingkat
kabupaten. Selain berperan sebagai off-taker, koperasi ini jadi penggerak
sektor pengolahan dan pemasaran. Karena besarnya skala usaha layaknya
korporasi, peluang mengembangkan usaha secara nasional ataupun global
(ekspor) terbuka lebar. Koperasi
produksi pangan harus terus digalakkan. Regulasi dan pendanaan harus
disederhanakan dan dimudahkan agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi
masyarakat. Konsep
Orde Baru yang sangat berpihak dan mengandalkan pemodal menjadi penggerak
ekonomi terbukti gagal. Arah pembangunan telah melenceng jauh dari pedoman
dan tuntunan para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat
1-3. Pandemi
seharusnya menyadarkan kita bahwa menyia-nyiakan sumber daya alam di depan
mata, tidak waspada terhadap trik bangsa lain, abai, berpaling dari sejarah,
budaya, dan kearifan nenek moyang, hanya mengukuhkan kita menjadi bangsa
bermental miskin. Hitungan
sederhana saja, apabila petani diberi akses mengelola rata-rata satu hektar
lahan tidur telantar, mampu dihasilkan 4,5 ton koro pedang per tahun, maka
biaya impor kedelai Rp 15 triliun per tahun bisa dialihkan menjadi pendapatan
bagi sekitar 600.000 petani di perdesaan, plus ribuan orang lainnya di sektor
terkait. Kesenjangan
dan kemiskinan perlahan berkurang. Swasembada tempe harus menjadi ajang
latihan membangun dan menguatkan kelembagaan ekonomi rakyat, sekaligus
membuktikan bahwa pemerintah serius membangun kedaulatan pangan bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar