Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Amerika Pergi, Taliban Bergerak

Hamid Awaludin ;  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar

KOMPAS ,13 Agustus 2021

 

 

                                                           

Dunia dan rakyat Afghanistan kini tengah menghadapi kecemasan berlipat ganda. Di negeri yang hampir tak pernah berhenti dilanda perang ini, Taliban, kelompok perlawanan bersenjata di Afghanistan, ingin kembali menghunjamkan kekuasaannya yang pernah hilang.

 

Keputusan Presiden AS Joe Biden untuk menarik keluar semua anggota militernya dari Afghanistan meninggalkan ampas dan pampasan perang yang tak alang-kepalang. Bukan hanya peralatan tempur, kendaraan militer, dan kamp-kamp prajurit yang kosong tak bertuan, juga rakyat Afghanistan yang kini ketakutan.

 

Belum lagi tenggat penarikan terakhir tentara AS meninggalkan Afghanistan 11 September 2021—bertepatan dengan 20 tahun tragedi 9/11—Taliban sudah bergerak. Sejak Jumat, 6 Agustus lalu, pasukan Taliban melancarkan serangan kilat ke sejumlah kota.

 

Dalam tiga hari, Taliban berpesta dengan merebut kota Taloqan, Sar-e-Pul, Kunduz, Sheberghan, dan Zaranj. Kota keenam, Aibak, ibu kota Provinsi Samangan, direbut tanpa perlawanan.

 

Saat ini, Taliban telah menguasai enam ibu kota provinsi dari 34 provinsi di negara itu. Maka, sebentar lagi Taliban akan mengepung dan menguasai ibu kota Kabul, lalu melakukan parade kemenangan.

 

Ini baru awal. Kita tak melihat kemungkinan lain yang menghadang Afghanistan selain perang saudara yang bakal berkepanjangan, yang melibatkan Taliban dan pasukan Pemerintah Afghanistan, dan mungkin milisi-milisi yang terserak di berbagai tempat dan kini terjaga dan waspada.

 

Akar masalah

 

Jika kita hendak jujur, akar masalah kontemporer Afghanistan sekarang ini ialah perjanjian bilateral antara AS dan Taliban yang ditandatangani pada Februari 2020.

 

Dalam perjanjian itu, jelas sekali AS hanya mementingkan dirinya sendiri, tak lagi berhadapan dengan Taliban. Aspek keselamatan Afghanistan setelah AS pergi kelak sama sekali tak disinggung dalam perjanjian.

 

Yang penting bagi AS, Taliban berjanji tak akan mengafiliasikan dirinya dengan kelompok teroris apa pun, dan tak menjadikan Afghanistan pangkalan untuk menggempur AS.

 

Dengan format dan substansi perjanjian seperti itu, Taliban mendapat amunisi psikologis. AS akan pergi, berarti kemenangan besar bagi Taliban karena memang itulah motif perlawanannya 20 tahun terakhir.

 

Taliban merasa sebagai pemenang dalam percaturan perebutan kekuasaan dengan rezim penguasa Afghanistan sekarang. Malah saya dengar, Taliban sudah menyusun anggota kabinet yang akan mereka tawarkan manakala AS sudah pergi.

 

Suasana batin sebagai pemenang itu saya rasakan betul melalui pertemuan dan komunikasi saya dengan para pemimpin Taliban belakangan ini. Rasa superior itu sudah menggelayut di pikiran dan keyakinan mereka.

 

Maka, dengan mudah dinujum, ke depan, begitu AS pergi, akan terjadi perang saudara besar-besaran antara pasukan pemerintah dan Taliban. Satu pihak mau mempertahankan kekuasaan, yang satu mau merebut kekuasaan. Afghanistan bakal tercabik dan jadi negara gagal.

 

Kepergian AS kelak bukan kemenangan buat Taliban, melainkan peneguhan bahwa negeri adidaya itu sangat setia mengulangi sejarah kesalahan dan kekalahannya sendiri.

 

AS terlibat Perang Korea tahun 1950, dan menandatangani perjanjian damai tahun 1953. Hasilnya, Korea terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan hingga kini. AS tak menyelesaikan soal dengan keterlibatannya.

 

Perang Vietnam juga demikian. AS menandatangani perjanjian damai tahun 1973, lalu pergi. Vietnam pun terbelah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.

 

Di Irak sama saja. AS menggempur Saddam Hussein, lalu hengkang, meninggalkan Irak sebagai negara tercabik. Masih banyak lagi tempat lain mengalami nasib seperti ini akibat politik kekuasaan AS.

 

Bermesraan dengan China

 

Kian mendekat hari keberangkatan AS dari Afghanistan, kian aktif Taliban membangun aliansi dengan China, Rusia, dan Iran. Saya tak percaya aliansi itu murni. China dan Rusia hanya memperalat Taliban.

 

Masalahnya, China memiliki persoalan tersendiri dengan gerakan separatis yang dicap sebagai gerakan teroris, Uighur yang beragama Islam. China membuat kesan persekutuan dengan Taliban agar Taliban tak ikut membantu gerakan Uighur.

 

Rusia juga memiliki kesamaan motif dengan China karena Rusia memiliki kelompok-kelompok perlawanan yang disebut Dagestan, yang juga dilabeli sebagai teroris karena mereka beragama Islam.

 

Lantas apa motifnya bersekutu dengan Iran? Aliansi ini sebenarnya sudah lama terjalin, tetapi semuanya bermuatan politik belaka. Bukan ideologi karena Iran beraliran Syiah, sementara Taliban menganut paham Sunni, malah lebih fokus lagi, Taliban menganut paham Hanafi.

 

Motif politik persekutuan ini sangat jelas, Iran adalah musuh besar AS. Di sini berlaku prinsip, lawan dari musuhmu adalah kawanmu.

 

Implikasi perang saudara itu adalah terjadinya pengungsian warga Afghanistan secara masif ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ini akan merepotkan dunia dan bakal menimbulkan ketegangan baru.

 

Terus terang, negosiasi damai yang sudah berlangsung lebih dari setahun di Qatar, antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban, hanyalah cara Taliban mengulur waktu untuk mencapai kemenangan. Hingga kini, belum ada masalah substansial yang mereka capai. Salah satu masalah mendasar di sini ialah Qatar hendak memonopoli kesempatan untuk mewujudkan perdamaian di Afghanistan.

 

Pintu keterlibatan negara lain untuk tujuan tersebut seolah ditutup rapat oleh Qatar, yang memang jadi penopang keberadaan Taliban. Kebijakan tutup pintu itu diperparah oleh kenyataan bahwa Qatar tak memiliki pengalaman dan keterampilan teknis memediasi dua kelompok yang bertikai. Format pertemuan dan skala prioritas serta agenda pertemuan saja tak bisa mereka buat secara sistematis dan berstruktur.

 

Untuk menghindari kekerasan yang bakal merebak di Afghanistan, PBB harus mulai turun tangan, menyiapkan pasukan perdamaian. Kekuatan Pemerintah Afghanistan bisa jadi tak kuasa membendung serangan Taliban. Yang pasti, Taliban tak akan bernegosiasi dengan agenda bagi kekuasaan lewat pemilu.

 

Masalahnya, Taliban boleh saja mengklaim mereka mengontrol lebih dari 70 persen teritori Afghanistan, tetapi kawasan-kawasan itu kurang penduduknya.

 

Dalam pemilu, yang berlaku adalah prinsip one man one vote. Bukan teritori, tetapi jumlah pemilih.

 

Memahami kondisi ini, Taliban tampil dengan retorika, akan membangun pemerintahan dengan sistem emirat. Bukan one man one vote. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar