Rabu, 18 Agustus 2021

 

Stres Digital

Kristi Poerwandari ;  Penulis kolom “Psikologi” di Kompas

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Kita kembali membahas soal peran internet dan media sosial. Dari sisi mana pun, termasuk psikologi, banyak sekali terjadi perubahan akibat kehidupan yang sekarang diperantarai oleh internet. Karena itu, kita perlu secara sadar mendiskusikan sisi positif-negatifnya untuk dapat mengantisipasi apa yang perlu dilakukan.

 

Penelitian dan pengamatan terhadap kasus di lapangan menunjukkan cukup banyaknya dampak negatif dari jauh berkurangnya kesempatan tatap muka dan makin banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam jaringan terhadap kesehatan mental manusia.

 

Di sisi lain, internet telah menjadi bagian tak terpisahkan, sekaligus berperan amat penting untuk keberlangsungan hidup kita. Yang perlu dibahas adalah nuansa-nuansa dalam berbagai konteksnya sehingga kita dapat memaksimalkan sisi positif dari kehadiran internet, dan memaksimalkan dampak negatifnya.

 

Tekanan psikologis baru

 

Survei di berbagai belahan dunia menunjukkan penggunaan internet dan telepon pintar yang amat tinggi. Setidaknya 70 persen orang dewasa menggunakan telepon pintar, sementara pada remaja lebih banyak lagi persentasenya. Sekitar 44 persen partisipan mengaku mengecek informasi baru dari internet beberapa kali sehari, dan kurang lebih 24 persen yang menghidupkan koneksi internetnya sepanjang waktu.

 

Steele, Hall dan Christofferson (2019), melakukan tinjauan terhadap berbagai penelitian tentang stres yang diakibatkan penggunaan internet dan perangkat pintar. Setidaknya ada empat komponen stres digital yang masih sulit dicarikan padanan istilah yang paling tepat di bahasa Indonesia. Ada  availability stress (tekanan untuk harus selalu ada dalam jaringan), approval anxiety (perasaan cemas terkait kebutuhan untuk diterima), fear of missing out (rasa takut akan hilang atau tertinggal), serta communication overload (berkelebihan beban komunikasi).

 

Anak, remaja, dan orang muda yang masih menjalani pendidikan mungkin kewalahan karena digiring untuk berlebihan menggunakan internet. Selain di luar pendidikan telah dibombardir beruntun oleh media sosial, sekarang siswa dan mahasiswa harus mengikuti pelajaran dalam jaringan, mengerjakan tugas dan mencari bahan dalam jaringan, serta menjalani ujian dalam jaringan. Tampaknya otak jadi sulit untuk dapat sungguh-sungguh beristirahat.

 

Bila yang di atas lebih terkait dengan beban kerja otak yang melampaui apa yang dapat ditanggung, tiga tekanan yang lain memiliki karakteristik sosial. Internet terus menghadirkan informasi baru yang real-time, karena itu, kita juga dituntut untuk berespons cepat, atau setidaknya, merasa harus demikian. Kita seolah harus selalu cepat tanggap merespons pihak lain entah itu terkait kerja maupun hubungan interpersonal. Agar dapat cepat tanggap, kita harus selalu ada dalam jaringan. Bila tidak terhubung dalam jaringan, dapat muncul perasaan bersalah atau kecemasan.

 

Secara lebih khusus, ada kecemasan terkait penerimaan dari pihak lain. Media sosial dengan algoritmanya menghadirkan perasaan cemas dan tidak yakin mengenai bagaimana orang lain akan menilai atau berespons terhadap kita. Maksudnya, mengenai bagaimana orang lain memberi like atau dislike terhadap informasi, foto, cerita, atau pesan lain di akun kita.

 

Terkait hal di atas, ada pembandingan sosial yang mau tidak mau muncul di pikiran. Individu membandingkan diri dengan yang ditampilkan oleh orang lain di media sosial. Sering muncul rasa kurang mengenai diri dalam kaitan dengan penampilan fisik, hubungan interpersonal, hubungan cinta, hingga prestasi dan keberhasilan di bidang-bidang lain. Karenanya, tidak jarang ada upaya-upaya untuk ”memoles” atau ”merekayasa” tampilan agar terlihat lebih positif.

 

”Fear of missing out”

 

Fear of missing out (FOMO) menunjuk pada perasaan tertekan akibat konsekuensi yang dapat secara nyata dialami, maupun sekadar disangka oleh individu akan dialaminya. Ini ada kaitannya dengan kebutuhan untuk diterima dan diakui, serta kebutuhan akan eksistensi diri.

 

Kondisi tidak terhubung dalam jaringan dapat menyebabkan individu khawatir kehilangan kesempatan sosial. Ia juga cemas akan dilupakan oleh teman sebaya, menjadi ”tidak ada”. Akibatnya, dapat muncul perilaku yang merugikan diri sendiri. Terus memaksa diri untuk mengecek gawai, misalnya, meski sudah kelelahan sehingga mengalami gangguan tidur. Atau merasa terdesak untuk tetap membuka media sosial saat mengemudikan mobil.

 

Dengan perempuan lebih disosialisasi untuk memfokus pada relasi, temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa FOMO ini lebih banyak dialami oleh remaja perempuan. Sementara itu, adiksi gaming lebih banyak dialami oleh laki-laki.

 

Kesehatan psikologis

 

Dampak penggunaan internet dan media sosial dapat berbeda-beda dipengaruhi, antara lain, oleh kualitas dan keseringan penggunaannya, jenis media, maupun karakteristik penggunanya.

 

Penggunaan yang pasif, tetapi berlebihan (misalnya terobsesi untuk terus berselancar mencari posting-an baru di Facebook), tampaknya memiliki dampak lebih negatif daripada penggunaan yang lebih aktif, misalnya mem-posting informasi, mengirim pesan. Dugaannya, yang aktif merasa lebih berdaya karena dapat mengekspresikan diri dan membangun interaksi dengan orang lain.

 

Karakteristik kepribadian atau keberfungsian diri sebelumnya juga memiliki perannya. Ada yang cepat merasa lelah dengan keramaian media sosial, sehingga sengaja menjaga jarak untuk dapat menenangkan diri. Penelitian juga menunjukkan bahwa yang telah memiliki masalah psikologis sebelumnya, misalnya sangat canggung dalam hubungan interpersonal, ada dalam keluarga dengan banyak masalah, atau mengalami depresi, kemungkinan akan menghadapi tantangan lebih besar dalam beradaptasi.

 

Internet menjauhkan kita dari alam, dan menyulitkan kita memenuhi kebutuhan dasar akan keterhubungan dengan orang lain. Kebijakan di bidang pendidikan dan lapangan kerja perlu memastikan tetap adanya pertemuan-pertemuan tatap muka langsung serta waktu istirahat yang mencukupi meski kita belajar atau bekerja dari rumah. Kita perlu memiliki badan dan jiwa yang sehat untuk dapat membangun bangsa yang kuat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar