Rabu, 18 Agustus 2021

 

”Pengantin Serigala”

Linda Christanty ;  Sastrawan dan Pegiat Budaya

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sepanjang Oktober 2013 itu, berbagai kegiatan berlangsung di Universitas Thammasat untuk memperingati 40 tahun berakhirnya diktator militer Jenderal Thanom Kittikachorn dalam pemerintahan Thailand. Selain pameran buku, ada pementasan drama. Punnee Suangsatapananon, seorang teman yang tinggal di Bangkok, mengusulkan kami menonton pementasan di aula universitas tersebut pada malam 13 Oktober.

 

Penonton ramai sekali. Kami pun duduk di kursi cadangan. Lakon yang dipentaskan berjudul Pengantin Serigala, mengisahkan seorang raja yang haus darah sengaja menikahi perempuan serigala lalu membunuhnya agar ia semakin perkasa. Saya tidak mengerti bahasa Thai sehingga Punnee sesekali menerjemahkan dialog para pemain di atas panggung.

 

Di tahun 2013 itu, aksi-aksi protes terhadap Perdana Menteri Yinluck Shinawatra mulai merebak. Yinluck adalah adik mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang pemerintahannya dikudeta militer pada 2006. Ia, sebagaimana kakaknya, tidak disukai monarki dan militer. Ia dituduh korupsi. Jenderal Prayuth Chan-ocha dari Angkatan Darat Kerajaan Thailand mengudeta pemerintahan Yinluck pada Mei 2014 dan membawa Thailand kembali memasuki era junta militer. Ia kemudian menjadi perdana menteri negara tersebut sampai hari ini.

 

Orang-orang yang dianggap menghina monarki ditangkap di masa Prayuth, tidak peduli jika peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya. Penulis lakon Pengantin Serigala dan pemeran perempuan serigala, Pronthip ”Kolf” Mankong, menjadi sasaran penangkapan, begitu pula pemeran raja, Patiwat ”Bank” Saraiyam. Mereka terkena Pasal 112 atau pasal penghinaan terhadap monarki, yang populer disebut kasus lèse majesté. Kedua seniman ini dijebloskan ke penjara. Empat pemeran lakon ini kalang kabut bersembunyi. Dua orang menyelamatkan diri ke negara tetangga.

 

Kebebasan berekspresi dan berpendapat terbelenggu. Jiwa sastrawan pun terancam. Penulis Wat Wanyangkun terpaksa menjadi eksil di Paris. Penyair Kamol Duangpasuk alias Mainueng Kor Kuntee ditembak mati di lapangan parkir sebuah restoran di Bangkok.

 

Kolf menulis buku tentang pengalamannya waktu mendekam di penjara, All They Could Do to Us: Courage in Dark Times from a Fighter (Not a Victim), setebal hampir 900 halaman dan diterbitkan Read, penerbit buku-buku sastra kritis, pada Maret 2021 lalu.

 

Dalam seminar ”Thai and Indonesian Writing in an Era of Conservative Redux” yang diselenggarakan secara daring oleh Program Studi Asia Tenggara-Fakultas Ilmu Politik dan Hukum, Universitas Wailalak, Thailand, pada hari pertama, 6 Agustus 2021, Sutida Wimuttikosol, dosen Fakultas Seni Liberal dari Universitas Thammasat, membahas kisah-kisah para tahanan kasus 112, termasuk kisah Kolf.

 

Sutida menyatakan judul makalahnya, I Have No Voic, diilhami tulisan pada tubuh Kolf, ”Ketika ia memberi tahu orang asing di gereja penjara bahwa ia sakit dan tidak memiliki suara untuk berbicara. Huruf e pada kata voice sengaja dihapus untuk menggambarkan suara utuh yang terhalang sampai. Kata itu teramputasi secara fonemis karena pengucapnya berada di balik sel fisik dan psikologis yang dibangun kekuasaan.

 

Ia menandaskan, ”Cerita Kolf membawa para pembaca dalam perjalanan menjelajahi struktur ketidakadilan yang berulang dan didukung oleh birokrasi di penjara. Ini seperti gambar simulasi sosial rakyat Thailand yang berulang kali ditindas oleh penguasa sampai tubuh dan pikiran mereka menjadi terbiasa dan menerima penindasan sebagai bagian dari keberadaannya.”

 

Ida Aroonwong, pembicara utama Thailand dalam seminar ini, teringat salah satu baris dalam kitab Khlong Lokanit, yang mengajarkan filosofi dan etika hidup di Thailand masa lampau: pisang adalah pisang, adalah pisang, tidak akan menjadi pisang tanduk. Ia mengumpamakan rakyat kebanyakan di satu pihak dan penguasa serta lingkaran pendukungnya di lain pihak, ibarat pisang biasa dan pisang tanduk. Tatanan sosial dan politik itu memengaruhi sastra Thai.

 

Bagi Ida, S.E.A Write adalah penghargaan elitis. Para jurinya menjaga konservatisme politik dan nilai-nilai sastra. Setiap tahun upacara penyerahan penghargaan ini dipimpin anggota keluarga raja. Suatu ketika sekelompok penyair menyelenggarakan sayembara penghargaan ”FreeWrite”, yang sengaja mengolok-olok S.E.A Write. Para sastrawan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menerima S.E.A Write dari Thailand melalui pemilihan yang dilakukan juri di negara asalnya, tetapi di Thailand, perhargaan ini diperoleh sastrawan melalui sayembara.

 

Ida adalah penulis, editor, dan pengelola penerbit Read, yang juga mengadvokasi dan menjadi penjamin bagi orang-orang yang ditahan karena kasus lèse majesté.

 

Di awal 2020, aksi protes kembali melanda Thailand. Puncaknya pada bulan September. Ribuan massa turun ke jalan, menuntut perubahan undang-undang untuk membatasi kekuasaan monarki dan pengunduran diri perdana menteri Prayuth Chan-ocha.

 

Pada 7 Agustus 2021, di hari kedua seminar, aksi protes kembali terjadi di Bangkok. Apakah akan menggulirkan perubahan politik besar agar tiada lagi kasus seperti Pengantin Serigala atau kasus yang lebih buruk?

 

Sehari setelah menonton Pengantin Srigala, 14 Oktober 2013, Punnee dan teman kami, Subhatra Bhumiprabas, seorang veteran jurnalis dan aktivis, menemani saya menghadiri geladi resik penghargaan S.E.A Write di Hotel Mandarin Oriental, Bangkok. Semua penerima penghargaan harus duduk bersimpuh di lantai dengan posisi yang ditetapkan pejabat kerajaan. Saya keberatan, ”Apakah kami boleh berdiri?” Subhatra menyampaikan keberatan saya dalam bahasa Thai kepada pejabat itu, yang akhirnya setuju para sastrawan tidak harus bersimpuh. Berlutut saja. Alasannya, kami tidak boleh lebih tinggi dari putri raja yang duduk di kursi saat berfoto bersamanya. Jika ada yang iseng melihat foto penerima S.E.A Write 2013, mungkin itu untuk pertama kalinya para sastrawan tidak duduk bersimpuh seperti abdi dalem kerajaan. Mungkin ini kemajuan kecil dalam menghadapi monarki. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar