Rabu, 18 Agustus 2021

 

Pustakawan dan Tantangan di Era Antroposen

Frial Ramadhan Supratman ;  Pustakawan di Perpustakaan Nasional

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ketika mengikuti berbagai seminar dan diskusi kepustakawanan, serta melihat tulisan-tulisan yang dibuat para pustakawan di media maupun jurnal ilmiah, saya melihat kebanyakan pustakawan cukup serius –sekaligus khawatir –terhadap tantangan Revolusi Industri 4.0 yang ada di depan mata. Sebagai salah satu profesi yang terancam keberlangsungannya akibat otomatisasi, pustakawan menyiapkan berbagai “formula” untuk dapat bertahan, beradaptasi, bahkan memberikan kontribusi di masa Revolusi Industri 4.0

 

Tidak ada yang salah dari usaha tersebut. Namun terlepas dari kebutuhan pustakawan untuk beradaptasi di era Industri 4.0, tidak banyak dari mereka yang menyadari bahwa terdapat era lain yang sudah menghampiri manusia dari sudut pandang geologi, yaitu era Antroposen. Ihwal era Antroposen memang masih sedikit diperbincangkan oleh profesi-profesi di luar saintis di Indonesia.

 

Baru-baru ini sejarawan Universitas Chicago, Dipesh Chakrabarty, menulis buku mengenai era Antroposen dengan judul The Climate of History in a Planetary Age. Buku ini ditulis di luar kelaziman kajian sejarah yang hanya membicarakan masa lalu dari sudut pandang politik, ekonomi, militer, dan diplomasi dengan periodisasi yang sempit. Buku ini nampak sebagai buku “Big History” yang menyadarkan kita bahwa gerak sejarah tidak dapat lepas dari perubahan alam. Terlebih lagi pandemi Covid-19 telah menunjukkan dengan jelas bahwa manusia merupakan bagian dari perubahan alam dan lingkungan.

 

Sebagai bagian dari “keluarga besar” ilmuwan sosial humaniora, pustakawan nampaknya harus ikut terlibat dalam memikirkan era Antroposen. Posisi pustakawan sebagai pengayom dunia literasi akan menjadi sangat vital dalam memberikan kesadaran, pengetahuan, dan informasi kepada masyarakat bahwa planet bumi yang kita huni tidak berjalan baik-baik saja, ada masalah besar yang harus dihadapi bersama. Jika tidak, pengabaian terhadap kondisi alam akan semakin membahayakan kehidupan manusia di masa depan.

 

Era Antroposen

 

Antroposen berasal dari kata anthropo yang berarti “manusia” dan cene yang berarti “baru”. Kata ini menjadi populer ketika ahli kimia yang sekaligus peraih Nobel Kimia, Paul Crutzen, dan spesialis ilmu kelautan, Eugene F Stoermer, menerbitkan pernyataan singkat pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa era Antroposen ditandai dengan “semakin meningkatnya dampak aktivitas manusia pada bumi dan atmosfer...”.

 

Dengan demikian, jika melihat argumen Crutzen dan Stoermer, maka era Antroposen sekaligus mengakhiri era Holosen yang dimulai 11.700 tahun yang lalu. Dalam jurnal Nature tahun 2002, Crutzen menyatakan bahwa era Antroposen telah dimulai pada akhir abad ke-18. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya methane dan konsentrasi karbondioksida secara global.

 

Era Antroposen dipahami dengan kemunculan manusia sebagai kekuatan geofisik global sejak awal 1800 ketika industrialisasi mulai berkembang dengan memanfaatkan bahan bakar fosil. Indikator dari era ini adalah konsentrasi karbondioksida yang semakin meningkat. Sejak tahun 1950 konsentrasi karbondioksida di atmosfer meningkat dari 310 ppm hingga menjadi 380 ppm (Steffen, Crutzen, McNeill, 2007).

 

Dalam era Antroposen, manusia berperan penting dalam menentukan kelangsungan kehidupan di bumi. Hal ini terlihat dari perubahan alam drastis yang terjadi belakangan ini yang berkaitan dengan deforestisasi, pemanasan global, serta perubahan iklim dan ekologi. Disadari atau tidak, kerusakan alam yang terjadi berpengaruh juga terhadap bencana alam yang seringkali menerpa kehidupan manusia.

 

Inklusi sosial

 

Dipesh Chakrabarty (2021) menyatakan bahwa krisis perubahan iklim merupakan krisis banyak dimensi. Jadi, ini bukan hanya urusan ahli biologi, geologi, atau lingkungan, tetapi juga harus menjadi perhatian para ahli ilmu sosial humaniora, seperti pustakawan. Pustakawan menjadi salah satu profesi yang harus ikut berpartisipasi dalam menyadarkan manusia di era Antroposen melalui kegiatan literasi informasi.

 

Dengan menyadari bahwa bumi telah memasuki era Antroposen, pustakawan seharusnya lebih memperkuat lagi peran sosial dan kebudayaannya di dalam masyarakat. Salah satu upaya yang harus diperkuat oleh pustakawan dan perpustakaan di era Antroposen adalah penguatan inklusi sosial.

 

Dengan mewujudkan kebijakan berbasis inklusi sosial, maka perpustakaan tidak lagi hanya menunggu masyarakat datang untuk meminjam buku, tetapi menjadikan perpustakaan sebagai wahana untuk berdiskusi dan memahami permasalahan nyata yang sedang dihadapi. Dalam hal ini, tugas pustakawan tidak lagi hanya melakukan manajemen koleksi dan pengetahuan, tetapi harus mengarah pada kegiatan transfer pengetahuan kepada masyarakat secara adil.

 

Dalam era Antroposen, pustakawan seharusnya memberikan penguatan literasi informasi kepada masyarakat bahwa manusia dan alam bukanlah dua hal yang terpisah dan berbeda. Baik manusia maupun alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

 

Tradisi ilmu pengetahuan modern seringkali melakukan pemisahan antara alam dan manusia sehingga kegiatan manusia seakan-akan terpisah dari perubahan alam, begitu juga sebaliknya. Sejarawan dan filsuf RG Colingwood, misalnya, menyebut bahwa “semua sejarah merupakan sejarah manusia” (Chakrabarty, 2021). Hal tersebut nampaknya tidak lagi cocok di era Antroposen yang melihat bahwa alam tidak dapat terpisahkan dari manusia.

 

Pustakawan yang berpihak

 

Salah satu tantangan untuk menggerakan pustakawan di era Antroposen adalah menggiring pustakawan untuk lebih berpihak pada nilai dan moral. Masih banyak diantara pustakawan yang cukup puas dengan atribut “obyektif” dalam melihat permasalahan. Padahal ilmu perpustakaan sebagai bagian dari ilmu sosial humaniora seharusnya dapat lebih berpihak pada nilai dan moral.

 

Dalam era Antroposen, keberpihakan terhadap nilai dan moral sangatlah penting. Dalam era ini, manusia menjadi kekuatan geofisik global seiring dengan meningkatnya urbanisasi, penggunaan lahan, globalisasi, populasi manusia, penggunaan energi, transportasi dan komunikasi antarwilayah. Hal tersebut berdampak pada komposisi atmosfer, iklim, karbondioksida, aliran sungai, rantai makanan hingga biodiversiti biologi. Semua terintegrasi menjadi satu Sistem Bumi (Steffen, Crutzen, McNeill, 2007).

 

Karena manusia berada dalam satu rantai dengan proses alam, maka teknologi dan moral menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan planet bumi. Untuk itu pustakawan seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga moral manusia dalam memanfaatkan teknologi dan menjaga lingkungan.

 

Pustakawan seharusnya tidak lagi pasif dan berdiam diri di balik perisai “obyektif”, tetapi harus berani berpihak pada nilai dan moral yang dapat menyelamatkan lingkungan. Melalui agenda penguatan literasi informasi mengenai lingkungan kepada masyarakat secara luas, maka pustakawan dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk planet bumi.

 

Dengan demikian, pustakawan seharusnya tidak hanya memikirkan Revolusi Industri 4.0 untuk menyelamatkan profesinya dari otomatisasi, tetapi turut serta dalam diskursus global yang berkaitan dengan alam dan lingkungan. Dalam era Antroposen, agenda penguatan literasi informasi ini sangat dibutuhkan untuk mengubah paradigma berpikir manusia mengenai alam dan lingkungan untuk kelangsungan hidup masa depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar