Rabu, 18 Agustus 2021

 

Salah Kaprah Ucapan ”Dirgahayu HUT RI”

Nur Adji ;  Penyelaras Bahasa Kompas

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tepat pada 17 Agustus 2021, Indonesia berusia 76 tahun. Baik individu maupun instansi biasanya bersegera memasang spanduk atau iklan yang berisi ucapan selamat. Pemasangan spanduk atau iklan itu untuk menunjukkan kecintaan kepada republik ini sangat tinggi.

 

Kecintaan itu patut dihargai, apalagi jika ucapan yang diterakan dalam spanduk atau iklan tersebut sesuai kaidah.

 

Nah, di sinilah masalahnya. Kerap ditemukan penulisan ucapan selamat tersebut tidak tepat. Tahun berganti tahun, dekade berganti dekade, ucapan yang muncul selalu beragam, dan kesalahan yang sama pun berulang.

 

Ucapan selamat yang tidak tepat, misalnya, adalah yang sejenis ini: ”HUT RI Ke-74, TNI Pamer Alutsista di Mal Pekanbaru”.

 

HUT RI Ke-74 merupakan frasa yang selalu berulang diucapkan, dan keliru. Kerap diingatkan oleh orang atau pihak yang berkompeten di bidang bahasa bahwa yang tepat adalah HUT Ke-74 RI.

 

Kenapa demikian? Jika kata bilangan peringkat ke-74 diletakkan di belakang RI, penafsiran yang muncul adalah jumlah RI sebanyak 74.

 

Penafsiran itu juga menunjukkan bahwa entitas yang sedang berulang tahun adalah RI yang ke-74, bukan RI yang ke-5, ke-10, atau RI yang lain. Padahal, kita tahu, negara RI hanya ada satu, yakni RI yang sedang berumur 74 tahun.

 

Posisi dalam struktur demikian berpengaruh terhadap makna atau penafsiran yang muncul. Itulah sebabnya, untuk menghindari taksa atau keambiguan, kata bilangan ke-74 harus ditempatkan setelah HUT, bukan setelah RI.

 

Hal itu bisa diujikan pada contoh lain, misalnya ”Hari Jadi Ke-74 TNI Berlangsung Sederhana”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa yang sedang merayakan hari jadi ke-74 adalah TNI.

 

Jika kita balik posisinya, ”Hari Jadi TNI Ke-74 Berlangsung Sederhana”, penafsiran yang muncul adalah entitas yang sedang merayakan hari jadi adalah TNI yang ke-74. Padahal, kita juga tahu, TNI hanya ada satu, yakni TNI yang sedang merayakan hari jadi ke-74.

 

Yang patut menjadi catatan adalah jika perayaan yang menggunakan kata hari tersebut merupakan sebuah nama. Penulisan Hari Bhayangkara, misalnya, yang merupakan hari kepolisian nasional (Polri), tidak ditulis menjadi Hari Ke-74 Bhayangkara. Penulisannya tetap Hari Bhayangkara Ke-74.

 

Jika kita menempatkan kata bilangan peringkat ke-74 di antara hari dan bhayangkara, makna yang ditimbulkan menjadi lain. Hari Ke-74 Bhayangkara tidak menunjukkan bahwa kepolisian sedang merayakan hari jadi ke-74, tetapi kepolisian sedang melakukan sesuatu pada hari ke-74. Dengan kata lain, sebelum pada hari ke-74, ada hari lain, yakni hari ke-73, ke-72, dan seterusnya, yang dilakukan kepolisian.

 

Hal tersebut bisa diujikan juga pada perayaan lain yang menggunakan kata hari sebagai nama, misalnya Hari AIDS, Hari Bumi, dan Hari Ibu. Jadi, untuk Hari AIDS, umpamanya, kita bisa menuliskan Hari AIDS Ke-32 atau peringatan ke-32 (tahun) Hari AIDS.

 

 

Harap diperhatikan pula penggunaan ke- dalam tulisan tersebut. Jika imbuhan ini dimasukkan dalam struktur ucapan, mestinya ditulis dengan huruf kapital. Ke- di sini adalah imbuhan, bukan kata depan. Maka, penulisan yang tepat adalah HUT Ke-76 Republik Indonesia, bukan HUT ke-76 Republik Indonesia.

 

Dirgahayu HUT RI

 

Tulisan yang juga tidak tepat adalah Dirgahayu HUT RI untuk menandakan bahwa RI sedang berulang tahun. Contoh, ”Ucapan Dirgahayu HUT RI Ke-74 Bertebaran di Mana-mana”.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, kata dirgahayu bermakna ’berumur panjang (biasanya ditujukan kepada negara atau organisasi yang sedang memperingati hari jadinya)’. Bisa juga bermakna ’(semoga) panjang umur’. Contoh dalam KBBI ialah dirgahayu Republik Indonesia, yang berarti ’(semoga) panjang umur Republik Indonesia’.

 

Penempatan kata dirgahayu yang berasal dari bahasa Sanskerta sebelum HUT menyebabkan maknanya tidak sesuai dengan maksud si pembuat ucapan. Dirgahayu HUT berarti ’(semoga) panjang umur HUT’ atau ’(semoga) HUT berumur panjang’.

 

Kata dirgahayu lebih pas jika disandingkan dengan RI yang berulang tahun, bukan dengan HUT. Jadi, Dirgahayu RI, ’(semoga) panjang umur RI’ atau ’(semoga) RI berumur panjang’, adalah ucapan yang dianjurkan.

 

Bagaimana pula jika kita ingin mengganti Indonesia, atau menambahkan kata kemerdekaan, di samping kata Indonesia, kita pun dapat melakukannya. Misalnya, Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia atau Dirgahayu Kemerdekaan RI.

 

Makna yang timbul dari ungkapan tersebut adalah ’(semoga) panjang umur kemerdekaan RI’. Kita mendoakan agar kemerdekaan yang kita raih dan miliki panjang usianya, berlanjut ke akhir zaman, karena kita tidak mau penjajahan oleh bangsa lain terjadi lagi.

 

Dalam tulisan yang tersebar di media daring, yang semuanya merujuk ke sebaran yang diberikan Badan Bahasa, kata bilangan tidak dianjurkan untuk ditempatkan dalam struktur dirgahayu RI atau dirgahayu kemerdekaan RI.

 

Dalam sebaran dinyatakan bahwa ucapan yang dianggap benar adalah Dirgahayu Republik Indonesia, Dirgahayu RI, atau Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia. Sementara Dirgahayu HUT RI, Dirgahayu RI Ke-76, dan Dirgahayu Kemerdekaan Kita Ke-76 dianggap salah.

 

Mungkin perlu dipertimbangkan pendapat yang diungkapkan JS Badudu (almarhum) bertahun-tahun lalu (1983). Mahaguru bahasa ini menganggap penulisan kata bilangan, misalnya ke-76, dapat disandingkan dengan Dirgahayu RI.

 

Ia menyarankan penulisannya demikian: Dirgahayu RI Ber-HUT Ke-76. Jika diparafrasakan kira-kira ’semoga panjang umur RI yang berulang tahun ke-76’. Hemat penulis, bisa juga dituliskan menjadi Dirgahayu RI yang Ber-HUT Ke-76.

 

Penulisan lengkap demikian dianggap perlu karena informasi bisa didapatkan sekaligus. Selain ucapan (semoga) panjang umur, informasi ulang tahun yang keberapa pun dapat diperoleh.

 

Sudah diingatkan dari dulu

 

Penulisan ucapan yang terkait dengan HUT RI sudah dibahas dari dulu. Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa), juga mahaguru bahasa Anton Moeliono dan JS Badudu, selalu mengingatkan kesalahan yang muncul tersebut.

 

Namun, kesalahan yang sama terjadi lagi. Ujaran dalam peribahasa memang tidak bisa dilawan: malu bertanya, sesat di jalan. Barangkali kesalahan yang selalu muncul disebabkan ketidaktahuan pengguna bahasa. Maka, mencari tahu, bertanya, wajib dilakukan, supaya tidak tersesat jalannya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar