Pemulihan
Ekonomi dan Tertahannya Kemiskinan Sulthoni Syahid Sugito ; Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Pemalang |
DETIKNEWS, 12
Agustus 2021
Salah satu
target program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) adalah menekan kemiskinan.
Faktanya penanggulangan kemiskinan di era pandemi membutuhkan usaha dan
perlakuan berbeda dibandingkan sebelum pandemi. Pembatasan kegiatan sosial
yang berujung pada melemahnya perekonomian masyarakat adalah tantangan
terbesarnya. Rilis terbaru
Badan Pusat Statistik (BPS), 15/7, diketahui kemiskinan per Maret 2021
mengalami penurunan dibandingkan September 2020. Tetapi masih berada pada
level terendah yaitu dua digit. Ini tentu menjadi kabar baik, namun juga
kabar buruk karena capaian penurunan kemiskinan tidak sesuai yang diharapkan. Persentase
penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 10,14 persen (atau 27,54 juta orang),
menurun 0,05 persen (atau 0,01 juta orang) terhadap September 2020. Namun
jika dibandingkan Maret 2020 awal pandemi terjadi masih mengalami peningkatan
0,36 persen (atau 1,12 juta orang). Data ini bukti tertahannya laju penurunan
kemiskinan pada level dua digit selama setahun terakhir. Jika
membandingkan sebelum pandemi tentu posisi kemiskinan saat ini mengalami
peningkatan yang drastis, namun dengan adanya program perlindungan sosial
tentu sangat membantu dalam meredam kemiskinan semakin parah. Program inilah
yang diharapkan mayoritas masyarakat terdampak dapat mengerek
sebesar-besarnya perekonomian dan berujung menekan angka kemiskinan akibat
pandemi. Kemiskinan
perkotaan terdampak paling besar. Penduduk miskin perkotaan pada Maret 2021
naik 138,1 ribu orang dari 12,04 juta September 2020 menjadi 12,18 juta
orang. Sedangkan penduduk miskin perdesaan justru mengalami penurunan 145,0
ribu orang pada September 2020 --15,51 juta orang menjadi (15,37 juta orang.
Ini menunjukan kondisi kemiskinan perkotaan lebih terpuruk dan sebaliknya
pedesaan menunjukkan eksistensinya relatif lebih tahan dari badai pandemi. Kondisi di
atas bisa dipahami karena pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi di
perkotaan berlangsung lebih ketat menyebabkan kemiskinan di perkotaan naik
dan di daerah pedesaan relatif cenderung bisa menurunkan kemiskinan karena
pengetatan yang terjadi relatif longgar dan masih terbukanya lapangan
pekerjaan utamanya di sektor pertanian. Adanya shifting pekerjaan ke sektor
ini sangat membantu kemiskinan di pedesaan turun. Sebaliknya di perkotaan
sangat sulit mencari substitusi pekerjaan, khususnya pertanian. Walaupun
pandemi masih terjadi nyatanya Garis Kemiskinan (GK) justru mengalami
kenaikan dari Rp 458.947 (September 2020) menjadi Rp 472.525 per kapita per
bulan (Maret 2021). Dengan rata-rata 4,49 orang anggota rumah tangga, artinya
rata-rata GK sebesar Rp 2.121.637 /rumah tangga miskin/bulan. Menariknya
lebih dari 53 persen penduduk miskin berada di Pulau jawa atau sekitar 14,75
juta orang. Ini tentu menjadi tantangan meningkatkan performa ekonomi di
Pulau jawa untuk bangkit dan pandemi diyakini masih menjadi batu sandungan. Efek Pandemi Pandemi
Covid-19 telah berlangsung lebih dari satu tahun, geliat ekonomi masyarakat
turut terhambat. Tercermin dari pertumbuhan ekonomi semenjak Triwulan II -
2020 terus berada pada pertumbuhan negatif yang artinya terjadinya
perlambatan. Triwulan I-2021 terhadap Triwulan I-2020 mengalami kontraksi
pertumbuhan sebesar 0,74 persen (y-on-y). Walaupun masih
terjadi kontraksi yang mengindikasikan pertumbuhan kita ke arah minus, tetapi
saat ini sudah menunjukkan ke arah pemulihan ekonomi. Jika dibandingkan pada
Triwulan II-2020 yang pernah mengalami kontraksi terdalam mencapai -5,32
persen (y-on-y). Tren perbaikan ekonomi yang kita rasakan dari waktu ke waktu
tentu tidak lepas dari peran penting berbagai program perlindungan sosial. Kabar terbaru
imbas dari pandemi yaitu laporan Bank Dunia, Indonesia mengalami penurunan
status dari negara berpendapatan menengah atas menjadi menengah bawah. Hal
ini disebabkan pendapatan nasional bruto atau gross national income (GNI) per
kapita Indonesia turun dari US$ 4.050 (2019) menjadi US$ 3.870 (2020). Tentu imbas
dari perlambatan ekonomi dan daya beli masyarakat yang menurun, bantuan
sosial (bansos) diyakini masih jadi bantalan utama dalam mendongkrak daya
beli masyarakat. Seyogyanya kebijakan ini tetap dipertahankan setidaknya
hingga tanda-tanda perekonomian masyarakat membaik atau bahkan hingga pandemi
berakhir. Bansos Di tengah
badai kasus harian Covid-19 yang terus mencatatkan rekor dari hari ke hari,
ditambah dengan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
yang semakin masif di berbagai daerah, diyakini akan terus menekan kondisi
ketenagakerjaan yang berimbas pada kemiskinan kita ke depan. Perlu strategi
matang untuk mengendalikan situasi di luar kendali ini. Lonjakan
kemiskinan kini menjadi keniscayaan bagi hampir semua negara di dunia akibat
pandemi, tapi justru yang terpenting adalah bagaimana mengendalikannya.
Bansos yang ada dirasa masih menjadi tumpuan utama menahan laju dampak
pandemi. Dalam sidang
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Presiden melaporkan Indonesia telah
menggelontorkan dana sebesar US$ 28,5 miliar setara Rp 412 triliun.
Keseriusan pemerintah memang diuji melalui bansos ini, karena bansos yang
tepat sasaran masih menjadi permasalahan serius. Permasalahan data penerima
hingga skema penyaluran masih menjadi perdebatan. Terlebih karena beberapa
indikator seperti kemiskinan dan pengangguran hanya mampu sedikit ditekan. Selain bansos
tentu beberapa program lain menjadi upaya dalam pemulihan ekonomi, salah
satunya skema Padat Karya Tunai (PKT/cash for work). Tujuan menyerap tenaga
kerja sebesar-besarnya harus didukung, Harapnya tentu dengan terserapnya
tenaga kerja dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan mampu menekan
pengangguran dan kemiskinan. Keseriusan pemerintah terpancar dari dana yang
disediakan pada tahun ini sebesar Rp 6,69 triliun untuk program PKT yang
direncanakan dapat menyerap 273.603 tenaga kerja. Oleh karena
itu, dalam upaya menjaga momentum pemulihan ekonomi pada sektor
ketenagakerjaan pemerintah pada tahun ini menganggarkan Rp 10 triliun untuk
sekitar 2,8 juta target peserta prakerja. Selain itu, menganggarkan bantuan
usaha Rp 3,6 triliun untuk mendukung sekitar 3 juta usaha kecil. Harapannya
sektor ketenagakerjaan kita bisa tumbuh, sehingga daya beli masyarakat bisa
membaik dan tujuan besarnya kemiskinan bisa ditekan sedalam-dalamnya. Tantangan Kontraksi
ekonomi yang dialami pascapandemi tentu menjadi pukulan terburuk. Efek domino
dari kontaksi ini bisa ditebak pengangguran dan kemiskinan meningkat. Namun
di balik itu kita masih bisa bangkit dengan mencermati sektor unggulan dan
mengambil peluang asa untuk bisa menggenjot sektor lainnya. Ekonomi
Indonesia Triwulan I-2021 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,74
persen. Kontraksi pertumbuhan paling besar ada pada transportasi dan
pergudangan sebesar 13,12 persen. Ini bisa dipahami karena semenjak pandemi
beberapa kebijakan transportasi dilakukan pengetatan dalam hal bepergian
ditambah dengan adanya kebijakan work from home (WFH) yang diberlakukan
perkantoran sehingga mobilitas masyarakat semakin menurun. Sedangkan
sebaliknya pertumbuhan positif terjadi pada sektor informasi dan komunikasi
sebesar 8,72 persen, menjadi hal lumrah karena kebijakan sekolah dan kerja
online sekarang gencar diberlakukan. Menariknya sektor pertanian, kehutanan
dan perikanan masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 2,95 persen. Sektor
pertanianlah yang digadang mampu menjadi sumber penggerak pemulihan ekonomi
kedepan. Namun bukan tidak ada permasalahan pada sektor ini, menjadi masalah
karena penduduk yang bekerja sektor pertanian diasosiasikan dengan pekerjaan
yang tidak berkualitas, pekerjannya berpendidikan dan upah atau pendapatannya
relatif rendah. Kini tantangannya tentu membuat para petani dan semua yang
bergerak di sektor ini dapat mandiri, modern, dan berbasis teknologi. Menariknya
pada Februari 2021 persentase penduduk usia kerja yang terdampak pandemi
mencapai 9,30 persen. Dengan penurunan pengangguran 0,81 persen dibanding
Agustus 2020 menjadi 8,75 juta orang atau 6,26 persen. masih ada tiga
dominasi lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah
pertanian, kehutanan, dan perikanan yaitu sebesar 29,59 persen; perdagangan
besar dan eceran sebesar 19,20 persen; dan industri pengolahan sebesar 13,60
persen. Ini juga menjadi catatan karena hanya sektor pertanian saja yang
mengalami pertumbuhan positif di ekonomi triwulan I-2021 selebihnya mengalami
kontraksi. Selaras dengan
tertekannya perekenomian di sektor seperti perdagangan dan industri
menyebabkan pekerja informal meningkat sebanyak 78,14 juta orang (59,62
persen) dibanding Agustus 2020 yang sebesar 77,68 juta orang. Pekerja di
sektor ini banyak berubah menjadi pekerja dengan status pekerja bebas dan
pekerja keluarga atau tak dibayar. Ini tentu menjadi ironi di kala penanganan
pandemi banyak memusatkan di sektor ini. Strategi Beberapa
strategi bisa dilakukan. Pertama, dengan semakin meningkatnya pekerja
informal tentu harapannya pemerintah mampu mendorong investasi baru yang
lebih banyak menyerap tenaga kerja berkualitas, tentu bukan hanya kuantitas
yang difokuskan. Faktanya saat ini kita kekurangan lapangan pekerjaan
berkualitas untuk mendorong pertumbuhan kelas menengah. Catatannya pekerjaan
untuk mendorong pertumbuhan kelas menengah di Indonesia turun, pada 2019
persentase pekerjaan kelas menengah masih mencapai 15,4 persen. Namun,
setelah pandemi menjadi 10,2 persen hanya dalam kurun waktu satu tahun
terakhir. Kedua, adanya
reformasi kebijakan terkait perlindungan dan upah yang layak. Memandang aspek
pengupahan yang layak untuk pekerja ini selayaknya diperhatikan pemerintah
melalui kebijakan upah minimum yang memadai dan pro pekerja. Sementara
standar pekerjaan berkualitas tidak bisa lepas dari kebijakan upah minimum
bagi pekerja. BPS mencatat pada Februari 2021 rata-rata upah buruh Rp 2,86
juta/bulan. Rata-rata upah terendah yaitu di sektor pertanian pertanian,
kehutanan, dan perikanan Rp 1,93 juta dan penyediaan akomodasi dan makan-minum
Rp 2,06 juta. Ketiga, adanya
modernisasi dan transfer teknologi serta keahlian melalui investasi asing.
Akselerasi dengan investasi asing tidak hanya di sisi output saja yang
terpenting adanya pembelajaran transfer keahlian sehingga ke depan pekerja profesional
akan beralih ke pekerja lokal. Keempat,
mendorong pemerintah mampu membuat insentif bagi mereka golongan menengah
atas untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di golongan bawah dengan
membelanjakan pendapatannya. Berbagai keringanan pajak, kemudahan kredit baik
perumahan maupun usaha perlu diteruskan dan dikembangkan lagi. Terakhir,
tentu saat ini hampir semua kalangan menjadi sasaran perlindungan sosial.
Tidak terbayangkan jika hal ini telat atau bahkan tidak sama sekali
diberikan, mungkin akan banyak sekali penduduk kita yang terjerembab di
lembah kemiskinan. Program-program perlindungan sosial seperti PKH, bantuan
sembako, BLT, subsidi listrik, kuota internet hingga bantuan UMKM guna
mewujudkan pemulihan ekonomi dirasakan masih sangat dibutuhkan. Ke depan
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perluasan maupun modifikasi program
bantuan ke arah produktif dan mandiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar