Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Ambruknya Industri Penerbangan

Agus Pambagio ;  Pengamat Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

DETIKNEWS, 12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Industri penerbangan Indonesia berada pada titik nadir kebangkrutan, setelah beberapa maskapai penerbangan berjadwal nasional kecil dan menengah mulai berguguran sejak 2010 setelah booming di awal tahun 2000. Disusul matinya maskapai penerbangan Mandala Airlines di tahun 2012 lalu dan terus diikuti oleh beberapa maskapai lain.

 

Dari sisa maskapai berjadwal yang ada (Garuda Indonesia dan Citilink, Sriwijaya dan NAM serta Lion Air Group), pada akhirnya di tahun 2021 ini juga sempoyongan ditandai dengan membengkaknya kewajiban finansial maskapai tersisa, baik kepada lembaga finansial/bank domestik maupun internasional yang sulit ditanggulangi oleh maskapai nasional dalam kondisi pandemi yang tak kunjung dapat diatasi ini.

 

Menyusul ditariknya beberapa armada Garuda Indonesia (GIAA), Lion Air, dan Batik Air oleh lessors dalam beberapa minggu terakhir untuk diterbangkan ke Alice Spring atau Port Headland di Australia, membuktikan terpuruknya finansial maskapai kita. Kondisi ini tidak saja diakibatkan pandemi yang berkepanjangan tetapi juga karena ketidakmampuan manajemen mengurus perusahaan. Krisis GIAA sudah muncul sebelum pandemi.

 

Selain itu arah kebijakan regulator juga tidak jelas; regulator kurang kondusif sehingga membuat maskapai penerbangan dan industri penerbangan Indonesia sulit berkembang dengan sehat. Dalam kurun waktu lima tahun ini banyak persoalan keselamatan penerbangan yang diabaikan. Dikhawatirkan hasil audit tiga tahunan Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) ICAO untuk Indonesia tahun ini hasilnya kurang baik karena banyaknya incident dan accident di penerbangan kita.

 

Nasib Industri Penerbangan Domestik

 

Berbagai upaya tengah dilakukan oleh manajemen maskapai, namun pada akhirnya Sriwijaya dan NAM menyerah juga, kecuali penerbangan sewanya (charter). Pesawat berbadan lebar GIAA, seperti B 777 dan A 330 sebagian juga sudah tidak mengudara atau diambil lessor atau diterbangkan domestik jarak dekat (SUB - KNO - DPS) yang tentu saja merugikan maskapai karena terjadi inefisiensi, ketika pesawat berbadan lebar diterbangkan untuk jarak pendek.

 

Upaya manajemen maskapai untuk melakukan efisiensi dan penyelamatan, termasuk pemotongan gaji dan merumahkan karyawan rupanya juga tidak berpengaruh besar terhadap kondisi keuangan perusahaan. Dalam kasus GIAA, pendapatan tiga bulan pertama tahun 2021 hanya sebanyak US$ 353,07 juta. Perolehan ini anjlok 54,03% jika dibandingkan total pendapatan Kuartal I - 2020 yang sebesar US$ 768,12 juta. LA Group juga sama dan hanya mengoperasikan 15% armada pesawatnya serta merumahkan lebih dari 8.000 karyawannya.

 

Bisnis penerbangan Indonesia sudah lampu merah dan perlu pertolongan negara secepatnya. Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan seharusnya sudah mempunyai road map penyelamatan sejak pandemi muncul yang dapat segera diimplementasikan.

 

Industri penerbangan merupakan industri padat modal yang sensitif terhadap fluktuasi nilai rupiah dan harga bahan bakar. Bisnis penerbangan merupakan bisnis dengan presisi sangat tinggi dan GCG yang ketat demi tingkat keselamatan penerbangan yang tinggi. usaha penerbangan juga tidak dapat dicampuri secara politis, karena kalau itu terjadi yang dikorbankan adalah keselamatan dan keberlangsungan iusaha penerbangan itu sendiri .

 

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perhubungan Pasal 3 (b): Kemenhub adalah "pelaksana kebijakan di bidang penyelenggaraan pelayanan, keselamatan, dan keamanan transportasi, serta peningkatan operasi, aksesibilitas, konektivitas sarana dan prasarana transportasi." Bukan mengatur tarif seperti yang dilakukan menjelang Pilpres 2019 hingga kini atau sibuk dengan proyek pembangunan bandara.

 

Dalam situasi pandemi harusnya Kemenhub melakukan pengawasan ketat terhadap pesawat dan awak kabin. Sudahkah pesawat dilakukan A-B-C check secara teratur ? Sudahkah awak pesawat melewati pemeriksaan kesehatan secara rutin lalu bagaimana dengan vaksin, uji PCR setiap terbang dan sebagainya ?

 

Dalam situasi pandemi yang sarat pengaturan, tugas Ditjen Perhubungan Udara semakin berat, misalnya harus mengawasi dampak secara psikologis ketika gaji Pilot dan awak kabin banyak dipotong, jadwal terbang terpangkas dan sebagainya. Lalu apakah maskapai tertib melakukan perawatan pesawat?

 

Dari pembicaraan dengan beberapa awak kabin, terbukti banyak instrumen di kokpit pesawat yang rusak atau mati lalu sering AC panas, tetapi didiamkan atau hanya direparasi ala kadarnya. Kondisi ini berulang seperti era tahun 2000 an, saat banyak terjadi kecelakaan penerbangan. Jika ini terus berlangsung, maka ancaman keselamatan penerbangan nyata di depan mata.

 

Dengan banyaknya maskapai penerbangan berhenti beroperasi dan banyaknya pesawat terbang yang ditarik pemiliknya, publik sudah merasakan dampaknya. Kondisi penerbangan Indonesia kembali ke tahun 80-an. Dengan jadwal penerbangan yang terbatas tentunya menyulitkan pergerakan manusia dan barang. Kalau bepergian, kita perlu waktu lebih lama karena penerbangan tidak tersedia setiap hari di semua rute dengan frekuensi yang cukup.

 

Langkah Pemerintah

 

Supaya maskapai penerbangan terselamatkan, penyelesaian persoalan utang ke perbankan dan atau lembaga keuangan harus dilakukan secepatnya oleh manajemen, apapun langkah penyelesaiannya. Jika ditunda pasti akan membuat kondisi keuangan maskapai semakin memburuk.

 

Dalam kondisi pandemi memang tidak mudah. Untuk maskapai pelat merah, dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) masih di jadikan harapan. Sedangkan untuk maskapai swasta sulit, namun pemberian PMN bisa disiasati melalui perbankan (jika kredit diperoleh dari bank himbara) untuk menjaga supaya non performing loan (NPL) perbankan himbara tercukupi. Pembahasan utang piutang dengan lessor juga harus segera diselesaikan secara B to B.

 

Ambruknya industri penerbangan sangat berpotensi menyeret industri jasa keuangan atau perbankan nasional ke dasar jurang, karena besarnya tunggakan kredit industri penerbangan di bank. Triliunan utang maskapai di bank himbara juga harus dibereskan.

 

Meskipun maskapai swasta tidak layak diberi PNM, tetapi untuk menghindari besarnya kredit macet di bank himbara, akhirnya APBN juga harus digelontorkan melalui PMN ke bank himbara. Jadi pameo swasta tidak bisa dapat subsidi, ujung-ujungnya dapat disiasati menggunakan skema PMN ke perbankan himbara, jika kredit berasal dari bank himbara. Ini yang mengkhawatirkan perekonomian nasional. Jadi segera selesaikan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar