Ambruknya
Industri Penerbangan Agus Pambagio ; Pengamat Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen |
DETIKNEWS, 12
Agustus 2021
Industri
penerbangan Indonesia berada pada titik nadir kebangkrutan, setelah beberapa
maskapai penerbangan berjadwal nasional kecil dan menengah mulai berguguran
sejak 2010 setelah booming di awal tahun 2000. Disusul matinya maskapai
penerbangan Mandala Airlines di tahun 2012 lalu dan terus diikuti oleh beberapa
maskapai lain. Dari sisa
maskapai berjadwal yang ada (Garuda Indonesia dan Citilink, Sriwijaya dan NAM
serta Lion Air Group), pada akhirnya di tahun 2021 ini juga sempoyongan
ditandai dengan membengkaknya kewajiban finansial maskapai tersisa, baik kepada
lembaga finansial/bank domestik maupun internasional yang sulit ditanggulangi
oleh maskapai nasional dalam kondisi pandemi yang tak kunjung dapat diatasi
ini. Menyusul
ditariknya beberapa armada Garuda Indonesia (GIAA), Lion Air, dan Batik Air
oleh lessors dalam beberapa minggu terakhir untuk diterbangkan ke Alice
Spring atau Port Headland di Australia, membuktikan terpuruknya finansial
maskapai kita. Kondisi ini tidak saja diakibatkan pandemi yang berkepanjangan
tetapi juga karena ketidakmampuan manajemen mengurus perusahaan. Krisis GIAA
sudah muncul sebelum pandemi. Selain itu
arah kebijakan regulator juga tidak jelas; regulator kurang kondusif sehingga
membuat maskapai penerbangan dan industri penerbangan Indonesia sulit
berkembang dengan sehat. Dalam kurun waktu lima tahun ini banyak persoalan
keselamatan penerbangan yang diabaikan. Dikhawatirkan hasil audit tiga
tahunan Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) ICAO untuk Indonesia
tahun ini hasilnya kurang baik karena banyaknya incident dan accident di
penerbangan kita. Nasib Industri Penerbangan Domestik Berbagai upaya
tengah dilakukan oleh manajemen maskapai, namun pada akhirnya Sriwijaya dan
NAM menyerah juga, kecuali penerbangan sewanya (charter). Pesawat berbadan
lebar GIAA, seperti B 777 dan A 330 sebagian juga sudah tidak mengudara atau
diambil lessor atau diterbangkan domestik jarak dekat (SUB - KNO - DPS) yang
tentu saja merugikan maskapai karena terjadi inefisiensi, ketika pesawat
berbadan lebar diterbangkan untuk jarak pendek. Upaya
manajemen maskapai untuk melakukan efisiensi dan penyelamatan, termasuk
pemotongan gaji dan merumahkan karyawan rupanya juga tidak berpengaruh besar
terhadap kondisi keuangan perusahaan. Dalam kasus GIAA, pendapatan tiga bulan
pertama tahun 2021 hanya sebanyak US$ 353,07 juta. Perolehan ini anjlok
54,03% jika dibandingkan total pendapatan Kuartal I - 2020 yang sebesar US$
768,12 juta. LA Group juga sama dan hanya mengoperasikan 15% armada
pesawatnya serta merumahkan lebih dari 8.000 karyawannya. Bisnis
penerbangan Indonesia sudah lampu merah dan perlu pertolongan negara
secepatnya. Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian
Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan seharusnya sudah mempunyai road map
penyelamatan sejak pandemi muncul yang dapat segera diimplementasikan. Industri
penerbangan merupakan industri padat modal yang sensitif terhadap fluktuasi
nilai rupiah dan harga bahan bakar. Bisnis penerbangan merupakan bisnis
dengan presisi sangat tinggi dan GCG yang ketat demi tingkat keselamatan
penerbangan yang tinggi. usaha penerbangan juga tidak dapat dicampuri secara
politis, karena kalau itu terjadi yang dikorbankan adalah keselamatan dan
keberlangsungan iusaha penerbangan itu sendiri . Sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perhubungan Pasal 3
(b): Kemenhub adalah "pelaksana kebijakan di bidang penyelenggaraan
pelayanan, keselamatan, dan keamanan transportasi, serta peningkatan operasi,
aksesibilitas, konektivitas sarana dan prasarana transportasi." Bukan mengatur
tarif seperti yang dilakukan menjelang Pilpres 2019 hingga kini atau sibuk
dengan proyek pembangunan bandara. Dalam situasi
pandemi harusnya Kemenhub melakukan pengawasan ketat terhadap pesawat dan
awak kabin. Sudahkah pesawat dilakukan A-B-C check secara teratur ? Sudahkah
awak pesawat melewati pemeriksaan kesehatan secara rutin lalu bagaimana
dengan vaksin, uji PCR setiap terbang dan sebagainya ? Dalam situasi
pandemi yang sarat pengaturan, tugas Ditjen Perhubungan Udara semakin berat,
misalnya harus mengawasi dampak secara psikologis ketika gaji Pilot dan awak
kabin banyak dipotong, jadwal terbang terpangkas dan sebagainya. Lalu apakah
maskapai tertib melakukan perawatan pesawat? Dari
pembicaraan dengan beberapa awak kabin, terbukti banyak instrumen di kokpit
pesawat yang rusak atau mati lalu sering AC panas, tetapi didiamkan atau
hanya direparasi ala kadarnya. Kondisi ini berulang seperti era tahun 2000
an, saat banyak terjadi kecelakaan penerbangan. Jika ini terus berlangsung,
maka ancaman keselamatan penerbangan nyata di depan mata. Dengan
banyaknya maskapai penerbangan berhenti beroperasi dan banyaknya pesawat
terbang yang ditarik pemiliknya, publik sudah merasakan dampaknya. Kondisi
penerbangan Indonesia kembali ke tahun 80-an. Dengan jadwal penerbangan yang
terbatas tentunya menyulitkan pergerakan manusia dan barang. Kalau bepergian,
kita perlu waktu lebih lama karena penerbangan tidak tersedia setiap hari di
semua rute dengan frekuensi yang cukup. Langkah Pemerintah Supaya
maskapai penerbangan terselamatkan, penyelesaian persoalan utang ke perbankan
dan atau lembaga keuangan harus dilakukan secepatnya oleh manajemen, apapun
langkah penyelesaiannya. Jika ditunda pasti akan membuat kondisi keuangan
maskapai semakin memburuk. Dalam kondisi
pandemi memang tidak mudah. Untuk maskapai pelat merah, dana APBN melalui
skema Penyertaan Modal Negara (PMN) masih di jadikan harapan. Sedangkan untuk
maskapai swasta sulit, namun pemberian PMN bisa disiasati melalui perbankan
(jika kredit diperoleh dari bank himbara) untuk menjaga supaya non performing
loan (NPL) perbankan himbara tercukupi. Pembahasan utang piutang dengan
lessor juga harus segera diselesaikan secara B to B. Ambruknya
industri penerbangan sangat berpotensi menyeret industri jasa keuangan atau
perbankan nasional ke dasar jurang, karena besarnya tunggakan kredit industri
penerbangan di bank. Triliunan utang maskapai di bank himbara juga harus
dibereskan. Meskipun
maskapai swasta tidak layak diberi PNM, tetapi untuk menghindari besarnya
kredit macet di bank himbara, akhirnya APBN juga harus digelontorkan melalui
PMN ke bank himbara. Jadi pameo swasta tidak bisa dapat subsidi,
ujung-ujungnya dapat disiasati menggunakan skema PMN ke perbankan himbara,
jika kredit berasal dari bank himbara. Ini yang mengkhawatirkan perekonomian
nasional. Jadi segera selesaikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar