Menjamin
Akses Obat dan Alat Kesehatan Pardomuan Gultom ; Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana Medan, Alumnus prodi Ilmu Politik FISIP
Universitas Sumatera Utara |
DETIKNEWS, 12
Agustus 2021
Menteri
Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan,dalam pernyataannya
pada 5 Juli yang lalu mengatakan bahwa selama 1,5 tahun terakhir ini terdapat
pihak-pihak yang menikmati permainan harga obat-obatan dan alat-alat
kesehatan (alkes) dalam situasi pandemi Covid-19 sehingga membuat kenaikan
harga dan kelangkaan obat. Meningkatnya kasus harian Covid-19 sejak
pertengahan Juni membuat konsumsi obat dan alkes, khususnya tabung oksigen,
juga meningkat untuk mendukung perawatan penderita Covid-19. Fakta adanya
kelangkaan obat-obatan ini juga ditemukan oleh Presiden Jokowi dalam
kunjungannya ke salah satu apotek di Bogor pada 23 Juli. Kelangkaan dan
tingginya harga obat menjadi problem kesehatan di Indonesia. Tata Kelola Konsep tata
kelola perobatan di Indonesia tertuang dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS)
yang mulai diinisasi sejak tahun 1983 melalui Keputusan Menteri Kesehatan No.
47/Menkes/SK/II/1983 tentang Kebijakan Obat Nasional yang telah mengalami
revisi pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 189/Menkes/SK/III/2006, merupakan
dokumen pernyataan komitmen semua pihak dalam menetapkan tujuan, sasaran,
strategi, dan peran berbagai pihak untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan. Namun, pada tahun
2004, obat dan perbekalan kesehatan menjadi bagian integral dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) walaupun kebijakan ini sudah dicetuskan di tahun
1982, dengan penekanan pada ketersediaan obat, keterjangkauan dan jaminan
keamanan, khasiat, dan mutu obat. Kebijakan Obat Nasional terakhir mengalami
revisi pada tahun 2006 (Depkes, 2006). Prinsip dasar
dari Sistem Kesehatan Nasional dalam mencapai Kebijakan Obat Nasional adalah
perlakuan terhadap obat sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam
pemberian pelayanan kesehatan. Dan pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan, keterjangkauan harga, dan pemerataan obat yang dibutuhkan
masyarakat. Untuk menjamin
harga dan ketersediaan obat, pemerintah telah merumuskan kebijakan daftar
obat dan harga yang disebut dengan Formularium Nasional (Fornas). Daftar obat
dan harga dalam kebijakan Fornas menjadi program jaminan nasional mendapat
keseriusan mulai tahun 2013 yang menetapkan sejumlah sediaan obat, baik obat
generik maupun bermerek. Kebijakan yang
terbaru terkait obat diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun
2021 tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat, dan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK. 01.07/Menkes/4826/2021 tentang Harga
Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Untuk kebijakan HET obat dibuat agar masyarakat dapat menjangkau
harga obat-obatan yang dibutuhkan di masa pandemi. Namun problem selanjutnya
adalah masalah ketersediaan di pasar. Praktik Kartel Melambungnya
harga obat-obatan dan alat kesehatan, khususnya tabung oksigen yang
dibutuhkan di masa pandemi ini disebut-disebut akibat ulah para mafia obat
yang memanfaatkan situasi pandemi. Persepsi ini kurang tepat jika digunakan
karena produk yang mengalami kenaikan harga punya izin edar atau legal
dikonsumsi. Terminologi mafia bertendensi kepada kegiatan yang ilegal dengan
produk yang ilegal pula. Dengan demikian, pelaku-pelaku yang menyebabkan
tingginya harga obat dan ketersediaannya lebih tepat disebut sebagai kartel. Setiap
kesepakatan atau kegiatan kolusi atau konspirasi yang dilakukan oleh para
pelaku usaha umum disebut dengan istilah kartel atau Collusive Oligopoly
(Suhasril dan Makarao, 2010). Mereka bermufakat untuk mengatur penetapan
harga, pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen.
Kartel ini berbentuk jejaring; para pelakunya sepakat berkonspirasi mengenai
hal-hal yang sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis. Mereka juga
dapat memonopoli yang dapat menentukan tingkat harga yang sangat tinggi atau
jumlah produksi yang dapat membuat persaingan usaha tidak sehat. Tindakan ini
dapat kerugian bagi konsumen karena harga akan mahal dan terbatasnya barang
atau jasa di pasar. Kecenderungan
kartel terjadi pada pasar oligopoli; kondisi pasar obat didominasi oleh
beberapa pelaku usaha yang memiliki skala produksi dan modal yang besar serta
dilakukan oleh jejaring asosiasi. Setidaknya 30 persen kartel melibatkan
asosiasi menurut pengalaman dari berbagai negara dengan harga bisa mencapai
400 persen (KPPU, 2011). Khusus untuk harga obat, tindakan kartelisasi di
Indonesia bisa membuat harga obat menjadi 42 hingga 52 kali lipat dari harga
internasional (Junaidi, 2010). Di Indonesia,
pelarangan praktik kartel dalam bisnis diatur pada Pasal 5 Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Namun, dalam penerapan ketentuan ini terhadap praktik kartel, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku kesulitan dalam hal pembuktian
adanya perjanjian dimana pelaku usaha saling bersepakat melakukan kartel
(Iwantono, 2010; Antoni, 2019). Indikasi harga
yang paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan kolutif
oleh para anggota kartel. Terbentuknya parallelism harga bisa saja ditentukan
oleh banyak faktor, misalnya akibat pasar yang bersaing secara kompetitif
sehingga hal ini dianggap indikator ekonomi yang dijadikan sebagai petunjuk
awal mendorong terjadinya kartel atau dianggap sebagai bukti tak langsung
(circumstansial dvidence). Padahal yang dibutuhkan adalah bukti langsung yang
dapat menjelaskan adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis atau tidak
tertulis yang menerangkan materi kesepakatan. Dalam sektor
kesehatan (kartel obat), dari sejak berdirinya hingga kini KPPU hanya
menangani satu perkara terkait adanya dugaan kartel obat yang melibatkan dua
perusahaan farmasi besar di Indonesia, yaitu perkara No. 17/KPPU-I/2010
terkait perdagangan obat kelas Amlodipine (obat untuk penyakit jantung)
dengan putusan tidak terbukti pada tingkat Mahkamah Agung (MA). Perjuangan
negara dalam melawan tindakan kartel obat merupakan bagian dari pemenuhan hak
warga atas jaminan kesehatan dan ekonomi. Selain itu, dibutuhkan regulasi
kebijakan obat nasional yang secara khusus mengatur tata kelola obat dalam
bentuk undang-undang sebagai dasar hukum pengaturan harga obat secara
langsung. Dengan demikian, harga dan ketersediaan obat tidak lagi mengikuti
mekanisme pasar dan menekan pratik kartel, apalagi dalam situasi pandemi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar