Rabu, 18 Agustus 2021

 

Mimpi tentang Indonesia

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Bulan Juni 2021, saya kembali bertemu dengan aktivis  muda Muhammadiyah, Sukidi. Pertemuan berlangsung di  Bentara Budaya Jakarta. Di ruang terbuka, kami minum kopi. Saya menawari makan bakmi Jawa, tetapi Sukidi aktivis asal Desa Tanon Sragen itu, sudah makan siang. Kami bicara ngalor-ngidul soal situasi negeri ini.

 

Setelah sempat ngobrol melalui kanal Youtube ”Back to Bdm” di harian Kompas, beberapa waktu lalu, Sukidi, doktor lulusan Harvard University, itu mengungkapkan keprihatinannya soal beberapa nilai-nilai kebajikan yang kian tergerus di arus deras tajamnya polarisasi dan pragmatisme politik.  ”Mimpi soal Indonesia masa depan sebenarnya terus dibangun,” ujar pengagum Soekarno dan Barack Obama.

 

The Indonesian dream! Gagasan Sukidi itu sebenarnya  menemukan momentumnya jelang peringatan 17 Agustus 1945, Selasa pekan depan. Membangun mimpi soal Indonesia, juga menemukan konteks ketika agenda Indonesia 2045 mulai ramai dipercakapkan. Tiga buku yang disusun Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Center Strategic for International Studies (CSIS) dan harian Kompas membuka diskursus soal Indonesia Menuju 2045. Buku itu  perlu diperkaya agar bangsa ini punya imajinasi soal seratus tahun republik, 17 Agustus 2045 yang tinggal 24 tahun lagi.

 

Mimpi atau imajinasi Indonesia 2045 layak dibangun di tengah cara pandang "myopik" politisi yang hanya memandang sirkulasi kekuasaan 2024. Itu mengingatkan apa yang dikatakan James Clarke, intelektual Amerika Serikat,  yang mengatakan politisi memikirkan kapan pemilihan saat negarawan memikirkan masa depan bangsanya. Politik baliho di tengah pandemik adalah salah satu contohnya.

 

Menjelang kemerdekaan,  Agustus 2021 Sukidi mengirim pesan lagi kepada saya. Dia merumuskan  mimpinya tentang Indonesia.  Impian itu mencakup impian kebhinekaan (dream of diversity), impian ketuhanan (dream of divinity), impian gotong royong (dream of togetherness, cooperation and mutual assistance),  impian kebebasan (dream of freedom),  impian kemanusiaan (dream of humanity), impian persatuan (dream of unity), impian keadilan (dream of justice), impian  kesetaraan (dream of equality), impian kesejahteraan (dream of welfare) dan impian demokrasi (dream of democracy).

 

Impian itu bersifat kualitatif. Berbeda dengan prediksi sejumlah lembaga yang menyebutkan pada 2045 Indonesia akan menjadi negara kelima terbesar di dunia, dengan nominal PDB 9.100 miliar dollar AS, PDB per kapita 30.000 dollar AS per tahun,  penduduk 300 juta jiwa,  dengan penduduk kelas menengah 82 persen dan usia produktif 52 persen dari populasi. Sangat kuantitatif.

 

Mimpi soal Indonesia yang tata tentrem kerto rahardjo, gemah ripah loh jinawi, sebuah daerah yang tertib, tenteram dan sejahtera, memang harus terus diaktualisasi, justru di era serba internet saat ini. Karena diyakini, era serba internat bisa menjadi faktor integrasi dan bisa mempercepat mewujudkan mimpi-mimpi itu.

 

Bangsa yang begitu majemuk ini rasanya perlu  menemukan kembali faktor pemersatu. Pada masa penjajahan, impian akan kemerdekaan boleh menjadi faktor pemersatu bangsa Indonesia untuk mengusir penjajahan. Bayangan Indonesia meraih kemerdekaan menjadi faktor pendorong bersatunya semua kekuatan bangsa untuk menggapai kemerdekaan. Kini, setelah kemerdekaan diraih 76 tahun lalu, imajinasi Indonesia perlu terus dikumandangkan.

 

Mimpi soal Indonesia yang dirumuskan Sukidi mengingatkan saya akan plesetan Sumpah Pemuda yang ramai diteriakkan dan jadi penyemangat aksi mahasiswa melawan Orde Baru. Afnan Malay, mahasiswa Universitas Gadjah Mada angkatan 1984, mengubah sumpah dengan roh baru. Ia  merumuskan sumpah mahasiswa Indonesia yang berbunyi, ”Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.”

 

Kini, Orde Baru telah berlalu 23 tahun lalu. Namun, rasanya, perilaku politik saat ini, belum sepenuhnya  berubah.

 

Karena itu mimpi soal Indonesia perlu terus diperkaya agar bangsa ini punya mimpi bersama, dan bergerak dengan satu tujuan arah. Sebuah mimpi tentang Indonesia yang digali dari bumi pertiwi karena sebuah bangsa terbentuk karena aspek historis.

 

Reformulasi mimpi Indonesia oleh Sukidi perlu didialogkan, diperkaya dengan realitas historis bangsa ini agar ada relevansi sejarah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Seperti dikutip dalam buku Lemhannas Indonesia Menuju 2045 halaman 17, sejarah dapat menginspirasi tumbuhnya nasionalisme, kebanggaaan nasional, patriotisme dan kecintaan pada Tanah Air. Ada bahaya mengintai bila suatu bangsa tercerabut dari akar sejarahnya.

 

Pertanyaan dialektis yang pantas diajukan, apakah mimpi soal keadilan dan kemanusiaan bisa dibangun jika sejarah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tak pernah bisa diselesaikan. Kebenaran tak pernah bisa diungkap dan keadilan tak pernah diberikan.

 

Apakah mimpi soal negara kesejahteraan bisa segera mewujud, ketika praktik korupsi terus saja merajalela dan menjadi penyakit endemi bangsa ini sementara  tata kelola pemerintahan kadang diabaikan untuk mengejar tujuan. Mimpi-mimpi soal persatuan, kemajemukan, kesetaraan, kebebasan, ketuhanan adalah iktiar untuk membangun manusia Indonesia. Membangun jiwa dan raga menjadi penting untuk mewujudkan mimpi Indonesia Menuju 2045.

 

Seperti syair lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Supratman yang dinyanyikan tiap perayaan 17 Agustus....

 

”... bangunlah jiwanya,

 

bangunlah badannya

 

untuk Indonesia Raya..." ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar