Rabu, 18 Agustus 2021

 

Merawat Moral Sosial

Boni Hargens ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI); Mengajar di beberapa universitas di tanah air

KOMPAS, 14 Agustus 2021

 

 

                                                           

Apakah postulat moral sesuatu yang melekat inheren dalam otak manusia? Ke mana orientasi tindakan moral individu dalam ruang sosial berbangsa dan bernegara? Haruskah praksis politik memus- nahkan praksis moral?

 

Di tengah kerja keras pemerintah dan masyarakat melawan wabah Covid-19 yang terus bermutasi, muncul politisi mengusulkan pendirian “rumah sakit khusus para pejabat”. Ada lagi mafia menimbun obat.

 

Muncul pula oknum dokter yang menuding virus korona sebuah ilusi. Segelintir yang lain berteriak dari mimbar agama menuding pendataan vaksinasi berbasis barcode program satanik, dalam konteks “666” atau kode kiamat. Gayung bersambut, dari mimbar sebelah muncul hoaks yang menguak tuduhan minyak babi dalam vaksin tertentu.

 

Dilema moral

 

Moralitas, sebagai kode nilai yang menuntun pilihan dan tindakan manusia, mengundang perdebatan ilmiah, baik dalam filsafat maupun dalam psikologi. Ada konsensus soal proses moral dalam dua disiplin tersebut bahwa diferensiasi proses moral dalam diri manusia terbelah dua: (a) proses rasional dan (b) proses emosional. Namun, bagaimana interaksi keduanya, keduanya belum menemukan titik temu.

 

Proses moral dalam otak manusia adalah proses kompleks yang melibatkan sirkuit saraf yang pelik. Apa yang disebut moral brain, otak moral, oleh ahli neuroanatomi merupakan bukti empirik bahwa pertimbangan moral melekat inheren dalam keseluruhan struktur otak manusia, baik dalam lobus frontal, lobus parietal, lobus temporal, maupun dalam lobus limbik (Pascual, Rodrigues, & Gallardo-Pujol, 2013).

 

Rosaline Rumaseuw dari Partai Amanat Nasional (PAN) adalah representasi dari segmen pejabat publik yang menganut utilitarianisme dalam kekuasaan. Bahwa, meski jumlahnya segelintir, para pejabat bekerja (kalau betul bekerja!) untuk keseluruhan rakyat. Lantas, derajat kebergunaan dari keberadaan mereka mendasari kenapa pejabat perlu dapat perlakuan istimewa. Apakah dalil moral macam ini betul-betul bermoral?

 

Dalam studi kontemporer soal dilema moral, dikenal yang namanya “masalah troli” (the trolley problem) dan “dilema jembatan” (the footbridge dilemma) (Navarrete et al, 2012; Nakamura, 2012; Thomson, 1985). Ada troli sedang bergerak. Di depannya ada rel bercabang. Kalau troli berjalan lurus, lima orang yang terbaring di atas rel pasti mati.

 

Kalau troli menghindar ke trek lain, ada satu orang yang terbaring di sana akan terlindas. Pada saat yang sama, di atas jembatan, ada satu orang gendut yang kalau didorong jatuh, ia bisa menghentikan troli (sehingga lima dan satu yang lain selamat), tetapi ia pasti mati. Setiap pilihan dalam situasi ini mengandung perdebatan moral serius.

 

Para pejabat hakikatnya pelayan—setidaknya menurut konsepsi servant leardership (Northhouse, 2013). Mereka dipilih bukan untuk diistimewakan, melainkan mengorbankan diri demi keselamatan orang banyak. Kalau semua pejabat serentak mati, apakah dengan sendirinya seluruh rakyat ikut mati?

 

Demokrasi berbasis aturan main. Siapapun dan kapanpun bisa mengisi ruang kekuasaan untuk memastikan mesin bernama “negara” itu tetap berfungsi.

 

Moral individu vs moral sosial

 

Realitas individu selalu berdampak pada realitas sosial. Lois Owen, dokter yang menyatakan Covid-19 ilusi, telah ditangkap aparat kepolisian dan dikenai pasal UU Wabah Penyakit Menular. Posisi berdiri personal Owen sesuatu yang sah, selama itu bertahan sebagai sikap individu. Saat ia melepaskan posisi pribadi itu ke ruang sosial, serentak pertimbangan itu berinteraksi dengan beragam pertimbangan individu lain.

 

Maka, posisi moral individu dengan sendirinya memengaruhi ruang moral sosial. Di titik itulah, ia harus dimintai pertanggungjawaban, baik moral maupun hukum — termasuk siapapun yang mengganggu stabilitas persepsi publik dan kerja keras pemerintah dalam mengatasi pandemi.

 

Super-ego, sebagai salah satu agensi kepribadian manusia, tugasnya untuk menata hati nurani supaya seluruh tindakan manusia tak didasarkan pada pertimbangan nafsu (id) dan kalkulasi rasional (ego) semata. Orang bisa saja menyangkal keadaan sebagai bentuk pertahanan diri, sebagaimana dijelaskan Anna Freud (1968), putri bungsu psikoanalis Sigmund Freud (1856-1939). Di tengah pandemi ini, pilihan pribadi harus selalu melibatkan pertimbangan moral sosial supaya sikap pribadi tak merusak sikap sosial masyarakat.

 

Suatu hari, seorang dokter muda dibentak oleh istri seorang bupati. Ia bahkan diancam dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hanya karena dokter menghentikan mobil istri pejabat yang memasuki area tugasnya. Dokter malang itu hanya menjalankan tugasnya terkait protokol kesehatan (ukur suhu tubuh). Ia menelepon saya, mengaku ketakutan saat dibentak istri sang bupati. Ini kisah nyata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

Moralitas dasar tak membenarkan tindakan keluarga pejabat itu. Sebaliknya, ia diwajibkan oleh posisi sosial suaminya untuk menunjukkan teladan sosial. Memperlihatkan respek kepada tenaga kesehatan dan aparat keamanan dalam situasi pandemi ini adalah bentuk dukungan etis yang berharga. Kita lihat, ada pula video beredar di media sosial. Seorang wakil rakyat (DPR) membentak personel Kepolisian gegara diminta menunjukkan kartu vaksin. Drama macam ini mensinyalir ketidakmatangan moral dalam berdemokrasi.

 

Praksis politik vs praksis moral

 

Tak hanya moral pribadi, moral politik pun fundamental. Aksi protes belakangan di sejumlah tempat yang menolak PPKM Darurat menabrak kewarasan sosial. Orang bingung dan bertanya-tanya ada udang apa di balik batu. Spekulasi ringan mengarah pada hipotesis adanya rekayasa politik untuk menggerus stabilitas negara.

 

Di Malaysia, hal itu sudah terjadi cukup lama. Perdana Menteri Muhyiddin didesak mundur oleh partai terkuat UMNO karena dinilai gagal menangani pandemi. Gejala politik kawasan merasuki sebagian kelompok di Tanah Air yang konsisten berteriak menuding pemerintah Indonesia gagal.

 

Pandemi bukan rekayasa rezim. Ini tragedi kemanusiaan global. Kompleksitas sosial yang muncul karena wabah ini seharusnya mendorong kristalisasi empati dan solidaritas yang menjadi esensi dari kemanusiaan kita sebagai zoon politicon, makhluk sosial—istilah Aristoteles untuk melunakkan makna aslinya “hewan bermasyarakat”!

 

Tentu kaidah demokrasi tak melarang orang bersuara di situasi apapun. Namun, praksis politik tak boleh memusnahkan praksis moral. Menabur provokasi dan melancarkan agitasi di ruang publik untuk melawan kerja keras pemerintah melawan pandemi adalah aktivitas pragmatis yang mencungkil esensi moral dari denotasi politik an sich.

 

Makna esensial dari postulat “makhluk sosial” adalah manusia bertindak dalam kerangka dan dengan mempertimbangkan kemaslahatan orang lain dalam masyarakat. Implikasinya, pandemi mengundang kita untuk kembali pada hakikat kemanusiaan dan berjibaku saling menolong, bukan malah menabur nila dalam sebelanga susu.

 

Refleksi

 

Untuk itu, sejumlah refleksi perlu dipertimbangkan. Pertama, di tengah pandemi, tiap kita dituntut merevitalisasi roh kepedulian dalam diri, merangsang bagian otak yang menggerakkan sense of morality supaya terbangun solidaritas sosial. Sebagaimana suara orang kaya seharga dengan suara orang miskin di bilik pemilu, demikian pula bobot kepedulian kita di tengah pandemi. Kepedulian sosial adalah jalan tunggal untuk menemukan kembali hakikat kemanusiaan kita.

 

Kedua, perlu ada kesadaran kelas elite untuk, dengan motivasi etis yang kuat, merobohkan sekat antarkelas. Polemik rumah sakit khusus pejabat atau vaksin berbayar mesti dihentikan segera.

 

Ketiga, paradigma konvensional tentang relasi negara-masyarakat yang identik dengan power relationship, relasi kekuasan, perlu diganti dengan paradigma social-power relationship dengan optimalisasi peran sosial negara di tengah masyarakat. Sederhananya, negara perlu memainkan peran aktivisme sosial yang selama ini dikenal sebagai aktivitas lembaga swadaya masyarakat.

 

Aksi Presiden Jokowi membagi sembako atau vaksinasi door to door yang dilakukan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan perlu ditiru agensi negara yang lain. Mengelola negara hari ini harus keluar dari pakem lama supaya keselamatan rakyat terjamin.

 

Poinnya, kita dituntut berpikir melampaui pandemi supaya semua bisa menjadi agensi pengharapan yang menabur anima optimisme bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang harus tetap dan terus bergerak maju. Pandemi hanyalah tantangan temporal. Indonesia harus berdiri kokoh selamanya. Untuk itu, semua kita dituntut berjiwa besar untuk tetap berpikir dan bertindak melampaui keresahan situasional di tengah pandemi saat ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar