Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Merentang Jalan Digitalisasi Sekolah

Wahyu Widodo ;  Kandidat Doktor Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang; Dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Tribhuwana Tunggadewi

KOMPAS ,12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Kemendikbudristek sedang memacu digitalisasi sekolah melalui pengadaan perangkat elektronik dan pengembangan platform pembelajaran. Tak kurang dari Rp 17,4 triliun akan digelontorkan hingga tahun 2024 untuk mewujudkan program itu.

 

Perlu diingat bahwa digitalisasi sekolah merupakan usaha yang kompleks dan dinamis. Kompleks apabila ditinjau dari berlapisnya faktor yang berkorelasi dengan suksesnya digitalisasi sekolah. Sedangkan, dinamis apabila dilihat dari transformasi di ruang digital yang begitu cepat.

 

Demikian juga, sesungguhnya digitalisasi sekolah tidak cukup hanya dengan penyediaan “tools”. Namun, lebih dari itu, perlu  pemahaman mengenai kondisi masing-masing sekolah sehingga setiap perangkat yang disediakan mampu didayagunakan secara tepat dan bernilai tambah pada peningkatan kualitas pembelajaran dan layanan sekolah.

 

Mengingat besarnya anggaran dan kompleksnya digitalisasi, maka seyogyanya ada arah prioritas di masing-masing daerah. Hal itu perlu dirumuskan secara seksama agar apa yang telah diinvestasikan oleh pemerintah dapat terkonversi dengan tingginya kecakapan dan kuatnya ekosistem digital di kalangan komunitas belajar. Untuk menentukannya, perlu kiranya menengok kembali gambaran lanskap digital di sekolah selama ini.

 

Kesenjangan digital

 

Terhitung sejak Maret 2020, sektor pendidikan melewati berbagai jalan terjal akibat pandemi. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi pendidikan itu, memaksa adanya perubahan model pembelajaran dari tatap muka ke pembelajaran daring yang lebih bertumpu pada teknologi digital.

 

Akibatnya, sebagian sekolah mengalami “guncangan” bahkan beberapa siswanya “terpental” dari akses pembelajaran. Gambaran seperti itu lebih dikenali sebagai fenomena kesenjangan digital, yakni ketidaksetaraan akan kapabilitas yang dimiliki oleh siswa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi digital yang tersedia.

 

Rupanya ada tiga faktor utama yang menjadi penyebabnya, yakni faktor geografis, ekonomi, dan sosial. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Wakatobi, sebuah daerah pariwisata bawah laut yang terletak di kepulauan kecil di Sulawesi Tenggara, mengungkapkan bahwa pemanfaaatan perangkat digital mandeg akibat minimnya infrastruktur teknologi informasi di daerah itu (Hidayat, 2014). Setali tiga uang, hingga kini keadaan serupa juga masih jamak ditemui di wilayah lain terutama di daerah Indonesia timur.

 

Tidak hanya di daerah yang secara geografis terpencil, di perkotaan pun kesenjangan digital masih terjadi. Namun, bukan dikarenakan minimnya infrastruktur, melainkan karena tidak terjangkaunya biaya untuk mengakses perangkat maupun konektivitasnya. Demikian juga, siswa belum sepenuhnya terdukung secara sosial baik oleh lingkungan keluarga maupun komunitas belajar.

 

Arah digitalisasi

 

Meminjam istilah yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, kiranya tidaklah berlebihan apabila program digitalisasi sekolah di Indonesia disiapkan untuk mewujudkan sekolah 5.0, yakni komunitas belajar yang mampu memfaatkan teknologi digital guna mewujudkan pembelajaran yang menyejahterakan siswa (student well-being) maupun komunitasnya (school well-being).

 

Untuk menuju sekolah 5.0 perlu adanya pemetaan berdasarkan tingkat kesiapan sekolah mengintegrasikan teknologi digital secara keorganisasian. Sebelumnya, hal itu perlu dilihat dari sudut pandang yang jernih, bahwa pemetaaan tidak dimaksudkan untuk menyegregasi sekolah, namun lebih ke arah memberikan perlakuan digital secara tepat.

 

Tahapan yang akan dilalui sekolah dapatlah disusun menjadi tiga  fase, yakni fase digitasi, digitalisasi, dan transformasi. Pertama, digitasi, yakni perlakuan digital pada sekolah yang difokuskan kepada pengubahan perangkat analog menjadi sumber daya digital. Sekolah pada fase ini ditandai dengan kemampuan sekolah dalam memfungsikan perangkat digital yang masih terbatas pada upaya mempermudah akses materi pembelajaran. Misalnya, sekolah yang sebelumnya mengkoleksi buku cetak maka diubah ke dalam format digital sehingga mudah disebarluaskan kepada siswa.

 

Kedua, digitalisasi. Pada fase ini sekolah telah memiliki kapabilitas untuk memanfaatkan perangkat digital guna mendiversifikasi layanan pembelajaran. Indikasi sekolah telah terdigitalisasi dapat ditilik dari tersedianya Learning Management System (LMS) berbasis sekolah. Misalnya, sekolah telah mampu mengorganisasikan dan menyebarluaskan konten pembelajaran secara padu dan berkelanjutan melalui perangkat digital.

 

Ketiga, transformasi. Pada fase ini, sekolah secara keorganisasian telah siap untuk memfungsikan perangkat digital untuk meningkatkan iklim pedagogi serta pengambilan kebijakan berdasakan manajemen berbasis data. Misalnya, sekolah telah mampu merancang perangkat digital berbasis big data sehingga setiap siswa memiliki akses untuk mengukur kemampuan dirinya dan pada akhirnya berkesempatan mengembangkan regulasi diri secara berkelanjutan.

 

Penguatan aktor kunci

 

Selain pemetaan, dukungan pada sumber daya manusia selayaknya diacuhkan, teristimewa pada guru. Kompetensi guru perlu dikembangkan secara gradual dengan basis sumber daya digital dan tetap berorientasi pada terwujudnya resiliensi perilaku belajar siswa.

 

Untuk mencapai itu, tidak cukup dengan pelatihan yang bersifat “hit and run”, namun perlu dirawat melalui komunitas guru secara inklusif dan berkesinambungan. Selain itu, guru juga didorong untuk berani mengorkestrasikan pembelajaran melalui model pembelajaran abad ke-21, misalnya pembelajaran melalui flipped classroom.

 

Dapat diprediksikan bahwa ketika konten pembelajaran yang menarik dengan mudah diproduksi dan disebarkan oleh guru untuk diterima oleh siswa, maka mengisi pembelajaran dengan menyampaikan materi pembelajaran di kelas melalui ceramah akan terlihat sia-sia. Karena itu, sintaks pembelajaran perlu dibalik sehingga siswa dapat mempelajari konten di mana pun sebelum pembelajaran di mulai, sedangkan saat di kelas siswa mendiskusikannya dengan fasilitasi guru. Hal demikian bukanlah sesuatu yang baru, namun nyatanya sampai saat ini belum terlihat nyata di kelas-kelas.

 

Berkaca dari uraian di atas, pemerintah sudah semestinya menyusun indikator kesiapan sekolah dalam mewujudkan digitalisasi. Dengan begitu, pemerintah memiliki basis data yang kuat guna menyusun peta jalan digitalisasi secara presisi.

 

Pelajaran dari apa yang terjadi di Jerman sebagaimana diwartakan oleh Jeans Thurau di kanal berita dw.com mengingatkan bahwa pembelian laptop saja tidak cukup untuk mewujudkan digitalisasi sekolah. Negara di peringkat atas dalam survei PISA itu pun juga mengalami “kelambanan” digitalisasi sekolah selama pandemi yang disebabkan oleh ketidakberdayaan guru dalam mendayagunakan perangkat digital.

 

Karena itu, meskipun proses digitalisasi sekolah akan terjal, tatkala jalan sudah direntang, maka selayaknya dilalui dengan penuh optimisme kemajuan bahwa digitalisasi sekolah akan menjadi tumpuan untuk mendobrak cul-de-sac pendidikan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar