Memikirkan
Kembali Otoritas Keagamaan Moh. Rasyid ; Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta |
JAWA POS, 6 Agustus 2021
SULIT untuk tidak mengakui peran otoritas
keagamaan di Indonesia. Tetapi karena penduduknya mayoritas beragama Islam,
otoritas keagamaan Indonesia dipegang oleh organisasi-organisasi Islam.
Organisasi Islam di Indonesia secara statistik diwakili oleh NU dan
Muhammadiyah. Pendek kata, keduanya adalah organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan yang memegang otoritas di bidang keagamaan. Namun, perjalanan NU dan Muhammadiyah tidak
selamanya berlangsung harmonis, minimal dari sisi metodologi sekaligus
interpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Keduanya sempat berselisih tentang
hukum rokok dan monogami bagi para pengikutnya, sebagaimana keduanya kadang
berselisih tentang penetapan 1 Syawal dalam penanggalan Hijriah. Kendati demikian, NU dan Muhammadiyah
belakangan mulai meninggalkan perdebatan dogmatik tentang hal-hal yang
sebenarnya hanya cabang (furu’iyah) dari ajaran Islam. Dalam dua puluh tahun
terakhir, menurut Azyumardi Azra (2020), keduanya saling mendekat karena
terjadi proses kovergensi keagamaan. Sehingga tidak ada lagi perdebatan
tentang tahlil, doa kunut, hukum rokok, dan sebagainya. Ini kabar gembira
yang perlu terus dirawat dengan baik. Fragmentasi Ahmad Najib Burhani (2016) memperlihatkan
adanya fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia ketika menyoroti Aksi Bela
Islam I, II, dan III yang berpusat di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Aksi
itu melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia. Kondisi itu
membuat NU-Muhammadiyah tidak lagi sebagai pemegang otoritas dalam bidang
keagamaan secara penuh, sebagaimana sebelumnya. Pasca-aksi, ada semacam
kekuatan Islam lain yang secara terbuka dipimpin oleh Rizieq Syihab. Hari ini kecenderungan itu masih terlihat
jelas meski tidak seintensif beberapa tahun sebelumnya. Terbukti, ketika
NU-Muhammadiyah mengeluarkan fatwa keagamaan terkait pelaksanaan ibadah di
tengah pandemi Covid-19. Alih-alih fatwa atau anjuran keagamaan itu diterima
secara kolektif oleh para pengikutnya. Aksi penolakan di berbagai daerah tak
henti-hentinya terjadi dengan alasan yang sangat teosentris. Covid-19 seolah
membuka ruang bagi semakin meningkatnya fragmentasi otoritas keagamaan di
Indonesia. Melewati Tantangan Pergeseran karakter sebagian pengikutnya yang
mengakibatkan fatwa atau anjuran keagamaan NU-Muhammadiyah tidak cukup
mendapatkan tempat di hati umat harus dijadikan momentum baik. Momentum untuk
mengevaluasi apa dan bagaimana selama ini mereka memegang otoritas keagamaan.
Dan harus diakui, dinamika itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemegang
otoritas untuk merekatkan kembali ’’kepercayaan” jutaan pengikutnya yang kian
memudar. Tetapi, ada tantangan lain yang lebih besar
yang hari ini dihadapi otoritas keagamaan kita, yaitu keluar dari jebakan
konflik kepentingan kekuasaan. Keterlibatan NU-Muhammadiyah dalam lingkaran
kekuasaan bukanlah rahasia lagi. Ma’ruf Amin rela melepas jabatan rais am PBNU
setelah dipinang Joko Widodo untuk mewakilinya pada Pilpres 2019. Hal yang
sama dialami Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU, yang ditunjuk Erick Thohir
untuk menjadi komisaris utama PT Kereta Api Indonesia. Menyusul Said Aqil
Siradj, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto resmi diangkat
Erick Thohir sebagai komisaris utama sekaligus komisaris independen PT Istaka
Karya (Persero). Keterlibatan Ma’ruf Amin, Said Aqil Siradj,
dan Sunanto dalam jabatan politik dan perusahaan BUMN secara konstitusional
memang absah. Tetapi yang perlu digarisbawahi, mereka adalah tokoh penting
dan berpengaruh yang membawa nama besar organisasi yang dipimpinnya meski
tidak ada pernyataan resmi bahwa mereka sebagai delegasi organisasinya. Pada
titik ini, posisi mereka sangat sensitif dan mudah dibaca secara politis. Di sinilah ketergantungan itu dimulai. Darinya
kemudian muncul semacam ’’keengganan” politis yang turut mengontrol sikap
kritis NU-Muhammadiyah terhadap kekuasaan. Ada semacam ’’hubungan baik” yang
harus dirawat oleh otoritas keagamaan dengan pemerintah. Akibatnya,
NU-Muhammadiyah hari ini cenderung hanya mengurusi problem-problem keumatan
yang bersifat amaliah dan larut dalam perdebatan konservatisme-radikalisme
agama. Kita tidak bisa mengabaikan kontribusi
NU-Muhammadiyah dalam hal menangkal paham keagamaan konservatif-radikalis.
Itu upaya mulia karena mempertahankan integritas bangsa agar tidak seperti
negara-negara di Timur Tengah yang porak-poranda karena sentimen agama.
Tetapi, problem kebangsaan kita hari ini tidak berhenti sampai di situ. Ada
problem mendasar lain yang tidak kalah membahayakannya; ketimpangan
sosial-ekonomi yang melanda sebagian besar pengikutnya. Mempertahankan idealisme dan sikap kritis dari
dalam kekuasaan memang bukan pekerjaan yang mudah. Tetapi jika dibiarkan
tumbuh, yang akan dipertaruhkan adalah integritas sebuah organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan yang dimotori oleh para kiai dan ulama. Ulama
dalam literatur keislaman klasik diyakini sebagai pewaris para Nabi. Berbagai
catatan sejarah membuktikan heroisme-patriotisme Nabi Muhammad SAW dalam
membersamai kaum papa yang tertindas. Sebagai pemimpin negara maupun agama, Nabi SAW
tidak hanya mengajarkan dan mempraktikkan syariat Islam yang berdimensi
vertikal, tetapi juga horizontal. Ia selalu tampil di garda terdepan melawan
dominasi zalim dan segala bentuk penindasan. Hari ini kita membutuhkan
’’nabi-nabi baru” dengan semangat ketuhanan sekaligus kemanusiaan yang
relevan dengan konteks zaman. NU-Muhammadiyah adalah organisasi besar yang
potensial memainkan peran itu. Ke depan kita ingin melihat NU-Muhammadiyah
bisa tampil dengan wajahnya yang lebih fresh, progresif, dan memihak pada
kepentingan kaum lemah. Kita ingin melihat keberpihakan keduanya terhadap
nasib rakyat yang digusur tempat tinggalnya atas nama pembangunan. Yang
diambil paksa tanah tempat mereka bercocok tanam. Yang direpresi oleh negara
hanya karena mempertahankan kekayaan sumber daya alam dan budayanya dari
cengkeraman korporat. NU-Muhammadiyah memiliki jejak perjuangan yang
luhur dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Setelah hampir 76 tahun Indonesia
merdeka dari kolonialisme-imperialisme. Akankah jejak perjuangan itu akan
terus terawat-dalam bentuknya yang lain atau justru tertimbun oleh
kepentingan kekuasaan? Ini harus kita pikirkan kembali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar