Sejarah
PPKI dan Rentetan Kekalahan Jepang di Front Pasifik Mustaqim Aji Negoro ; Jurnalis TIRTO |
TIRTO.ID, 7 Agustus 2021
Awal tahun 1944, Jepang mulai mengalami
serangkaian kekalahan dalam Perang Pasifik. Pada bulan Februari, Pasukan
Sekutu berhasil mengusir mereka dari Kwajalein di Kepulauan Marshall. Empat
bulan berikutnya, angkatan laut Jepang kalah dalam pertempuran di Laut
Filipina. Satu bulan berselang, mereka kehilangan pangkalan angkatan laut di
Saipan, Kepulauan Mariana. Rentetan kekalahan ini membuat Perdana Menteri
Tojo (1941-1944) mundur dari jabatannya. Ia digantikan oleh Jenderal Koiso
Kuniaki (1944-1945). Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern
1200-2008 (2008), kelak jenderal ini memiliki kecenderungan lebih besar
menjanjikan kemerdekaan semu bagi Indonesia. Tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri
Koiso secara resmi menjadikan janjinya tersebut sebagai kampanye resmi
Pemerintah Jepang hingga April 1945. Tujuan sebenarnya di balik janji
kemerdekaan ini adalah untuk menarik minat orang-orang Indonesia agar mau
melibatkan diri dalam Perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk. Indonesia tak hanya memiliki sumber daya alam
yang melimpah, tapi juga ratusan ribu bahkan jutaan manusia dewasa yang siap
dimobilisasi dalam perang. Maka itu, dalam pendudukannya yang singkat, Jepang
mendirikan dua organisasi militer (Heiho dan PETA), serta empat organisasi semi
militer (Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, dan Hizbullah). “Politik Jepang di Indonesia dari 1942 sampai
1945, di satu pihak, selalu di antara persoalan kolonial yang berkisar pada
eksploitasi ekonomi dan pemeliharaan tata tentrem, dan di lain pihak ada
kepentingan peperangan. Kepentingan ini mengharuskan Jepang melibatkan
penduduk dalam isu persiapan melawan Sekutu. Pada gilirannya, mereka
mempersoalkan kemerdekaan Indonesia,” tulis Ong Hok Ham dalam Wahyu yang
Hilang Negeri yang Guncang (2018). Untuk meyakinkan dan menarik minat para
pemimpin Republik, pada 1 Maret 1945 pemerintah Jepang mengumumkan akan
membentuk sebuah badan persiapan kemerdekaan bagi Indonesia yang bernama
Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Badan ini diresmikan pada 29 April 1945. Tugas utamanya adalah menyelidiki,
mempelajari, sekaligus membuat rancangan undang-undang dasar, bentuk negara,
wilayah negara, dan asas kewarganegaraan yang akan digunakan negara Indonesia
jika merdeka kelak. BPUPKI juga menyiapkan susunan dasar pemerintahan dan
asas dasar yang akan digunakan dalam negara tersebut. Terbentuknya PPKI Tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama
dijatuhkan oleh Sekutu di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang.
Peperangan di front Pasifik kian mendekati tahap akhir yang menyeret Jepang
menuju kekalahan. Sehari setelah bom atom pertama dijatuhkan,
yakni pada 7 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu, Dokuritzu Junbi
Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) resmi dibentuk. Panitia ini dibentuk atas persetujuan Komando
Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi, yang
berkedudukan di Saigon, Vietnam. Sukarno ditunjuk sebagai ketua, dan wakilnya
Mohammad Hatta. Tugas utama panitia ini adalah meresmikan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang telah dibuat dan disepakati dalam
sidang BPUPKI sebelumnya. Sementara tujuan pembentukannya adalah mempercepat
persiapan terakhir bagi terbentuknya pemerintahan di negara Indonesia
merdeka. Menurut Haryono Rinaldi dalam artikel berjudul
“Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia”, meskipun
para anggota PPKI diizinkan melakukan kegiatan menurut pendapat dan
kesanggupan mereka untuk kepentingan Republik Indonesia yang akan berdiri,
tapi mereka tetap diwajibkan memprioritaskan perjuangan Jepang dalam Perang
Asia Timur Raya: ”Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan
ialah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia; karena itu bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga
sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan
perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya.
Kedua, Negara Indonesia itu merupakan anggota lingkungan kesemakmuran bersama
di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan
dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu.” (hlm. 144). Ini artinya janji Jepang untuk memerdekakan
Indonesia sebagai negara yang berdaulat hanya omong kosong. Jepang ingin
Indonesia tetap berada di bawah kendalinya sebagai negara persemakmuran. Proklamasi Kemerdekaan
dan Sidang PPKI Berbeda dengan BPUPKI yang memiliki wakil dari
Jepang, seluruh anggota PPKI adalah orang Indonesia. Jumlahnya 21 orang yang
mewaliki hampir seluruh daerah di Indonesia. Kelak, anggota yang sudah
ditetapkan 21 orang ini oleh Sukarno--tanpa sepengetahuan Jepang--ditambah 6
orang lagi menjadi 27 orang (Mahfud MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan
Indonesia (1993), hlm 49). Menurut The Liang Gee dalam Pertumbuhan
Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia (1993), rencana awalnya PPKI
akan dilantik pada 18 Agustus 1945, sedangkan kemerdekaan Indonesia akan
disahkan oleh pemerintah Jepang pada 24 Agustus 1945 (Hlm. 27). Namun, rencana itu berubah. Medan Perang
Pasifik sekali lagi memiliki andil besar terhadap kondisi sosial politik di
Indonesia. Pemboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu serta penyerbuan
pasukan Uni Soviet ke Manchuria semakin mendesak Jepang menuju jurang
kekalahan. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu. Tiga hari berselang, setelah berita
menyerahnya Jepang kepada Sekutu menyebar secara luas, akhirnya Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. Esoknya, 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan
sidang pertama dan menetapkan Undang-undang Dasar (UUD) hasil rancangan
Panitia Kecil yang diketuai Soepomo. Undang-undang dasar ini yang menjadi
cikal bakal UUD 1945. Kendati demikian, UUD 1945 tidak sama persis dengan
rancangan UUD yang dibuat oleh Panitia Kecil-nya Soepomo. Berikut beberapa contoh perbedaan antara UUD
dan UUD 1945 setelah dilakukan perombakan. (1) Kata "Mukkaddimah"
diganti dengan "Pembukaan". (2) Sila Pertama yang semula dalam
Piagam Jakarta berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diganti dengan kalimat: “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. (3) Pasal 6 yang semula dalam batang tubuh UUD berbunyi: “Presiden
ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diganti dengan “Presiden
ialah orang Indonesia asli”. (4) Pasal 28 yang semula dalam batang tubuh UUD
berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diganti dengan “Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. (5) Pasal 28 pada poin 4 menjadi Pasal 29. (6)
Wakil presiden yang semula dua diubah menjadi satu. (Haryono Rinardi,
Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017). PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar bagi bangsa Indonesia yang baru berdiri. Lalu mengangkat
Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
pertama. Terakhir, atas usulan Sukarno, PPKI membentuk
Komite Nasional yang diharapkan dapat dikumpulkan secara cepat pada masa-masa
genting setelah proklamasi. Hal ini dilakukan karena banyak dari anggota PPKI
yang akan segera kembali daerah asalnya masing-masing. Tugas Komite Nasional
adalah sebagai badan pembantu presiden dan wakil presiden selama Indonesia
masih dalam kondisi darurat setelah proklamasi kemerdekaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar