Garuda
Memang Mustahil Pailit Ahmad Irawan ; Advokat/Kurator di Firma Hukum Ahmad Irawan
& Associates |
DETIKNEWS, 12
Agustus 2021
Garuda selamat
dari gugatan pailit menjadi judul berita detikcom, Senin (2/8. Berita
tersebut terkait dengan penghentian gugatan oleh Aercap terhadap Garuda
Indonesia di Supreme Court di New Sout Wales. Penghentian gugatan tersebut
ditandai dengan penandatangan kesepakatan antara keduanya. Kesepakatannya
antara lain berupa relokasi beberapa pesawat pada lokasi yang telah
disetujui. Namun, Garuda
tidak boleh lupa bahwa gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
atau pailit tidak hanya diajukan oleh Aercap di New South Wales. Gugatan juga
diajukan oleh My Indo Airlines di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tidak jauh
dari kantor pusat Garuda yang ada di Kebon Sirih. Pertanyaan menarik yang
tersisa adalah bagaimana dengan gugatan My Indo Airlines di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, dan apakah penghentian gugatan oleh Aercap terhadap Garuda
merupakan keputusan rasional dan strategis yang dapat diterima secara hukum? Garuda sebagai BUMN Untuk
mempailitkan perusahaan di Indonesia harus memenuhi syarat. Syarat tersebut
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam ketentuan yang bersifat kumulatif
tersebut, dalam kedudukan Garuda sebagai debitor, Garuda harus mempunyai dua
kreditor atau lebih, tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan,
dimohonkan sendiri atau dimohonkan oleh satu atau lebih kreditornya. Anjloknya
pendapatan membuat Garuda kesulitan membayar utang. Menurut laporan keuangan
Garuda, hingga akhir 2020 pendapatan Garuda US$ 1,49 miliar, anjlok 67,40%
year-on-year. Hal tersebut membuat rugi bersih Garuda yang pada 2019 sebesar
US$ 38,94 juta membengkak menjadi US$ 2,44 miliar pada 2020. Dalam rangka
menyelesaikan utang Garuda, Kementerian BUMN memilih opsi untuk melakukan
restrukturisasi. Sejak awal opsi Penanaman Modal Negara (PMN) tidak dipilih
dan masuk dalam strategi penyelesaian utang Garuda, meskipun Garuda memiliki
kesempatan mendapatkannya. Garuda sebagai
salah satu BUMN di Indonesia tentu memiliki "keistimewaan" yang
diberikan oleh negara. Salah satunya terkait prosedur dalam pengajuan PKPU
dan/atau pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) UU No. 37/2004
yang mengatur bahwa BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik permohonan
pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pada bagian penjelasan
pasal tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan
tidak terbagi atas saham. Mengenai
kepentingan publik, UU BUMN sendiri tidak mendefinisikan dan menentukan
secara tegas dan jelas BUMN mana saja yang bergerak di bidang kepentingan
publik. Dalam UU BUMN sendiri yang digunakan adalah terminologi kemanfaatan
umum, kepentingan umum dan kepentingan orang banyak. Untuk kepentingan umum
atau kepentingan orang banyak disebutkan di dalamnya didirikan Perum. Kembali pada
Garuda dan penjelasan mengenai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik, merujuk pada norma dan penjelasan tersebut, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa Garuda tidak termasuk BUMN yang bergerak di bidang tersebut
mengingat kedudukan Garuda sebagai perusahaan terbuka yang tidak semua
modalnya merupakan milik negara dan juga terbagi atas saham, bahkan sejumlah
saham diperdagangkan di bursa efek dan menjadi milik publik. Sepanjang
pengetahuan saya komposisi terakhir pemegang saham Garuda sebesar 60,54%
digenggam oleh pemerintah, Chairul Tanjung melalui Trans Airways sebesar
28,62% dan pemegang saham publik sebesar 11,2%. Namun, terkait dengan modal
yang terbagi atas saham yang semuanya dimiliki oleh negara, putusan kasasi
Mahkamah Agung Nomor 075K/Pdt.Sus/2007 terkait PT Dirgantara Indonesia yang
merupakan salah satu BUMN memiliki pertimbangan hukum yang menarik untuk
menjadi rujukan. Putusan
tersebut mengatakan bahwa terbaginya modal atas saham pada PT Dirgantara
Indonesia tersebut untuk memenuhi persyaratan undang-undang perseroan
terbatas yang mewajibkan pemegang saham suatu perseroan minimum dua orang.
Sehingga terbaginya modal atas saham yang seluruh modalnya dimiliki negara
tidak membuktikan bahwa PT Dirgantara Indonesia adalah BUMN yang tidak
bergerak di bidang kepentingan publik. Bagi Majelis
Kasasi yang mengadili perkara tersebut, PT Dirgantara Indonesia merupakan
objek vital industri karena menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan
negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Selanjutnya
ditambahkan juga oleh hakim yang mengadili dan memutus perkara tersebut bahwa
terdapat larangan untuk dilakukan penyitaan terhadap kekayaan negara sehingga
tidak dapat diletakkan sita. Sehingga seharusnya upaya untuk mempailitkan PT
Dirgantara Indonesia harusnya dilakukan oleh Menteri Keuangan. Putusan
tersebut tentu dapat menjadi rujukan oleh Pengadilan Niaga. Meskipun menurut
praktik hukum di Indonesia, hakim tidak terikat dengan putusan-putusan
sebelumnya. Jika putusan mengenai PT Dirgantara Indonesia tersebut menjadi
rujukan, tentu hal yang mustahil untuk mempailitkan Garuda di Pengadilan di
Indonesia. Namun, apabila
upaya PKPU My Indo Airlines ingin dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat, mereka harus bisa belajar dari putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah
Agung sebelumnya dan melihat upaya-upaya yang gagal/berhasil untuk mempailitkan
BUMN. Karena terdapat juga putusan Pengadilan Niaga yang mempailitkan BUMN
yang prosesnya tidak diajukan oleh Menteri Keuangan. Jika gugatan
PKPU atau pailit oleh My Indo Airlines dikabulkan, tidak ada hambatan
teritorial untuk melakukan eksekusi putusan. Sesuatu yang berbeda dengan
upaya hukum pailit yang dilakukan oleh Aercap. Jadi keputusan Aercap untuk
menghentikan gugatan mempailitkan Garuda di Supreme Court New South Wales,
Australia oleh Aercap dan mengambil kesepakatan yang sifatnya win-win solution
atau kerugiannya paling minimum merupakan keputusan yang benar secara hukum
dan bisnis. Meskipun,
mungkin keputusan yang diambil oleh Aercap telah merugikannya secara bisnis.
Karena jika tidak terjadi kata sepakat dan upaya hukum dilanjutkan, ketika upaya
hukum tersebut dikabulkan di sana dan gugatan tersebut tidak dihentikan, maka
putusan tersebut akan tetap sulit untuk dieksekusi di Indonesia dengan
kedudukan Garuda sebagai perusahaan Indonesia dan asetnya banyak di
Indonesia. Putusan pailit
pengadilan asing terhadap aset debitor yang berada di Indonesia tidak dapat
dilaksanakan/dieksekusi di Indonesia karena UU No. 37/2004 menganut prinsip
teritorial. Lebih lanjut, proses eksekusinya juga nantinya tidak berdasar
pada UU No. 37/2004 lagi, namun berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia. Satu-satunya
cara mengeksekusi pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan
putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di
Pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan tersebut menjadi bukti
tulisan yang daya mengikatnya bersifat secara kasuistik, yaitu bisa bernilai
sebagai akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat atau hanya sebagai fakta hukum dinilai secara bebas sesuai dengan
pertimbangan hakim. Jadi untuk
gugatan pailit di Supreme Court New South Wales, Australia, Garuda
diuntungkan dengan prinsip teritorial tadi. Namun sebagai maskapai
penerbangan yang memiliki rute internasional, termasuk ke Australia, dengan
berdasarkan iktikad baik dan nama baik Indonesia terhadap kreditur asing,
maka kesepakatan yang diambil oleh Garuda bersama Aercap merupakan jalan
penyelesaian yang terbaik, baik bagi kreditur Aerpac maupun bagi kredibilitas
Garuda sendiri. Kredibilitas Garuda Garuda sebagai
BUMN, prosedur kepailitan, sistem hukum di Indonesia dan dukungan penuh
pemerintah terhadap maskapai kebanggaan Indonesia tersebut --tanpa bermaksud
mengacuhkan independensi dan mempengaruhi pengadilan-- membuat Garuda hampir
mustahil untuk dipailitkan. Meskipun demikian, sebagai suatu entitas usaha,
kredibilitas menjadi hal yang sangat penting dan strategis bagi Garuda. Oleh
karena itu, upaya restrukturisasi yang dilakukan harus berlandaskan iktikad
baik. Garuda sebagai
debitor yang terikat dengan perjanjian harus menghormati berbagai kontraknya
dan menyelesaikan berbagai utangnya terhadap kreditur. Jangan karena
"keistimewaan" yang didapatkan dengan statusnya sebagai BUMN
membuat Garuda jemawa dan kemudian mengacuhkan hak-hak kreditor. Pastinya,
dampak dari pandemi Covid-19 dirasakan semua pihak, termasuk Garuda yang
bergerak dalam industri penerbangan. Untuk situasi seperti sekarang menjadi
penting untuk menempatkan rasa saling pengertian, menghormati, dan memiliki
iktikad baik dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa. Terakhir,
Garuda harus menyiapkan semua opsi, termasuk opsi terburuk jika memang ada
putusan mengejutkan dari Pengadilan Niaga. Jika semua dapat kembali berjalan
normal, Garuda kita harapkan dapat terbang lagi tanpa beban utang yang berat.
Semoga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar