Sabtu, 14 Agustus 2021

 

Garuda Memang Mustahil Pailit

Ahmad Irawan ;  Advokat/Kurator di Firma Hukum Ahmad Irawan & Associates

DETIKNEWS, 12 Agustus 2021

 

 

                                                           

Garuda selamat dari gugatan pailit menjadi judul berita detikcom, Senin (2/8. Berita tersebut terkait dengan penghentian gugatan oleh Aercap terhadap Garuda Indonesia di Supreme Court di New Sout Wales. Penghentian gugatan tersebut ditandai dengan penandatangan kesepakatan antara keduanya. Kesepakatannya antara lain berupa relokasi beberapa pesawat pada lokasi yang telah disetujui.

 

Namun, Garuda tidak boleh lupa bahwa gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau pailit tidak hanya diajukan oleh Aercap di New South Wales. Gugatan juga diajukan oleh My Indo Airlines di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tidak jauh dari kantor pusat Garuda yang ada di Kebon Sirih. Pertanyaan menarik yang tersisa adalah bagaimana dengan gugatan My Indo Airlines di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan apakah penghentian gugatan oleh Aercap terhadap Garuda merupakan keputusan rasional dan strategis yang dapat diterima secara hukum?

 

Garuda sebagai BUMN

 

Untuk mempailitkan perusahaan di Indonesia harus memenuhi syarat. Syarat tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam ketentuan yang bersifat kumulatif tersebut, dalam kedudukan Garuda sebagai debitor, Garuda harus mempunyai dua kreditor atau lebih, tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, dimohonkan sendiri atau dimohonkan oleh satu atau lebih kreditornya.

 

Anjloknya pendapatan membuat Garuda kesulitan membayar utang. Menurut laporan keuangan Garuda, hingga akhir 2020 pendapatan Garuda US$ 1,49 miliar, anjlok 67,40% year-on-year. Hal tersebut membuat rugi bersih Garuda yang pada 2019 sebesar US$ 38,94 juta membengkak menjadi US$ 2,44 miliar pada 2020. Dalam rangka menyelesaikan utang Garuda, Kementerian BUMN memilih opsi untuk melakukan restrukturisasi. Sejak awal opsi Penanaman Modal Negara (PMN) tidak dipilih dan masuk dalam strategi penyelesaian utang Garuda, meskipun Garuda memiliki kesempatan mendapatkannya.

 

Garuda sebagai salah satu BUMN di Indonesia tentu memiliki "keistimewaan" yang diberikan oleh negara. Salah satunya terkait prosedur dalam pengajuan PKPU dan/atau pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) UU No. 37/2004 yang mengatur bahwa BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pada bagian penjelasan pasal tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.

 

Mengenai kepentingan publik, UU BUMN sendiri tidak mendefinisikan dan menentukan secara tegas dan jelas BUMN mana saja yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dalam UU BUMN sendiri yang digunakan adalah terminologi kemanfaatan umum, kepentingan umum dan kepentingan orang banyak. Untuk kepentingan umum atau kepentingan orang banyak disebutkan di dalamnya didirikan Perum.

 

Kembali pada Garuda dan penjelasan mengenai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, merujuk pada norma dan penjelasan tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Garuda tidak termasuk BUMN yang bergerak di bidang tersebut mengingat kedudukan Garuda sebagai perusahaan terbuka yang tidak semua modalnya merupakan milik negara dan juga terbagi atas saham, bahkan sejumlah saham diperdagangkan di bursa efek dan menjadi milik publik.

 

Sepanjang pengetahuan saya komposisi terakhir pemegang saham Garuda sebesar 60,54% digenggam oleh pemerintah, Chairul Tanjung melalui Trans Airways sebesar 28,62% dan pemegang saham publik sebesar 11,2%. Namun, terkait dengan modal yang terbagi atas saham yang semuanya dimiliki oleh negara, putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 075K/Pdt.Sus/2007 terkait PT Dirgantara Indonesia yang merupakan salah satu BUMN memiliki pertimbangan hukum yang menarik untuk menjadi rujukan.

 

Putusan tersebut mengatakan bahwa terbaginya modal atas saham pada PT Dirgantara Indonesia tersebut untuk memenuhi persyaratan undang-undang perseroan terbatas yang mewajibkan pemegang saham suatu perseroan minimum dua orang. Sehingga terbaginya modal atas saham yang seluruh modalnya dimiliki negara tidak membuktikan bahwa PT Dirgantara Indonesia adalah BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan publik.

 

Bagi Majelis Kasasi yang mengadili perkara tersebut, PT Dirgantara Indonesia merupakan objek vital industri karena menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Selanjutnya ditambahkan juga oleh hakim yang mengadili dan memutus perkara tersebut bahwa terdapat larangan untuk dilakukan penyitaan terhadap kekayaan negara sehingga tidak dapat diletakkan sita. Sehingga seharusnya upaya untuk mempailitkan PT Dirgantara Indonesia harusnya dilakukan oleh Menteri Keuangan.

 

Putusan tersebut tentu dapat menjadi rujukan oleh Pengadilan Niaga. Meskipun menurut praktik hukum di Indonesia, hakim tidak terikat dengan putusan-putusan sebelumnya. Jika putusan mengenai PT Dirgantara Indonesia tersebut menjadi rujukan, tentu hal yang mustahil untuk mempailitkan Garuda di Pengadilan di Indonesia.

 

Namun, apabila upaya PKPU My Indo Airlines ingin dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, mereka harus bisa belajar dari putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung sebelumnya dan melihat upaya-upaya yang gagal/berhasil untuk mempailitkan BUMN. Karena terdapat juga putusan Pengadilan Niaga yang mempailitkan BUMN yang prosesnya tidak diajukan oleh Menteri Keuangan.

 

Jika gugatan PKPU atau pailit oleh My Indo Airlines dikabulkan, tidak ada hambatan teritorial untuk melakukan eksekusi putusan. Sesuatu yang berbeda dengan upaya hukum pailit yang dilakukan oleh Aercap. Jadi keputusan Aercap untuk menghentikan gugatan mempailitkan Garuda di Supreme Court New South Wales, Australia oleh Aercap dan mengambil kesepakatan yang sifatnya win-win solution atau kerugiannya paling minimum merupakan keputusan yang benar secara hukum dan bisnis.

 

Meskipun, mungkin keputusan yang diambil oleh Aercap telah merugikannya secara bisnis. Karena jika tidak terjadi kata sepakat dan upaya hukum dilanjutkan, ketika upaya hukum tersebut dikabulkan di sana dan gugatan tersebut tidak dihentikan, maka putusan tersebut akan tetap sulit untuk dieksekusi di Indonesia dengan kedudukan Garuda sebagai perusahaan Indonesia dan asetnya banyak di Indonesia.

 

Putusan pailit pengadilan asing terhadap aset debitor yang berada di Indonesia tidak dapat dilaksanakan/dieksekusi di Indonesia karena UU No. 37/2004 menganut prinsip teritorial. Lebih lanjut, proses eksekusinya juga nantinya tidak berdasar pada UU No. 37/2004 lagi, namun berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia.

 

Satu-satunya cara mengeksekusi pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di Pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan tersebut menjadi bukti tulisan yang daya mengikatnya bersifat secara kasuistik, yaitu bisa bernilai sebagai akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat atau hanya sebagai fakta hukum dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.

 

Jadi untuk gugatan pailit di Supreme Court New South Wales, Australia, Garuda diuntungkan dengan prinsip teritorial tadi. Namun sebagai maskapai penerbangan yang memiliki rute internasional, termasuk ke Australia, dengan berdasarkan iktikad baik dan nama baik Indonesia terhadap kreditur asing, maka kesepakatan yang diambil oleh Garuda bersama Aercap merupakan jalan penyelesaian yang terbaik, baik bagi kreditur Aerpac maupun bagi kredibilitas Garuda sendiri.

 

Kredibilitas Garuda

 

Garuda sebagai BUMN, prosedur kepailitan, sistem hukum di Indonesia dan dukungan penuh pemerintah terhadap maskapai kebanggaan Indonesia tersebut --tanpa bermaksud mengacuhkan independensi dan mempengaruhi pengadilan-- membuat Garuda hampir mustahil untuk dipailitkan. Meskipun demikian, sebagai suatu entitas usaha, kredibilitas menjadi hal yang sangat penting dan strategis bagi Garuda. Oleh karena itu, upaya restrukturisasi yang dilakukan harus berlandaskan iktikad baik.

 

Garuda sebagai debitor yang terikat dengan perjanjian harus menghormati berbagai kontraknya dan menyelesaikan berbagai utangnya terhadap kreditur. Jangan karena "keistimewaan" yang didapatkan dengan statusnya sebagai BUMN membuat Garuda jemawa dan kemudian mengacuhkan hak-hak kreditor.

 

Pastinya, dampak dari pandemi Covid-19 dirasakan semua pihak, termasuk Garuda yang bergerak dalam industri penerbangan. Untuk situasi seperti sekarang menjadi penting untuk menempatkan rasa saling pengertian, menghormati, dan memiliki iktikad baik dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa.

 

Terakhir, Garuda harus menyiapkan semua opsi, termasuk opsi terburuk jika memang ada putusan mengejutkan dari Pengadilan Niaga. Jika semua dapat kembali berjalan normal, Garuda kita harapkan dapat terbang lagi tanpa beban utang yang berat. Semoga!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar