Potongan
Rambut dan Dilema Peran Pejabat
Suyatno ; Analis Politik Pemerintahan pada FHISIP
Universitas Terbuka;
Alumnus UGM
|
DETIKNEWS,
02 Februari
2018
Potongan rambut skin fade atau man bun yang ditampilkan oleh
Wakil Walikota Palu Purnomo Syamsudin Said alias Pasha 'Ungu' menjadi viral
dan menuai banyak kritik. Gaya rambut yang mencukur habis sisi kiri dan kanan
namun bagian atas dibiarkan panjang dan dikuncir ke belakang. Foto itu muncul
dari salah satu acara televisi yang mengundang Pasha sebagai bintang tamunya.
Penyebab munculnya kritik potongan rambut itu banyak
dipersoalkan karena setidaknya dua hal. Pertama, Pasha saat ini merupakan
pejabat publik. Kehadirannya mau tidak mau akan dilekati predikat ini. Kedua,
mengenakan baju seragam dinas. Sebenarnya, potongan rambut itu mungkin tidak
akan dipersoalkan jika tidak tampil dengan seragam dinas sebagaimana terlihat
pada foto itu. Dalam beberapa konteks pejabat berseragam dianggap mewakili
aparatus negara.
Di lingkungan Kemendagri penampilan itu bersinggungan dengan UU
No. 5 Pasal 4 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus menjunjung
tinggi standar etika yang terukur, dan memberikan layanan kepada publik
secara jujur dan santun. Dalam kaitan ini, santun ialah rambut tidak menutupi
telinga, belakang tidak menyentuh kerah baju, dan atas tidak menutup mata.
Memang adanya pelanggaran etika bisa mengundang perdebatan.
Pola peran ganda artis yang terjun ke politik melatari fenomena
ini muncul. Memang ada kesesuaian faktor ketenaran antara artis dan pejabat.
Banyak artis yang sukses memanfaatkan popularitasnya untuk meraih kemenangan
di bidang politik. Selain Pasha, di dalam negeri tercatat nama Anang
Hermansyah, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Zumi Zola, Desi Ratnasari, Dedi
Mizwar dan banyak lagi.
Di luar negeri ada Ronald Reagen, Ferdinand Marcos dan Arnold
Schwarzenegger yang sukses meraih karier politiknya. Namun, popularitas itu
peruntukan dan ukurannya agak berbeda dalam dunia politik dan artis. Bidang
garap politisi relatif lebih luas ketimbang artis. Demikian juga segmen
antara artis dan politisi juga tak serupa.
Sejatinya manusia memang harus siap menjalani peran yang
berbeda-beda. Pemain yang membawakan dua macam peran dalam suatu cerita
drama. Indriyani (2009) memberi gambaran bahwa seseorang berperan ganda
memiliki jabatan atau posisi atau keadaan yang lebih dari satu sehingga
membuat orang tersebut memiliki tanggung jawab yang lebih banyak.
Merujuk pada makna dilema sosial Brewer dan Kramer (1986),
dilema sosial membuat kepentingan diri jangka pendek individu bertentangan
dengan kepentingan jangka panjang kelompok (yang mencakup individu). Pasha
adalah artis yang menjadi pejabat publik berada dalam posisi dilema untuk
menjalankan dua peran itu sekaligus.
Pada umumnya artis yang terjun ke politik memang dihadapkan pada
pilihan peran. Ada artis yang menonjol di mata publik, sebaliknya juga tak
jarang artis yang dianggap kurang berkontribusi dalam jabatannya. Kesuksesan
artis politisi dilihat dari perilakunya yang relatif aktif, dan memiliki visi
politik dan kemampuan mengorganisasikan pemikiran politiknya dengan baik.
Dilema Peran
Problem besar artis ke politik adalah metamorfosis peran
menghadapi tuntutan publik (penggemar politiknya). Sebagai pejabat publik
artis politik menjadi milik dan harus melayani semua golongan, bukan lagi
kalangan tertentu seperti anak muda saja. Sang artis harus menguasai semua
bidang kerja yang menjadi tanggung jawab jabatannya.
Kondisi ini yang dihadapi hampir semua politisi artis. Setelah
menjejakkan kakinya di dunia politik maka melekat tuntutan untuk berperilaku
sesuai dengan keinginan konstituen (pemilih) yang diwakilinya. Konstituen ini
berasal dari kelompok dan kepentingan yang jauh lebih kompleks dibanding
sebelumnya.
Tarik-menarik terjadi antara tuntutan dunia artis yang glamor
dan kualitas sebagai pejabat publik. Tidak mudah untuk menjalankan keduanya
secara bersama-sama dengan seimbang. Ada tuntutan profesional yang tak jarang
saling bertentangan di antara keduanya.
Penampilan yang cenderung bebas dan mengikuti tuntutan kelompok
yang menjadi penggemarnya terkadang tidak bisa seiring dengan peran sebagai
pejabat publik. Berbagai kelompok tuntutan norma dan etika protokoler harus
dipatuhi oleh seorang pejabat publik termasuk yang berasal dari latar
belakang artis.
Adaptasi
Sebenarnya ketenaran sebagai artis bisa menjadi modal yang
menguntungkan bagi artis politisi. Popularitas adalah satu langkah menuju
legitimasi yang efektif. Kepatuhan publik akan relatif besar untuk diraih
politisi artis ketimbang oleh politisi yang kurang dikenal. Perbedaan ini
bahkan bisa sangat terasa di beberapa daerah.
Kegagalan beradaptasi akan melahirkan citra negatif bagi pejabat
artis. Secara kognitif maupun psikomotor para artis dituntut untuk mampu
membawa diri mereka pada dunianya yang baru. Tidak sedikit dari mereka yang
awalnya gagap bahkan tidak siap untuk meninggalkan dunia yang sebelumnya
telah membesarkan mereka.
Persepsi publik adalah hal yang penting bagi seorang pejabat
publik. Figurnya yang menjadi panutan akan berhasil bila mampu menempatkan
dirinya pada peran dan penampilan yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar