Mendidik
Lantip yang Bukan Priyayi
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset
dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian
dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
02 Februari
2018
"Bapakmu, Le, pergi jauh. Jaaauuuh sekali. Dia pergi untuk
mengumpulkan banyak uang supaya nanti kita bisa bikin rumah baru, punya sawah
yang luas dan subur dan sapi dan kerbau dan lain-lainnya. Kamu pasti senang
kalau nanti Bapak pulang." (2012:12)
Kalimat itu diucapkan Mbok kepada Lantip tiap kali bertanya
perihal bapaknya yang kabur tanpa jejak sejak ia kecil. Pernyataan Mbok
sekaligus mewakili imajinasi penjual tempe pada nilai paripurna dalam hidup
yang terwujud pada rumah, sawah, hewan ternak, dan aset lainnya. Dalam novel
Para Priyayi, Umar Kayam mengubah nasib Lantip menjadi seorang guru priyayi.
Lantip meninggalkan kampungnya di Wanalawas, pergi ke "kota"
Wanagalih untuk disekolahkan oleh Ndoro Guru Sastrodarsono.
Dalam karya monumental yang menggambarkan batin Jawa pada masa
kolonial itu, Wanalawas yang terpencil adalah simbol serba ketidakmajuan,
sedangkan bersekolah di Wanagalih adalah simbol kemoderenan karena kelak
orang-orang bersekolah di HIS, MULO atau AMS dapat bekerja menjadi mantri
guru atau pegawai-pegawai kantor pemerintahan Belanda.
Seabad berlalu, pada 2017 kali ini, mari menjadi Pak Ryan yang
pagi ini kembali menemukan surat undangan pernikahan di meja kerjanya.
Sepucuk surat itu bertuliskan nama mantan siswi yang baru saja lulus dari
Sekolah Dasar tempatnya mengajar dua tahun lalu. Bukan kali pertama terjadi,
tapi tiap menemukan kabar sejenis, ia lagi-lagi tersadar jika ia kini adalah
seorang guru PNS yang ditugaskan mengajar pada sekolah yang berjarak 40
kilometer dari pusat kota kabupaten di pinggiran Jawa Tengah.
Kampung letak sekolah itu berada di antara kepungan beratus
hektar hutan jati dengan akses jalanan yang buruk. Total siswa di sekolah
berjumlah 45 anak, rata-rata berjumlah 7 bocah dari kelas satu sampai kelas
enam. Sekolah tetangga terdekat siswanya berjumlah 25 bocah saja, tapi tetap
saja tidak bisa digabung karena hutan luas yang memisahkan mereka pun terlalu
jauh. Akan tak cukup adil untuk bocah yang datang dari satu kampung yang
dikorbankan.
Selepas Sekolah Dasar, sedikit sekali siswa yang melanjutkan ke
jenjang sekolah menengah. Jarak sekolah jauh, tak ada akses transportasi
umum. Jika memiliki kendaraan, perlu bensin dua liter untuk pulang-pergi tiap
hari. Satu atau dua keluarga awalnya bertekad menyekolahkan anaknya, tapi
kemudian berujung ke pertanyaan: "Sekolah buat apa?" Mereka lalu
berhenti berangkat sekolah; anak gadis akan segera menikah, yang laki-laki
lazimnya pergi meninggalkan tanahnya.
Awal waktu ketika baru hangat-hangatnya jadi sarjana, Pak Ryan
bertekad betul mengaplikasikan semua teori yang ia pelajari dalam buku
Filsafat Pendidikan. Tetapi, fakta lapangan jauh dengan teori muluk UU tujuan
Pendidikan Nasional. Kini, ia lebih sering jadi relijius untuk menenangkan
diri. Suatu ketika ia membaca pesan grafis seorang kiai di Instagram,
katanya, "Jangan berharap siswa-siswamu menjadi pintar hanya gara-gara
kau ajar. Pintar atau tak pintar itu urusan Allah, tugasmu adalah mengajar
dengan baik dan mendoakannya." Pak Ryan tahu, tindakan menghafal kutipan
itu adalah wujud apologi menenangkan diri. Tak apa, toh, sinyal internet
kemudian hilang kembali setibanya ia di hutan.
Cah alas alias bocah hutan lalu ramai-ramai jadi kuli di
Jakarta. Para pemangku jabatan di hutan bukan orang kampung mereka, melainkan
orang-orang asing yang berasal dari kota. Para mafia kayu yang hilir mudik
juga orang kota. Lahan perhutani yang bisa disewa untuk ditanami tanaman
palawija hanya terjangkau oleh orang kaya dari kota. Lagi-lagi kota. Upah
sebagai buruh tani dari menggarap lahan sewa orang kota tak seberapa, jika
pun panen, akses distribusi mahal dan harga hasil panen juga ditentukan oleh
tengkulak.
Di sekolah, pandangan peran manusia dianggap sebagai sumber daya
pembangunan. Buku-buku diktat dengan harga mahal, seragam, sepatu, sering
diharapkan akan berubah menjadi meja kerja, dasi, dan lingkungan pergaulan
eksklusif sebagai simbolisasi kesuksesan. Pada jenjang sekolah menengah, anak-anak
harus menghafal rumus kimia, rumus fisika dan rumus matematika yang rumit.
Rumus itu harus terus dipelajari hingga perguruan tinggi agar dapat
menuntaskan kerja mesin-mesin dan piranti teknologi yang berguna untuk
membangun gedung-gedung tinggi yang entah sekadar mempercantik atau menyesaki
kota.
Di sekolah, anak-anak hutan tidak diperlakukan sebagai subjek
pembangunan yang utuh yang membuat mereka lepas dari budayanya. Sekolah tidak
mengajak mereka berpikir bagaimana caranya agar di masa depan lahan sewa
tanah hutan negara dapat dipergunakan oleh orang-orang kampung sendiri.
Sekolah tidak mengajarkan mereka untuk membuat pertambahan nilai pada sedikit
ladang yang mereka miliki. Sekolah tidak memberi tahu bagaimana cara
mengendalikan harga pasar yang dikuasai oleh manusia yang tak pernah terlibat
dalam proses menanam. Sekolah tidak mengajarkan mereka untuk bertanya mengapa
hidup di masyarakat artinya berhadap-hadapan dengan pelapisan atau
stratifikasi sosial yang bersumber dari adanya perbedaan ekonomi, pendidikan,
agama, keturunan, kekuasaan.
Jika ada yang beruntung menjadi Lantip yang terus bersekolah,
mereka terbentuk menjadi manusia siap kerja. Dahulu, angkatan siap kerja itu
diperbantukan kolonial menjadi ambtenaar, mandor perkebunan, atau pamong praja.
Tetapi tidak semua anak bisa disekolahkan ke kota seperti
Lantip. Yang lebih parah, kita jarang berpikir mengapa sekolah tidak bisa
menghasilkan Lantip-Lantip lain yang bukan priyayi? Soal akses jalan yang
buruk dan infrastruktur yang memadai, kita selalu hanya bisa menunggu agar
pemerintah pusat dan daerah ingat janji-janji kampanyenya. Tapi, sampai kapan
jiwa pendidikan menjadi perpanjangan narasi pembangunan perkotaan yang gagal
membuat Lantip menjadi tuan di tanahnya sendiri? Lantip harus pulang ke desa,
sebab kota sudah semakin sesak dan mampat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar