Senin, 26 Februari 2018

Kota, Angkutan Umum, Kendaraan Pribadi, dan Dilema Transportasi

Kota, Angkutan Umum, Kendaraan Pribadi, dan Dilema Transportasi
Yusa Cahya Purnama  ;   Perencana Transportasi
                                                KOMPAS.COM,  07 Februari 2018



                                                           
Kota, angkutan umum dan kendaraan pribadi memiliki sebuah hubungan yang unik dan rumit. Kota, seperti diungkapkan Geoffrey West (2010) dalam penelitiannya, bagaikan sebuah organisme yang hidup.

Karena itu, kota memiliki kebutuhan akan mekanisme transportasi dalam “diri”-nya untuk dapat berfungsi. Kota juga berarti memerlukan adanya aktivitas sosial ekonomi sebagai penyokong geliat kehidupannya bagaikan tubuh yang memerlukan aktivitas organ dan bagian lainnya untuk dapat berfungsi.

Di sisi lain, sebuah kawasan perkotaan harus memiliki rencana serta realisasi penataan ruang dan fungsi yang benar agar pertumbuhannya terkendali. Selain itu, juga berada dalam “arah” yang benar, bagaikan sebuah organisme yang hidup dan tumbuh secara sehat.

Pertumbuhan kawasan perkotaan yang terjadi secara tidak terkendali dapat diandaikan sebagai sebuah organisme yang terpapar sakit kanker.

Perubahan “genetik kota” ini menyebabkan sebuah kawasan perkotaan mengalami gangguan fungsi hidup maupun pertumbuhannya. Misalnya saja miszonasi, antara ruang publik dan kawasan komersial.
Bagaikan sumbatan lemak di pembuluh darah, pertumbuhan kawasan komersial di zona non komersial bisa jadi menghambat laju lalu lintas di jalanan akibat banyaknya aktivitas ikutan yang mengganggu kelancaran arus transportasi.

Penggambaran lain adalah ketika terjadi kegagalan penyediaan transportasi umum untuk suatu kawasan sehingga menurunkan geliat sosial dan aktivitas perekonomian dapat disebut hilangnya pembuluh darah tubuh sehingga terjadi kematian organ tubuh di tempat itu.

Kendaraan pribadi dan angkutan umum memiliki hubungan sangat unik. Kedua moda transportasi ini dapat berfungsi saling melengkapi. Namun pada saat bersamaan, dapat juga saling berkompetisi sehingga mematikan satu sama lain apabila tidak ada pengaturan yang tegas dan jelas.

Kendaraan pribadi, di satu sisi menawarkan fleksibilitas pergerakan bagi penduduk kota. Sepeda motor sebagai salah satu moda kendaraan pribadi bahkan memiliki kelebihan berupa rendahnya biaya operasional.
Kendaraan pribadi juga menawarkan kemudahan pergerakan penduduk serta pertumbuhan ekonomi terutama untuk kawasan baru perkotaan yang tidak terjangkau rute angkutan umum eksisting, ketiadaan beban biaya subsidi bagi pemerintah.

Meskipun demikian, penggunaan kendaraan pribadi bukan tanpa konsekuensi. Ketergantungan pada kendaraan pribadi pada akhirnya menyebabkan peningkatan kemacetan, polusi udara, permasalahan kesehatan fisik dan psikologis selain habisnya ruang perkotaan untuk pembangunan jalan.

Opsi pergerakan

Untuk mengurangi ketergantungan ini sebuah perkotaan yang sehat harus mampu menjadikan masing-masing moda transportasi sebagai opsi pergerakan yang terbaik bagi penduduknya sesuai kebutuhannya.

Transportasi umum harus dirancang dengan zona-zona tangkapan yang jelas serta menjangkau seluruh kawasan kota bagai pembuluh darah tubuh. Pola dan tingkat pelayanan angkutan umum harus dirancang agar menarik serta dapat melayani sebagian besar penduduk perkotaan.
Hal ini untuk meminimalisasi kebutuhan penduduk terhadap kendaraan pribadi dalam kebutuhan pergerakan mereka. Selain itu perlindungan hak pedestrian sebagai penyokong angkutan umum harus diatur secara tegas.

Di sisi lain, opsi pergerakan ini membutuhkan komitmen keuangan, kebijakan dan politik pemerintah baik di level daerah maupun pusat. Tak lupa pula komitmen untuk merancang dan merealisasikan berdasar rencana jangka panjang dan didukung tahapan jangka pendek dan menengah secara disiplin.

Harus diakui hal di atas menyebabkan hubungan dilematis di bidang transportasi di berbagai kawasan perkotaan di Indonesia. Bahkan sangat besar kemungkinan terjadi hingga kawasan pinggiran kota serta pedesaan.

Oleh karena itu, kejelasan serta ketegasan sikap pemerintah sebagai regulator adalah harga mati.
Memang benar kendaraan pribadi tidak akan dapat sepenuhnya digantikan oleh angkutan umum. Namun perlu diingat, pembiaran ketergantungan terhadap kendaraan pribadi adalah hal yang harus sangat dihindari.

Pemerintah, baik di level daerah hingga pusat harus bisa menanggalkan baju politik dan kepentingan golongan ketika melayani rakyatnya serta berkomitmen dalam menjalankan perencanaan jangka menengah dan panjang.

Harus diakui, hal ini mungkin tidak mudah dijalankan di Indonesia di mana belum ada jaminan jelas agar oknum kepala daerah tidak berkutat lebih mengutamakan jargon politik, pencitraan pribadi dan kelompok serta golongan tertentu ketimbang realisasi program jangka panjang serta kebutuhan riil masyarakat.

Masyarakat adalah pengguna, tidak seharusnya masyarakat dibiarkan menjadi korban dilema yang bersifat politis. Pelibatan swasta dalam penyediaan dan pengelolaan angkutan umum harus mulai didorong.
Skema subsidi angkutan umum yang tepat sasaran harus dibuat berdasar data kependudukan yang akurat. Penggunaan dan kepemilikan kendaraan pribadi harus diatur dengan jelas.

Manajemen lalu lintas serta pengaturan ruang parkir harus diatur dengan konsep pengutamaan angkutan umum. Pedestrian serta pengurangan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi serta mendorong penggunaan angkutan umum.

Hal terakhir dan terpenting adalah pemerintah daerah hingga pusat harus dapat lepas dari kepentingan kelompok serta golongan tertentu. Kebijakan yang diambil harus jelas, berkelanjutan tidak bersifat “asal beda” atau cenderung jargon semata agar bangsa ini tidak terjebak dalam dilema transportasi berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar