Senin, 26 Februari 2018

Indonesia Masih Berutang Mata Novel Baswedan

Indonesia Masih Berutang Mata Novel Baswedan
Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia
                                                KOMPAS.COM, 22 Februari 2018



                                                           
SEPULUH bulan purnama telah berlalu sejak Novel Baswedan disiram air keras saat pulang shalat berjamaah pada subuh 11 April 2017. Teror biadab itu menyebabkan mata kirinya buta, sementara mata kanannya harus memakai lensa.

Hari ini, 22 Februari 2018, Novel Baswedan akan pulang dan langsung menuju rumah juangnya di Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), disambut para sahabat yang mencintainya. Saya ingin pula menyambutnya, meski lewat tulisan ini semata.

Mengapa kita perlu menyambut Novel dengan suka cita? Bukan semata karena kita cinta Novel Baswedan, melainkan kita ingin merayakan semangat juang tak kenal takut dan dan integritas tak terbeli yang diteladankannya.

Novel adalah ikon perjuangan antikorupsi yang lengkap secara profesional kerja dan akhlak personalnya. Bayangkan, meskipun mata fisiknya dibutakan, Novel tetap memancarkan terang integritas melalui mata hatinya.

Setri Yasa, seorang jurnalis, hari ini membagi cerita di halaman FB-nya, bagaimana Novel yang berkurang gajinya karena sedang dalam perawatan di Singapura, harus menjual rumah kreditannya untuk sang bunda tercinta di Semarang dan menjual pula mobil keluarga satu-satunya, agar tetap dapat menafkahi hidup keluarganya.

Di tengah kesulitan ekonomi yang sedemikian nyata, integritas moral Novel tetap bersinar benderang. Jangankan yang haram, bantuan halal pun masih halus ditolaknya.

Ketika sahabat yang bersimpati menggalang bantuan dana dan dari situ terkumpul Rp 120 juta, dengan santun Novel tidak menerimanya.

Mengutip Setri, Novel berkata, “Sedekah itu hanya boleh diterima orang miskin. Dan saya tidak ingin menjadi miskin karena itu. Insya Allah saya masih mampu. Tolong sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman”.

Menitik air mata saya membacanya. Terharu akan sinar teladan yang dipancarkannya.

Mata fisiknya bisa digelapbutakan, tetapi mata hati Novel nyata-nyata masih memberikan silau antikorupsi yang tak kunjung padam. Hanya orang yang punya pribadi mulia yang bisa bertutur dengan nilai keimanan dan kemanusiaan yang sedemikian kuat dan dalam.

Karena itu, kita menyambut Novel dengan bahagia. Karena, kita ingin merayakan perjuangan antikorupsi yang tidak surut dan takut dengan teror biadab, sejahat apa pun.
Kita ingin menegaskan bahwa kita akan selalu bersama Novel Baswedan, menghadapi berbagai teror para koruptor, yang tidak akan pernah berhenti melemahkan KPK dan para pejuang antikorupsinya.

Novel adalah simbol juang antikorupsi yang teguh memegang prinsip moralitas dan profesionalitas. Novel adalah ikon pemberantasan korupsi yang sederhana, tak kenal takut, dan terus konsisten dalam semangat juang untuk Indonesia yang bebas korupsi.

Pengungkapan kasus Novel Baswedan karenanya adalah pertaruhan ke-sekian kita bahwa keadilan itu masih ada di bumi pertiwi dan layak diperjuangkan. Bahwa harapan pemberantasan korupsi tidak akan pernah hilang karena kalah dengan teror biadab para koruptor.
Sejarah hitam negeri ini mencatat tidak sedikit pejuang HAM dan antikorupsi yang diteror—bahkan dibunuh—dan pelaku utamanya tetap bebas melenggang merdeka.

Tulisan ini bisa menjadi daftar panjang kasus peti es serupa itu. Beberapa di antaranya ada di zaman otoritarian Orde Baru, tetapi— sayangnya—terus berlanjut ke era reformasi, yang seharusnya mengharamkan impunitas.

a.   Aktivis buruh Marsinah dibunuh dengan penyiksaan berat dan mayatnya ditemukan di hutan pada 8 Mei 1993. Nyaris seperempat abad kemudian pembunuhnya tidak pernah terungkap;

b.   Fuad Muhammad Syafrudin adalah wartawan harian Bernas di Yogyakarta yang kritis menuliskan isu antikorupsi sebelum dianiaya oleh orang tidak dikenal dan akhirnya meninggal dunia pada 16 Agustus 1996. Lebih dari dua dekade kemudian, pelaku pembunuhannya masih melenggang tanpa pertanggungjawaban;

c.   Pejuang HAM Munir Said Thalib dibunuh secara kejam dengan racun arsenik saat akan hijrah menuntut ilmu di Belanda. Telah lewat 13 tahun, sejak 7 September 2004, saat pesawat Garuda GA-974 mendarat di Amsterdam, dan yang turun adalah jasad Munir yang telah tak bernyawa. Hingga kini pelaku utamanya masih bebas dan terus eksis tanpa sentuhan hukum secuil pun;

d.   Pada 8 Juli 2010, aktivis antikorupsi ICW Tama S Langkun dianiaya dengan sabetan senjata tajam. Hampir delapan tahun kemudian, jangankan pelakunya terungkap, berita kasusnya pun tidak pernah lagi ada.

The untouchable

Catatan kelam penganiayaan dan pembunuhan aktivis HAM dan antikorupsi mestinya lebih panjang lagi. Tidak sedikit terjadi tanpa advokasi dan pemberitaan yang memadai, sehingga lenyap tenggelam ditelan lebatnya hutan belantara, dalamnya samudera, serta tebalnya tembok tebal benteng pertahanan para pelaku yang menorehkan prestasi negatif sebagai penjahat tak tersentuh hukum—the untouchables.

Melihat panjangnya daftar tragedi hukum yang lumpuh berhadapan dengan para untouchables, kita akan mudah untuk menyerah, termasuk dalam mendesakkan tuntasnya kasus Novel Baswedan.

Waktu yang terus bergulir adalah salah satu pembunuh semangat yang efektif dan mudah melenakan kita untuk melupakan keadilan yang masih absen dalam kasus Novel.

Namun, kita tidak boleh kalah! Saya yakin, secara teknis investigasi, kasus Novel Baswedan bukan kasus yang sulit untuk diungkap tuntas. Ini kasus mudah.

Dalam banyak kasus serupa, bahkan lebih rumit sekali pun, polisi kita sudah terbukti mumpuni untuk mengungkapnya secara cepat dan tuntas.

Jika sekarang tidak kunjung selesai, maka sebagaimana kasus Marsinah, Udin, Munir, Tama, dan kasus serupa lainnya, persoalannya bukan pada soal teknis hukum melainkan pada keberanian untuk melawan dan memenjarakan the untouchables.

Ada film The Untouchables yang dirilis pada 1987 dan dibintangi Kevin Costner, Andy Garcia, Robert De Niro, dan Sean Connery. Film itu diangkat dari kisah nyata seorang pimpinan mafia di Chicago yang bernama Al Capone.

Kejahatannya sangat masif, mencakup semua kejahatan berat pada masa awal abad ke-20, seperti prostitusi, penyelundupan manusia, penyuapan penegak hukum, dan penggelapan pajak. Pembunuhan juga merupakan modus yang dilakukannya untuk menyingkirkan para musuh dan saingan bisnisnya.

Namun, selicin apa pun sang belut mafioso berusaha terlepas dari jeratan hukum, pada akhirnya sang pemimpin gangster bertekuk lutut dan dipenjarakan dengan penjagaan superketat di Al Catraz.

Adalah tim khusus penegak hukum yang dipimpin Eliot Ness yang berhasil membekuknya. Oleh karena itu, dalam film ini, yang dijuluki tak tersentuh bukanlah Al Capone, tetapi sebaliknya Eliot Ness dan timnya yang menjelma sebagai the untouchables.

Pesan moral dari film yang diilhami kisah nyata tersebut, sebenarnya tidak ada orang yang tidak bisa disentuh hukum, siapa pun orangnya, apa pun kekuatannya.

Syaratnya, para penegak hukum itu sendiri yang harus untouchables. Hukum itu sendiri yang harus bebas dari berbagai intervensi, baik politik kekuasaan yang korup (political corrupt) ataupun suap keuangan (judicial corruption).

Hadirnya penjahat yang tidak tersentuh hukum dalam kasus-kasus sejenis Novel bukanlah karena pelaku kejahatan yang tidak tersentuh, melainkan karena penegak hukum sendiri yang mudah disentuh, gampang dimanipulasi. Yaitu, penegak hukum yang tidak dilindungi dan karenanya mudah diintervensi oleh tekanan politik kuasa dan godaan korupsi peradilan. Dalam kasus sejenis, bukanlah teknis investigasi hukum yang rumit, melainkan bertahan dari serangan intervensi kuasa dan dana yang menyebabkan kasusnya menjadi sulit.

Karena itu, untuk mengungkap kasus Novel, perlu dibentuk dan dilindungi otoritas penegak hukum yang sejatinya tak tersentuh, tak terbeli, the untouchables. Penegak hukum yang komplet, tidak hanya berani tetapi juga jujur dan berintegritas sekokoh cadas karang, yang tak lekang dihantam derasnya ombak samudera.

Polisi kita seharusnya mampu melakukan peran itu. Namun, tembok tebal yang mengadangnya membuktikan Presiden Jokowi tidak cukup hanya meminta laporan dan terus-menerus menunggu.

Presiden wajib menggunakan kuasanya untuk membantu Polri. Di situlah urgensi perlunya kebijakan pembentukan tim independen kepresidenan untuk membantu polisi mengungkap tuntas kasus Novel Baswedan.

Kita semua, apalagi Presiden Joko Widodo, berutang mata kepada Novel Baswedan agar kasusnya terungkap tuntas. Ini bukan demi diri Novel semata. Bukan juga demi mata fisik Novel saja. Ini justru adalah perjuangan kita untuk melawan setiap upaya teror koruptor yang menutup mata hati kita.

Novel secara pribadi sudah mendekati khatam sebagai pejuang antikorupsi. Meskipun ia tentu gundah, saya yakin Novel sudah cukup ikhlas, bahkan mungkin memaafkan pelaku lapangan terornya.

Novel pun tidak pernah surut takut. Karena—sebagaimana kutipannya yang terkenal—, berani tidak memanjangkan umur, sebagaimana takut tidak memperpendek usia.

Yang lebih memerlukan terungkapnya kasus ini bukan Novel Baswedan pribadi, melainkan kita semua sebagai Indonesia. Kita yang justru berutang mata kepada Novel dan pada perjuangan antikorupsi untuk secara serius dan maksimal mengungkap pelaku utama teror air keras pada Novel.

Sebagai utang, ini adalah tanggung jawab kita untuk membayar lunas pengorbanan Novel yang telah menyerahkan seluruh dedikasi dan perjuangan hidupnya bagi kerja-kerja antikorupsi.

Tentu, tidak berlebihan jika upaya pelunasan utang mata kita kepada Novel ini dipimpin langsung oleh kepala negara, Presiden Jokowi.

Meskipun, membentuk tim independen kepresidenan bukanlah jaminan pelaku teror akan terungkap, karena tim yang sama dengan keterbatasan kewenangan pada  akhirnya tidak mampu mendorong terjeratnya pelaku utama pembunuhan Munir.

Namun, paling tidak, dalam kemandekan kasus Novel saat ini, pembentukan tim independen kepresidenan, dengan kewenangan yang memadai, merupakan langkah awal—bahkan minimal—yang bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menegaskan komitmen pemberantasan korupsinya adalah nyata dan tidak semata retorika.

Tentu, ujung dari tim independen kepresidenan demikian harus juga dipastikan berhasil mengungkap pelaku utama teror air keras Novel. Itu berarti hasil kerjanya tidak boleh hanya menjadi tumpukan kertas rekomendasi yang masuk laci sejarah tanpa tindak lanjut.
Karena itu, tim independen tetap harus mempunyai kewenangan projustitia, tetap terdiri dari penegak hukum gabungan polisi dan KPK yang integritasnya tak terbeli, ditambah tokoh masyarakat yang diposisikan sebagai penasihat—yang masukannya mengikat langkah dan strategi investigasi.

Novel Baswedan akan pulang dari Singapura ke Indonesia, ke KPK, ke rumah antikorupsi kita. Sebagai sahabat dan rumah juangnya, Indonesia tentu tidak boleh mengkhianatinya.

Utang mata fisik novel harus kita bayar lunas dengan membuka mata hati kita untuk terus berjuang tanpa takut, tanpa henti. Sampai pelaku utama teror air keras Novel terungkap dan dipenjara, utang kita belum pernah lunas.

Presiden Jokowi wajib mencicil utang mata hati ini dengan langkah nyata membantu Polri melalui pembentukan tim independen kepresidenan yang diproteksi dan dijamin efektivitas kerjanya.

Kepada Novel Baswedan kita berutang mata fisik dan mata jiwa antikorupsi. Kita Indonesia, tidak boleh mengemplang pembayarannya.

Pilihan Indonesia hanya satu. Indonesia harus lunas membayarnya. Berapa pun harganya, bagaimana pun tantangannya, dan apa pun risikonya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar