Menghadapi
Era Normal Baru
Ida Fajar Priyanto ; Peneliti di Pusat Kajian Informatika
Sosial
dan Pusat Studi Sosial
Asia Tenggara, UGM
|
KOMPAS,
03 Februari
2018
Awalnya lebih merupakan sebuah desepsi—pertumbuhan yang tak
begitu terlihat—yang terjadi pada teknologi informasi: mulai dari komputer
desktop yang banyak digunakan pada 1990-an, disusul dengan laptop dan
kemudian ponsel.
Ponsel di awal memang dimaksudkan sebagai alat untuk menelepon
tanpa kabel, tetapi ponsel berkembang dengan cepat sehingga namanya tetap
ponsel kendati digunakan juga sebagai kamera, mengedit foto, mendengarkan
radio, menonton televisi, dan sebagainya.
Kehadiran internet, ponsel, tablet, dan berbagai aplikasi mobile
dalam kurun waktu tak lebih dari 20 tahun telah mengubah tatanan sosial, baik
disadari maupun tidak. Teknologi informasi (TI) akhirnya secara eksponensial
menghasilkan perubahan besar dalam berbagai bidang dan dimanfaatkan baik oleh
perusahaan, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya dan akhirnya mengubah
tatanan sosial di masyarakat.
Digitalisasi yang terjadi di berbagai sektor, baik untuk
keperluan pribadi, masyarakat, lembaga, maupun nasional dan internasional
telah menghasilkan perubahan signifikan dalam melakukan berbagai aktivitas.
Bahkan, muncul gagasan-gagasan baru dalam berbagai hal dari
penggunaan tablet untuk memilih menu di warung kopi atau restoran sampai
gagasan untuk membangun smart home, smart city, ataupun smart regency. Semua
merupakan akibat dari hadirnya digitalisasi. Bahkan, model surat undangan
cetak yang dikirimkan melalui pos telah bergeser ke ponsel dengan kecepatan
luar biasa dan harga sangat murah. Efisiensi dan kecepatan telah menjadi
standar normal baru bagi masyarakat digital.
Digitalisasi juga menghasilkan transparansi yang nyata. Dalam
aplikasi Uber, Grab, ataupun Go-Jek, pelanggan bisa melihat terlebih dahulu
jalur tercepat sekaligus biaya yang harus dikeluarkan sebelum memesan
transportasi. Dalam hal ini, pelanggan tidak lagi dapat dipermainkan oleh
sopir yang ingin memperlama perjalanan agar biaya yang terpampang di
argometer menjadi lebih besar.
Ekosistem teknologi informasi baru secara berangsur sudah mulai
normal—terutama penggunaan ponsel untuk berbagai keperluan, dari mobile
banking sampai taksi berbasis aplikasi. Dalam waktu dekat tentu e-wallet juga
akan segera merambah Indonesia dan menjadi kebiasaan baru yang akan diterima
masyarakat. Transaksi elektronik dengan menggunakan ponsel akan menjadi hal-hal
yang sangat biasa, selain juga berbagai aktivitas yang akan serba digital.
Perubahan-perubahan besar yang biasa disebut disrupsi—walaupun
pada dasarnya menghasilkan efisiensi—sering kali menimbulkan berbagai
persoalan karena ada dua kelompok masyarakat, yaitu mereka yang sudah sangat
siap menghadapi perubahan dan yang tak bisa mengikuti perubahan, seperti
terjadi pada kasus Go-Jek dan ojek.
Konsumen yang siap mengikuti perubahan dapat menerima kehadiran
Go-Jek dan dianggap sebagai efisiensi dan kemudahan baru. Demikian halnya
pengemudi Go-Jek juga melihat peluang pasar yang baik. Namun, pengemudi ojek
yang tak bisa belajar teknologi baru menganggap itu ancaman atas bisnis
mereka.
Penurunan jumlah konsumen ojek menjadikan pengemudi melihat hal
itu sebagai ancaman yang harus dilawan dan berusaha agar mereka tetap
memiliki pasar dengan menghentikan laju perkembangan teknologi informasi.
Kasus Go-Jek dan ojek adalah salah satu contoh dari krisis teknologi
informasi yang ada dalam sebuah proses menuju era normal baru.
Menyiapkan masyarakat
Konflik antara mereka yang menerima teknologi informasi dan
mereka yang menolak kehadiran teknologi informasi merupakan hal biasa. Namun,
pada dasarnya kejadian itu bisa diantisipasi sebelumnya. Persoalannya karena
payung domain nasional yang kurang visioner.
Regulasi terkait teknologi informasi lebih sering dibuat setelah
adanya kasus-kasus sehingga di masa yang akan datang pun akan terus
menimbulkan persoalan-persoalan baru yang mungkin tidak terantisipasi.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) selalu berhati-hati dalam
melihat apa yang akan terjadi dengan terlebih dahulu menyiapkan perundangan.
Bulan lalu AS telah mengeluarkan perundangan tentang driverless car—mobil
tanpa sopir—sehingga saat mobil-mobil tanpa sopir manusia mulai dijalankan,
tidak akan menimbulkan persoalan baru bagi para sopir karena sudah ada
pasal-pasal yang mengaturnya.
Sudah seharusnya pemerintah melakukan pembangunan terkait TI dan
komunikasi dengan menyiapkan domain nasional dari sisi seperti kebijakan,
regulasi, dan UU yang mungkin harus disruptif dan futuristik untuk
mengantisipasi apa yang akan terjadi saat aplikasi teknologi informasi mulai
digunakan oleh masyarakat.
Pengembangan-pengembangan yang tak disruptif, seperti pembayaran
tol yang menggunakan kartu e-toll, bukannya langsung menggunakan electronic
road pricing (ERP) system, akhirnya tetap saja menghasilkan penumpukan
antrean yang cukup panjang karena setiap pengemudi perlu waktu untuk
menghentikan mobil, membuka jendela, mengeluarkan kartu e-toll, dan kemudian
menempelkan ke mesin, setelah itu menjalankan kembali mobil setelah pintu tol
terbuka.
Dari aspek sosial dan psikologi, masyarakat harus terus dididik
menggunakan berbagai aplikasi secara aman, terkendali, dan efisien. Pendidikan
terkait perilaku digital, seperti informatika sosial dan perilaku informasi,
perlu dikembangkan di Indonesia guna mempelajari kaitan antara teknologi,
manusia, dan informasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar