Implikasi
Penetapan PTN-BH
sebagai
Pengusaha Kena Pajak
Didi Achjari ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada
|
KOMPAS,
03 Februari
2018
Di akhir 2017, perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH)
dapat ”kado” dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Pada 15 November 2017 telah terbit Surat Edaran (SE) Dirjen
Pajak No 34/PJ/2017 tentang Penegasan Perlakuan Perpajakan bagi PTN-BH.
Dengan adanya SE ini, PTN-BH ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Tulisan ini bermaksud memaparkan latar belakang dan implikasi SE tersebut.
Melalui UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No
26/2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN- BH, maka pemerintah
memberi otonomi keuangan dan lain-lain kepada PTN-BH. Wujud otonomi keuangan
tersebut, antara lain, adalah untuk mendapatkan dana melalui kegiatan usaha,
mengelola dana dan membiayai kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi dengan cara
yang sesuai dengan konteks PTN-BH.
Ternyata otonomi tersebut bisa menimbulkan salah persepsi. Ada
persepsi bahwa otonomi itu komersialisasi, atau swastanisasi PTN, atau
disamakan dengan BUMN. Persepsi tersebut tentu saja tidak benar. UU No
12/2012 memastikan negara tetap hadir di PTN-BH.
PTN-BH adalah lembaga pemerintah jenis baru yang memiliki
keunikan. Asetnya dipisahkan (kecuali tanah yang tetap dimiliki negara),
tetapi memiliki otonomi ala swasta. PTN-BH banyak menghadapi ruang hukum yang
kosong dalam menjalani mandatnya.
Oleh karena itu, harus diusahakan agar keberadaannya bisa
diakomodasi di berbagai peraturan yang terkait, seperti kepegawaian,
penganggaran, pengadaan barang dan jasa, aset dan perpajakan. Hal ini tentu
tidak mudah karena penyesuaian peraturan itu tidak selalu ada dalam
kewenangan Kemristek dan Dikti. Ketika PTN-BH menghadapi ruang kosong
legalitas, kadang terpaksa dimasukkan dalam peraturan yang ada walau belum
tentu sesuai.
SE No 34/PJ/2017 bisa jadi adalah salah satu implikasi dari
ruang hukum yang kosong. Karena PTN-BH punya aset dari pemerintah yang
dipisahkan, bisa mendapatkan dana dari usaha dan mengelola dana secara otonom
yang mirip dengan BUMN, maka ruang hukum perpajakan yang ”paling pas” yang
ada saat ini adalah PKP. Walau secara filosofi tidak tepat karena PTN bukan
pengusaha, tampaknya lebih mudah dan cepat untuk ”menyamakan” PTN-BH sebagai
PKP daripada menyesuaikan peraturan perpajakan agar memperlakukan PTN-BH
tetap sebagai lembaga pemerintah.
Mengapa PTN-BH ditetapkan sebagai PKP? Hal ini karena PTN-BH
dianggap tak termasuk badan pemerintah yang dikecualikan dari pengenaan pajak
penghasilan. Sesuai UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 2 Ayat (3a)
Huruf b, ada empat syarat untuk bisa dikecualikan. PTN-BH dianggap tidak
memenuhi syarat yang ketiga, yaitu penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Sesuai PP No 26/2015, Pasal 4 Ayat 3
dan Pasal 11 Ayat 3, menyatakan penerimaan PTN-BH baik yang bersumber dari
pemerintah maupun sumber lain bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) sehingga tidak masuk dalam APBN.
Buah simalakama
Kondisi PTN-BH sebagai lembaga pemerintah tetapi tetap otonom
jadi buah simalakama. Mengacu otonomi yang ada di UU Pendidikan Tinggi, maka
Ditjen Pajak akan menetapkan sebagai PKP. Namun, kalau mau mengikuti UU Pajak
Penghasilan, di mana penerimaan PTN-BH dimasukkan ke APBN, PTN-BH akan
kehilangan otonominya.
SE Dirjen Pajak tersebut berpotensi tak sesuai UU Pendidikan
Tinggi, khususnya Pasal 63 (c) yang menyatakan bahwa ”otonomi pengelolaan
Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba”. Selanjutnya, ayat
penjelasan Pasal 63 secara tegas menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ’prinsip
nirlaba’ adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba,
sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke
perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan”.
Pengenaan pajak atas sisa lebih dari kegiatan PTN-BH tidak
selaras dengan pasal tersebut karena menganggap sisa lebih seperti laba.
Walau dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 80/PMK.03/2009 ada
pengecualian dari obyek pajak penghasilan, tetapi sisa lebih akan tetap
dikenai pajak penghasilan kalau tidak dipakai dalam waktu empat tahun. Kalau dicermati,
PMK tersebut kurang sesuai untuk bentuk investasi PT yang merupakan lembaga
ilmu pengetahuan. Investasi di perguruan tinggi tidak hanya bersifat fisik
dalam bentuk sarana dan prasarana, tetapi juga nonfisik, seperti pengembangan
sumber daya manusia dosen dan peneliti.
SE Dirjen Pajak tersebut juga berpotensi negatif terhadap minat
untuk jadi PTN-BH. Selama ini PTN-BH tidak terkena pajak jika belum bisa
memanfaatkan sisa lebih anggaran. Selain itu, SE tersebut bisa berdampak
terhadap perilaku PTN-BH dalam mengelola dana. Selama ini PTN-BH mencari dana
untuk, antara lain, belanja modal karena dana belanja modal dari pemerintah
sangat terbatas.
Faktor lain yang berpotensi menurunkan minat menjadi PTN-BH
adalah Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21) dosen dan tenaga kependidikan. SE
tersebut berimplikasi bahwa penghasilan dosen dan tenaga kependidikan di
PTN-BH tidak lagi final. Selama ini pendapatan para dosen dan tenaga
kependidikan di PTN-BH mengikuti peraturan perpajakan seperti PNS di lembaga
pemerintah lain. Pajak penghasilan yang tidak lagi final itu berpotensi
menurunkan penghasilan riil tenaga kependidikan dan dosen.
Walaupun banyak potensi implikasi negatif, ada sisi positif
penetapan PTN-BH sebagai PKP. Sebagai PKP, PTN-BH bisa mengeluarkan faktur
pajak untuk mitranya. Kebutuhan akan faktur pajak ini karena PTN-BH bisa
melakukan kegiatan usaha sebagai salah satu sumber penerimaan.
Akhirnya, mengenakan peraturan yang kurang tepat untuk PTN-BH
bisa berdampak negatif terhadap keberhasilan pencapaian target kinerja dan
misinya. Pemerintah perlu berhati-hati dan mempertimbangkan kembali SE
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar