Arus
Balik Literasi Keindonesiaan
Munawir Aziz ; Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama;
Penulis buku Merawat
Kebinekaan (2018)
|
DETIKNEWS,
02 Februari
2018
Jantung keindonesiaan kita sering tertusuk-tusuk duri kebencian.
Kontestasi ideologi menjadikan narasi kebangsaan kita, berpusar pada arus
perdebatan tak kunjung henti mengenai fondasi kenegaraan sekaligus masa depan
keindonesiaan. Perdebatan tentang dasar negara, sering menyeret pertemanan
dan persaudaraan pada gelombang kebencian yang semakin mengkhawatirkan.
Padahal, Pancasila dengan segenap nilai-nilai utamanya, telah dirumuskan
founding fathers negeri ini, dalam pikiran jernih dan renungan mendalam yang
terangkum pada suasana perdebatan kebangsaan yang sehat.
Sementara, pada akhir-akhir ini, perdebatan-perdebatan tentang
sistem negara dan arah masa depan bangsa membelah komunitas-komunitas,
persaudaraan dan pertemanan lintas etnis-agama, dalam kelompok-kelompok kecil
yang berbeda pandangan. Perdebatan ini melenggang tanpa upaya serius
menziarahi gagasan yang diwariskan Sukarno, Moh. Hatta, Kiai Hasyim Asy'ari,
Kiai Ahmad Dahlan, Sjahrir, Tan Malaka, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan sederet pemikir-pejuang negeri ini.
Literasi keindonesiaan dan kebangsaan kita sangat minim
menyegarkan gagasan anak bangsa. Infrastruktur literasi keindonesiaan harus
mampu menembus perkembangan teknologi, sekaligus melampaui sekat geografis.
Meski pemerintah secara serius berusaha mengatasi jurang menganga dalam
infrastruktur literasi kita, perlu ada upaya yang konsisten dan keberpihakan
untuk mendorong kualitas literasi keindonesiaan.
Fakta yang muncul di permukaan, bangsa Indonesia merupakan
bangsa besar dengan warisan peradaban agung, namun miskin dalam transformasi
literasi modern. Tradisi kisah, dongeng, tambo dan sejenisnya, yang menyimpan
khazanah kebudayaan serta imajinasi kebinekaan, bergeser menjadi gunjingan
serta fitnah yang tumpah. Padahal, kita punya tradisi tepa selira yang
berakar dari khazanah Nusantara, serta tabayyun dari tradisi agama.
Perkembangan teknologi dan inovasi media sosial belum mampu menjadi jembatan
komunikasi lintas etnis dan agama dalam nuansa keindonesiaan yang segar.
Literasi keindonesiaan kita membutuhkan sentuhan bersama. Data
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
pada 2016, di lingkup dunia ada sekitar 263 juta anak putus sekolah yang
minim kemampuan literasi dasar. Dari lanskap global, indeks literasi warga
Indonesia berada pada anak tangga bawah. Data statistik dari UNESCO,
Indonesia berada di peringkat 60 dari total 61 negara, yang berada dalam
indeks literasi internasional. Negeri ini berada pada tingkat literasi
rendah, di bawah peringkat negara-negara Asia Tenggara dan satu peringkat di
atas Botswana.
Riset yang diselenggarakan oleh Programme for International
Student Assessment (PISA) masih menunjukkan rendahnya minat baca warga negeri
ini. Dari laporan PISA, indeks literasi membaca hanya naik satu poin, dari
396 pada 2012 menjadi 397 pada laporan 2015. Pada 2012, Indonesia mendapat
skor 396, dengan peringkat 60 dari 65 negara, pada kategori membaca. Skor
rata-rata internasional PISA, dalam kemampuan membaca, yang mencakup
memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan, pada angka
500. Sementara, pada indeks literasi sains dan matematika, naik cukup
signifikan: 382 poin (2012) menjadi 403 poin (2015), serta 375 poin pada
2012, naik 11 poin menjadi 386 pada 2015 lalu.
Selain percepatan infrastruktur fisik, peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia juga harus diutamakan. Percepatan pembangunan
fasilitas umum sangat penting untuk melancarkan denyut nadi ekonomi kita.
Tapi, mencipta sumber daya manusia yang unggul juga harus menjadi prioritas.
Menggenjot infrastruktur tanpa membangun intelektualitas dan jiwa bangsa,
ibaratnya hanya membangun gedung pencakar langit tanpa penghuni.
Data riset United Nations Development Programme (UNDP) mengungkap
tingkat pendidikan berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
yang masih perlu dorongan percepatan. Laporan UNDP dalam Human Development
Report (2016), Indeks Pembangunan Manusia negeri ini berada pada peringkat
113 dari 188, yang turun tiga tingkat dari posisi 110 pada 2014. Apa yang
terjadi di Asmat, Papua menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.
Literasi Keagamaan
Selain literasi keindonesiaan yang masih terus membutuhkan
dorongan kebijakan, ada satu ceruk literasi yang mengkhawatirkan: literasi
keagamaan (religious literacy). Dalam beberapa tahun terakhir, agama menjadi
medan kontestasi isu serta pertempuran narasi keindonesiaan. Peta persaingan
politik dan kepemimpinan, menempatkan agama sebagai instrumen adu kekuatan.
Sementara, komunikasi internal dan antarkomunitas agama terjebak pada
instrumen persaingan politik.
Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dipublikasi
pada akhir 2017 lalu mengungkap alarm bagi kebhinekaan dan keindonesiaan
kita. Survei ini merilis narasi kebencian yang demikian bergelombang dalam
denyut nadi. Peneliti PPIM mewawancara guru PAI (Pendidikan Agama Islam),
dosen PAI, siswa serta mahasiswa di seluruh Indonesia. Survei ini melibatkan
2181 responden dari 35 provinsi, 68 kabupaten/kota, terdiri dari 264 guru, 58
dosen, 1522 siswa dan 337 mahasiswa.
Dari survei ini, teknologi digital dan media sosial menjadi
instrumen penting persebaran informasi. Sebanyak 54,87 persen generasi
milenial mengakui bahwa sumber pengetahuan agama mereka dari internet dan
media sosial. Pendidikan agama, tidak hanya bersumber dari pendidikan formal
di sekolah dan universitas, namun juga dari ustaz-ulama yang memiliki akun
interaktif di media sosial.
Narasi yang terbangun dalam lanskap keagamaan, terungkap betapa
kebencian tersebar tanpa didasari pemahaman komprehensif atas liyan. Sebanyak
64,66 persen guru dan dosen memandang Ahmadiyah sebagai aliran Islam yang
dibenci. Sementara, Syiah berada pada peringkat kedua sebagai aliran yang
tidak disukai, pada skor 55,6 persen. Pada sisi lain, 44,72 persen guru dan
dosen tidak setuju jika pemerintah melindungi Syiah dan Ahmadiyah.
Pada lingkaran siswa dan mahasiswa, pendidikan agama menjadi
pintu masuk memahami keragaman dan cara pandang mereka terhadapa perbedaan.
Ironisnya, sebanyak 48,95 persen responden menyebut bahwa pendidikan agama
mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Sementara,
58,5 persen responden siswa dan mahasiswa memiliki cara pandang keagamaan
yang radikal.
Data ini menunjukkan gejala serius yang tidak bisa dianggap
remeh. Dalam satu abad terakhir, kita mundur beberapa langkah dalam konteks
literasi keagamaan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama
Nusantara memiliki jaringan intelektual sekaligus persebaran literasi yang
menembus batas geografis. Ribuan karya kiai-kiai dicetak oleh bermacam
penerbit di Singapura, Mumbai (India) hingga Mesir dan Haramain. Karya-karya
keagamaan ini menjadi rujukan penting bagi lingkaran akademis pada masa itu.
Fatwa-fatwa ulama penuh nuansa menghargai perbedaan dan memayungi keragaman.
Sementara, pada akhir-akhir ini, literasi keagamaan terjangkiti
kanker kronis berupa ketidaksanggupan memahami perbedaan. Napas-napas
sebagian dari kita seolah tersengal ketika melihat sedikit saja perbedaan
pandangan dan keyakinan. Warga Indonesia perlu oksigen penyegaran dari
literasi keagamaan yang menghargai kebhinekaan, memandang perbedaan perbedaan
(khilafiyyah) sebagai rahmah. Kita membutuhkan penyegaran literasi keagamaan
sekaligus literasi keindonesiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar