Minggu, 27 Agustus 2023

 

Marthen Indey dan Keluarganya (Kisah Marthen Indey yang Pernah Jadi Mata-mata Belanda)

Aisha Shaidra :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 13 Agustus 2023

 

 

                                                           

THAHA Alhamid masih ingat pertemuannya dengan Marthen Indey pada akhir 1970-an saat menjadi mahasiswa semester III Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura. Thaha bersama delapan kawannya menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer dari Kecamatan Muara Tami, Kota Jayapura, ke Distrik Sentani Barat, tempat Marthen tinggal. “Saat itu beliau sudah sepuh dan sering sakit-sakitan,” kata Thaha, yang kini berusia 64 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Desa Entrop, Kelurahan Jayapura Selatan, Juli lalu.

Para mahasiswa itu menemui Marthen untuk menggali kisahnya saat berjuang melawan Belanda. Menurut Thaha, para mahasiswa merasa perlu bertemu langsung dengan Marthen ketimbang membaca atau mendengar kisahnya dari orang lain. Meski sedang sakit, Marthen saat itu terlihat senang dikunjungi mahasiswa. Bahkan Marthen meminta mereka datang lagi. Walhasil, Thaha dan kawan-kawannya berkunjung hingga tiga kali, yaitu pada 1979, 1980, dan 1981 atau lima tahun sebelum Marthen wafat pada 1986. “Dia mau bercerita apa adanya, tak menganggap kami anak kecil.”

 

Thaha saat itu tercatat sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam di Universitas Cenderawasih. Ia penasaran seperti apa kisah Papua sampai mau menjadi bagian dari Indonesia. Dari cerita Marthen, Thaha mendapat gambaran tentang kiprah pemuda Papua yang ikut mendorong integrasi dengan Indonesia. Kepada Thaha, Marthen menyebutkan alasan Papua harus bergabung dengan Indonesia. “Mereka percaya Papua bisa mulai merdeka melalui Indonesia,” ucap Thaha.

 

Di era Thaha, Marthen Indey sudah menjadi sosok kontroversial. Bagi mereka yang ingin Papua merdeka penuh, Marthen adalah tokoh antagonis. Sebaliknya, mereka yang menganggap Papua harus menjadi bagian Indonesia melihat Marthen bak seorang bahadur yang suaranya layak didengar dan pengalamannya bisa menjadi pelajaran.

 

Kisah Marthen memang cukup berwarna. Dia bekerja sebagai polisi Hindia Belanda pada 1934 dan pernah menjadi jasus atau opsir yang mahir dalam spionase. Marthen yang kemudian terlibat gerakan melawan Belanda diangkat sebagai anggota Komite Indonesia Merdeka pada 1946. Di bidang politik, dia menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan di New York, Amerika Serikat, pada 1962 dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1963-1968. Ia mewakili Papua yang saat itu bernama Irian Jaya.

 

Marthen memperistri perempuan asal Maluku bernama Agustina Heumassey yang sempat melahirkan seorang anak yang wafat sebelum punya nama. Dia yang tak lagi dikaruniai buah hati kemudian mengadopsi banyak anak angkat. Satu di antaranya tercatat sebagai pemilik hak waris, yakni Nikodemus Risakotta.

 

Nikodemus menjelaskan, Marthen tak lama menjadi anggota MPRS dan pulang dari Jakarta ke Papua. Dia menarik diri dari dunia politik karena lelah dan marah. Salah satunya karena Marthen menilai pemerintah abai mengurus Papua dan banyak hal yang dicaplok oleh segelintir elite.

 

Sejauh ingatan Nikodemus, menjelang akhir hayatnya, Marthen masih suka menerima tamu dan menasihati sejumlah tokoh dan calon gubernur. Ada banyak tamu yang datang ke rumah Marthen di Sentani. “Mereka datang membawa beras dan ikan. Pejabat semua itu. Banyak yang berhasil,” ujarnya pada pertengahan Juli lalu.

 

Tapi berbeda dengan sikapnya yang terbuka kepada mahasiswa dan para tokoh, Marthen Indey tak terlalu banyak bercerita ihwal pekerjaaannya kepada keluarga. Menurut Nikodemus, Marthen lebih suka mengajari anak-anak angkatnya cara bertani. “Tidak pernah banyak cerita, hanya sebatas nasihat,” katanya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169435/marthen-indey-dan-keluarganya

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar