Minggu, 13 Agustus 2023

Mentalitas Bangsa dan Pembangunan Menuju Indonesia Emas

Martani Huseini :Guru Besar Ketua Center for Innovative Governance (CIGO) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

KOMPAS, 12 Agustus 2023

 

 

                                                           

Antropolog Indonesia, Profesor Koentjaraningrat, sebelum meninggal pada 1999 telah mengingatkan kita bahwa kelemahan mentalitas yang bisa menghambat percepatan pembangunan bangsa Indonesia adalah mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas, sifat tidak bisa percaya diri sendiri, sifat tidak disiplin, sifat tidak bertanggung jawab. Peringatan ini sudah disampaikan dalam tulisan dan berbagai ceramah di kampus Universitas Indonesia jauh sebelum era digitalisasi dan era industrialisasi 4.0.

 

Ironisnya, peringatan Koentjaraningrat justru banyak yang dilanggar di kampus pula. Tengoklah halaman parkir di gedung rektorat dipenuhi reservasi untuk para pejabatnya sehingga layanan parkir umum yang ramah untuk tamu diabaikan, termasuk penyediaan lift khusus yang eksklusif. Bahkan, para pejabat dilengkapi mobil patroli khusus dengan warna seperti mobil Polri, tetapi menggunakan plat merah. Perlakuan eksklusif ini tidak hanya terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi negeri, tetapi juga diberlakukan di kementerian-kementerian dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

 

Pelat nomor mobil khusus yang dilengkapi strobo dan rotator semakin marak digunakan oleh para pejabat legislatif, TNI, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya. Padahal, Presiden Jokowi sudah memberi contoh agar tidak ada eksklusivisme, perlakuan khusus yang berlebihan dalam pengawalan. Bahkan, di beberapa negara Uni Eropa, seperti Belanda, Denmark, dan Norwegia, para pejabatnya termasuk perdana menteri dan presiden sering menggunakan sepeda ontel untuk menuju ke kantornya, walaupun tetap dalam penjagaan keamanan yang efisien.

 

Jika mentalitas eksklusif terus dibiarkan, mentalitas feodalisme akan seiring berkembang biak sehingga para pejabat yang melakukan perjalanan dinas selalu harus dikawal dan dilayani oleh staf yang khusus mengurus tiket perjalanan, membawakan tas, dan lain sebagainya. Dampaknya, biaya perjalanan dinas para pejabat makin boros dan menggerogoti anggaran APBN.

 

Peristiwa lain yang menyedihkan para cendekiawan Indonesia adalah pemberian gelar profesor kehormatan, doktor honoris causa oleh kampus-kampus di Indonesia dan di mancanegara. Pemberian gelar semacam ini, apabila tidak ditertibkan, mentalitas feodalisme semakin tertanam kuat dan merusak mental bangsa.

 

Padahal, di negara Uni Eropa, pengalaman penulis sewaktu menimba ilmu di Perancis, sebutan profesor adalah gelar seorang guru di sekolah apakah di tingkat SD, SLTP, SLTA, ataupun perguruan tinggi. Pemanggilan prof (profesor) hanya diucapkan di dalam kelas maupun acara intern lembaga. Selebihnya digunakan pemanggilan yang wajar di masyarakat.

 

Fakta dan kejadian semacam contoh-contoh di atas semakin meresahkan masyarakat karena memberikan peluang tumbuh berkembangnya eksklusivisme dan feodalisme yang semu.

 

Ajaran Ki Hadjar Dewantara

 

Bangsa Indonesia perlu belajar sejarah dan bagaimana tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang memberi contoh suri teladan dalam membangun fondasi budaya bangsa jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Ki Hadjar Dewantara mendirikan dan memimpin Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 sudah banyak diketahui masyarakat. Namun, belum banyak orang yang mengetahui bahwa Ki Hadjar adalah putra bangsawan Pakualam Yogyakarta yang di masa kecilnya, selain mengenyam pendidikan di sekolah dasar, juga belajar di pesantren sehingga basis ilmu keagamaannya sangat kuat.

 

Dengan latar belakang seorang anak bangsawan, Ki Hadjar memiliki kesempatan belajar hingga ke jenjang HBS (Hogere Burgerschool), sekolah menengah umum untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, dan elite pribumi yang didirikan pada 1863. Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Ki Hajar akhirnya melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi sekolah kedokteran STOVIA untuk kaum pribumi yang didirikan pada 1851, cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

 

Karena jiwa pejuang yang egalitarian, Ki Hadjar pada masa remajanya sudah berbaur dengan masyarakat dan meninggalkan status kebangsawanannya. Yang semula nama dan gelar lengkap tercantum Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, diubahnya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ki sebutan gelar setara Mr. Bahkan, cara berpakaiannya unik, memakai kopiah hitam, baju polos dilapisi jas, tetapi memakai sarung dan alas sepatu sandal hitam.

 

Tampilan (appearance) pakaian dan gelar resmi secara tidak langsung Ki Hadjar Dewantara memberikan teladan pendidikan egalitarian yang dibutuhkan masyarakat Indonesia masa kini.

 

Ki Hadjar Dewantara mencetuskan konsep trikon dan trisentra. Konsep trikon sebenarnya mengacu kepada ajaran budaya organisasi. Tidak menafikan penularan pengaruh budaya dari luar (KONvergensi) yang tidak bisa kita tolak karena terus menerus (KONtinu) akan memasuki ranah peradaban budaya kita, tetapi kita harus memperkuat identitas warga bangsa yang unggul harus dipilih. Makanya, menengok tampilan pakaian Ki Hadjar ada unsur Barat-nya (jas), ada akulturasi budaya dengan unsur sarung dan kopiah yang merupakan budaya lokal simbol pakaian khas Indonesia.

 

Adapun konsep trisentra adalah suatu proses pembentukan fondasi budaya yang baku dan kekal harus dibentuk dari rumah, sekolah, dan masyarakat. Mudah diucapkan, tetapi sulit untuk diwujudkan, terutama proses sinkronisasi antara trikon dan trisentra. Ki Hadjar sudah memberikan contoh suri teladan kehidupan di keluarganya yang meniadakan gelar kebangsawanan lainnya.

 

Fondasi bangsa

 

Saat menjabat Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan di Kementerian Perikanan dan Kelautan pada 2007, saat berkunjung ke kota Seoul, penulis terperangah melihat pejabat eselon satu di Korea Selatan menyetir sendiri mobil dinasnya dan tidak disediakan tempat parkir khusus yang eksklusif. Ini juga menjadi pelajaran yang menarik buat referensi pembanding. Kita juga dapat belajar dari Singapura dan China yang sudah melompat jauh menjadi negara maju yang terkait dengan penataan kultur birokrasi dan kemajuan peradabannya.

 

Tata kelola dinamis dijelaskan ilmuwan Singapura Neo Boon Siong dan Chen Geraldine, penulis buku Dynamic Governance; Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore (2007). Referensi buku ini menarik untuk dirujuk sebagai bekal untuk dapat menaikkan peringkat Indonesia menjadi negara maju. Apalagi, Indonesia masih memiliki peluang dapat memanfaatkan bonus demografi.

 

Kesiapan (readiness) agar Indonesia siap menjadi negara maju, kata Jim collins penulis buku Good to Great, harus memiliki mentalitas 3D (tiga disiplin). Artinya, untuk menaikkan peringkat dari tingkat sudah bagus menjadi lebih unggul lagi harus memiliki perilaku discipline people, discipline action, discipline thought (rajin berinovasi). Fondasi budaya termasuk sikap 3D yang dijadikan tumpuan bangunan model tata kelola dinamis, inilah yang oleh pakar manajemen dari Singapura perlu ditanamkan sejak dini.

 

Di keluarga, sekolah, dan masyarakat seperti yang telah ditanamkan oleh Ki Hadjar Dewantara sejak dahulu tentang sinkronisasi azas trikon dan tripusat. Apalagi, jika kita mewaspadai peringatan pakar antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, bahwa mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat yang tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan sifat tidak bertanggung jawab (selalu mencari kambing hitam) bisa dihindari.

 

Seandainya semua peringatan yang disebutkan di atas oleh para pakar dapat dipenuhi, tata kelola dinamis seperti yang digambarkan Neo dan Chen, untuk pembangunan NKRI baru yang dinamis untuk semua tingkatan pemerintahan bisa merespons lingkungan yang tidak menentu dan disruptif. Artinya, lingkungan yang bergerak cepat, penuh ketidakpastian, sangat kompleks, dan sulit diduga kapan datangnya serta sangat mudah berubah.

 

Oleh karena itu, kita harus menyiapkan sistem pendidikan yang merata dan bermutu sejak dini agar Indonesia benar-benar siap memasuki babak Indonesia Emas di tahun 2045..

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/10/mentalitas-bangsa-dan-pembangunan-menuju-indonesia-emas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar