Minggu, 27 Agustus 2023

 

El Nino Krisi Pangan

Khairul Anam :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

NURKILAH bersyukur tidak jadi menanam padi pada Mei-Juni lalu. Sebab, dia tak mau berjudi lantaran pada musim tanam kedua itu akan ada gejala El Niño, kekeringan panjang yang bisa berujung pada gagal panen padi. Pria berambut kelabu itu paham, jika tetap menanam padi di tengah ancaman El Niño, sama saja dia menjemput kebangkrutan. “Daripada buang modal dan hasil panen enggak maksimal, mending tidak usah tanam,” katanya pada Jumat, 18 Agustus lalu.

 

Beruntung, Nurkilah, yang menjabat Ketua Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu, Jawa Barat, sempat sedikit mempelajari ilmu agrometeorologi. Dia tahu apa yang harus dilakukan setelah muncul peringatan dari Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) tentang fenomena El Niño yang akan terjadi di Indonesia pada 2023. Tapi Nurkilah agak menyesal karena tak bisa mempengaruhi tetangganya, para petani di Desa Pekandangan Jaya, Indramayu, yang tetap menanam padi. “Saya pendatang di sini,” tutur Nurkilah, yang berasal dari Desa Nunuk yang berjarak 24 kilometer dari Pekandangan Jaya.

 

Di kampung asalnya, Nurkilah mengaku sudah menularkan pengetahuannya tentang agrometeorologi. Petani di sana pun sadar untuk tak menanam padi saat terjadi El Niño jika tak punya jaringan irigasi dari waduk yang menjamin pasokan air buat sawah mereka. Kini, di tempat tinggal barunya, saban hari Nurkilah menerima keluhan petani yang menderita gagal panen. Selain mengalami kekeringan, padi mereka dimakan tikus yang biasa menyerang sawah pada musim kemarau panjang.

 

Selain di Pekandangan Jaya, Nurkilah menyebutkan beberapa desa di Indramayu menderita gagal panen atau minim hasil, yaitu di Kecamatan Gabus Wetan dan Cikedung. Area tanam padi di dua daerah itu adalah sawah tadah hujan dan hanya dilengkapi irigasi setengah teknis. “Tikus makin gila kalau sawah awalnya kering atau hanya sedikit diairi. Cikedung dan Gabus Wetan nasibnya seperti itu sekarang.” 

 

Gagal panen di Indramayu tentu mengkhawatirkan karena daerah itu adalah penghasil beras terbesar di Indonesia. Jumlah produksi beras dari pesisir pantai utara Jawa itu mencapai 1,3 juta ton pada 2021 dan 1,499 juta ton pada 2022. Laporan gagal panen padi seperti yang dikisahkan Nurkilah menjadi ancaman bagi keamanan cadangan pangan nasional. Apalagi, menurut BMKG, El Niño belum mencapai titik puncaknya di bulan ini.

 

Pada Maret lalu, BMKG memperkirakan 50-60 persen El Niño akan terjadi pada semester kedua. Hasil pemantauan BMKG dalam sepuluh hari terakhir Juli lalu menunjukkan intensitas El Niño menguat sejak awal bulan itu. BMKG lalu meramalkan puncak El Niño akan terjadi pada Agustus-September. Kemarau tahun ini akan lebih kering dari biasanya dan lebih gersang dibanding tiga tahun lalu, saat terakhir kali Indonesia menghadapi El Niño.

 

El Niño adalah fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu berkurangnya curah hujan di Indonesia. Pendek kata, fenomena cuaca ini menyulut kekeringan panjang. Beberapa daerah yang bakal mengalami kekeringan parah adalah Jawa, Sumatera bagian selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Di tengah kondisi ini, ada ancaman gagal panen pada tanaman pangan seperti padi.

 

Saat stok beras berkurang, biasanya impor menjadi opsi. Tidak berbeda dengan kali ini. Pemasok beras terbesar dunia, India, telah melarang ekspor demi mengamankan stok di tengah ancaman El Niño. Larangan ekspor India akan memaksa importir tradisional mereka, negara-negara di Afrika, mencari sumber beras lain seperti Thailand dan Vietnam. Padahal dua negara ini menjadi pemasok untuk Indonesia dan beberapa negara lain. Perebutan stok antarnegara bakal memicu kenaikan harga beras dunia. 

 

Di sisi lain, Kementerian Pertanian mempercepat musim tanam ketiga pada Juli dan Agustus untuk menghindari El Niño. Strategi ini belum tentu berhasil dan justru mengundang hama tikus berdatangan. Di tengah ancaman gagal panen massal, harga beras lokal sudah merangkak. Masa paceklik pun membayang di depan mata.

 

•••

 

SEJAK awal Juli lalu, Yimmy Stephanoes tak lagi memasok beras ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. Pemilik PT Surya Pangan Semesta dan CV Sumber Pangan itu biasanya mengirim 150 ton beras setiap hari ke Jakarta selama lima hari, nonstop. “Tapi sekarang gabah sudah tidak ada. Diproses pun malah rugi,” ucap Yimmy kepada Tempo pada Selasa, 15 Agustus lalu.

 

Sejak awal Juli itu, harga gabah setiap hari naik Rp 50-100 per kilogram. Kini tiba-tiba saja pasokannya seret. Pabrik beras besar seperti kepunyaan PT Wilmar Padi Indonesia; penggilingan skala menengah seperti milik Yimmy di Kediri, Jawa Timur; hingga pemroses padi skala terkecil berebut gabah dan menawarkan harga tertinggi kepada petani. Menurut Yimmy, pada awal Juli, harga gabah petani Rp 5.800 per kilogram. Pada pertengahan Agustus, harganya sudah melejit hingga di atas Rp 7.000. "Biasanya harga naik mulai September, tapi kali ini sejak Juli,” ujarnya.

 

Yimmy pun berhenti memasok beras ke Cipinang tiga pekan terakhir. Tingkat kenaikan harga beras, dia menambahkan, hanya 7 persen, sementara harga gabah yang menjadi bahan dasarnya sudah melonjak 17 persen. Angka itu jelas tak masuk hitungannya.

 

Produsen lain yang berjualan beras premium juga undur diri dari pasar. Harga jual mereka ke distributor sudah sama dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 13.900 per kilogram di zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi). Para pemasok beras merasa lebih baik menarik dagangan mereka daripada ditangkap Satuan Tugas Pangan karena memasang harga di atas HET. 

 

Gara-gara kondisi ini, Yimmy mengurangi kapasitas produksi di pabriknya. "Kini hanya 65 persen dari kapasitas maksimal," tuturnya. Sama halnya dengan pabrik Yimmy, produksi pabrik penggilingan padi milik Nellys Soekidi di Ngawi, Jawa Timur, berkurang. “Yang penting masih bisa menggiling,” kata Nellys, yang menjabat Ketua Persatuan Pedagang dan Penggilingan Padi DKI Jakarta, ketika ditemui di tokonya di Cipinang pada Rabu, 16 Agustus lalu.

 

Pasar Induk Cipinang adalah barometer beras nasional. Apa yang terjadi di Cipinang mewakili yang terjadi di Indonesia. Per 17 Agustus 2023, stok beras di Cipinang hanya 24.426 ton, turun 3 persen dari bulan sebelumnya. Angka ini juga anjlok jika dibandingkan dengan stok Agustus 2022 yang mencapai 37.120 ton serta Agustus 2021 yang sebanyak 37.520 ton.

 

Menipisnya stok beras lantas mengerek harga. Harga grosir beras IR di Cipinang per 17 Agustus 2023 mencapai Rp 12.246 per kilogram, naik tajam dibanding pada Agustus 2022 yang sebesar Rp 10.006 per kilogram dan Rp 9.570 pada Agustus 2021. 

 

Turunnya jumlah pasokan beras di Cipinang selaras dengan hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan produksi beras tahun ini bakal turun. Hitungan BPS dengan metode kerangka sampel area amatan per 28 Juli 2023 mendapati jumlah produksi beras Januari-September 2023 turun 1,99 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan paling kentara terjadi dalam panen raya Maret-April lalu. Jumlah produksi pada dua bulan itu hanya 8,72 juta ton, anjlok di bawah tahun sebelumnya yang sebesar 9,94 juta ton. Kondisi ini berkebalikan dengan angka konsumsi beras tahun ini yang diramalkan naik 1,15 persen.

 

Pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Dwi Andreas Santosa, mengatakan tingkat penurunan produksi beras nasional tahun ini maksimal sebesar 5 persen atau 1,5 juta ton beras. Andreas mengaku setiap menit mendapat laporan dari jaringan petani di seluruh daerah. “Sampai 45 persen penurunan produksinya. Tapi itu hanya wilayah yang kena kekeringan,” ujarnya. Sama seperti pengakuan Nurkilah di Indramayu, kekeringan yang dialami petani menurut Andreas hanya terjadi di sawah tanpa irigasi teknis.

 

•••

 

SELAIN El Niño, perubahan iklim bumi mempengaruhi musim kering kali ini. Perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan di wilayah Indonesia. Itu yang terekam dalam laporan “Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Produk Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta)” yang disusun para peneliti BMKG, Kementerian Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, IPB, serta Piarea Institute.

 

Laporan yang diterbitkan Piarea Institute ini menyebutkan, pada 1991-2010, peningkatan suhu udara di berbagai daerah Indonesia mencapai 0,01-0,06 derajat Celsius dengan rata-rata kenaikan 0,03 derajat Celsius per tahun. Selama 30 tahun, suhu di Indonesia meningkat 0,9 derajat Celsius. Pada 1971-2010, curah hujan di beberapa daerah berkurang tajam. Perubahan pola, intensitas, dan waktu hujan berdampak pada produksi pertanian. Pola tanam yang selama ini dikenal petani sudah tidak sesuai lagi.

 

Belum lagi soal hilangnya sawah yang berada di dekat pesisir yang terintrusi kenaikan permukaan air laut. Seperti yang terjadi di beberapa desa di Demak, Jawa Tengah. Desa-desa itu adalah bagian dari hamparan sawah seluas 814 ribu hektare dari pantai utara Jawa di Banten hingga Jawa Timur, yang setara dengan 23 persen area persawahan di seluruh Jawa.

 

Di tengah situasi ini, ada sekelompok akademikus yang berinisiatif membina petani untuk menyiasati perubahan iklim. Salah satunya guru besar antropologi Universitas Indonesia, Yunita T. Winarto. Bersama mendiang Kees Stigter, guru besar agrikultur dan pakar agrometeorologi Wageningen University, Belanda, Yunita merintis Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim pada 2009. Di sana, puluhan petani seperti Nurkilah di Indramayu belajar mengukur curah hujan, mengamati agroekosistem, mengumpulkan data, dan mengevaluasi pola iklim setiap bulan.

 

Dari pencatatan itu, para petani tahu kapan akan terjadi hujan atau kemarau panjang. Berbekal data itu, mereka tahu kapan harus menanam dan apa yang harus ditanam. Salah satu pengetahuan yang diterima petani adalah, jika terjadi El Niño, jangan menanam padi, melainkan tanaman palawija tahan kering seperti singkong. Sebaliknya, saat terjadi La Niña yang memicu hujan, jangan menanam padi di lahan basah. “Tapi kami berpesan kepada para petani, tujuannya bukan mencapai produksi tinggi. Paling tidak untuk mengantisipasi risiko gagal panen,” kata Yunita pada Rabu, 16 Agustus lalu.

 

Laporan para ahli yang dirilis Piarea Institute memuat sejumlah rekomendasi. Salah satunya, demi menjaga atau meningkatkan produksi pangan saat terjadi El Niño, padi bisa ditanam di lahan rawa. Sebab, ketika terjadi El Niño, air rawa cenderung surut. Tapi pemerintah mengambil jalan lain dengan mempercepat penanaman padi di lahan seluas 500 ribu hektare. Lahan yang baru saja panen langsung ditanami lagi dengan benih varietas padi tahan kering.

 

Kementerian Pertanian menyiapkan sejumlah lahan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, tiga daerah di Jawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Banten, dan Lampung. “Saya yakin, kalau ini bisa tercapai, mungkin imbas El Niño bisa kita kendalikan dengan baik,” ucap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Rabu, 2 Agustus lalu.

 

Syahrul juga masih optimistis stok beras cukup hingga September mendatang. Dia bahkan mengklaim ada kelebihan stok sampai 2,7 juta ton dan setiap bulan masih ada panen di lahan seluas 800 ribu hektare. “Itu cukup untuk kebutuhan kita setiap bulan yang melebihi sekitar 2 juta (ton beras),” ujarnya.

 

Toh, Badan Pangan Nasional tak mau mengambil risiko. Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka pada Rabu, 2 Agustus lalu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi memaparkan potensi kelangkaan beras di hadapan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, termasuk Syahrul Yasin Limpo. “Saya dapat pertanyaan, ini kenapa harga (beras) naik?” kata Arief pada Jumat, 18 Agustus lalu. “Saya menjawab, ya, lihat saja ini pola produksi berasnya.”

 

Arief mengaku sudah menghitung potensi dampak El Niño tahun ini. Itu sebabnya, dia menjelaskan, lembaganya mengutus Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk merealisasi impor 2,3 juta ton beras pada periode 2022 dan 2023. “Apa mau menunggu El Niño dan pengurangan produksi sampai 5 persen? Atau sebelum itu semua kejadian, saya punya food reserve (dengan tambahan impor)?”

 

Pada 2022, realisasi impor beras sebanyak 300 ribu ton. Sedangkan 1,3 juta ton telah tiba di Indonesia pada Juli lalu. Kini tinggal 700 ribu ton beras impor yang akan datang sampai akhir tahun. Beras ini didatangkan dari sejumlah negara, antara lain Vietnam dan Thailand.

 

Musim paceklik memang belum benar-benar tiba. Tapi Indonesia bisa tercekik karena harga beras dunia kadung melejit. Laporan Reuters menyebutkan eksportir beras Vietnam berusaha menegosiasikan harga jual, termasuk dengan Bulog. Langkah ini adalah dampak keputusan India melarang ekspor beras yang membuat harga bahan pangan itu melesat. Eksportir dari Thailand pun disebut-sebut hendak melakukan hal yang sama. Tapi, menurut Direktur Rantai Pasok dan Pelayanan Publik Bulog Suyamto, Indonesia tidak akan menegosiasikan harga lagi. “Kami jalankan sesuai dengan kontrak,” katanya pada Jumat, 18 Agustus lalu.

 

Vietnam dan Thailand adalah sumber beras utama Bulog. Suyamto mengungkapkan, untuk menambah pasokan, Bulog akan membeli beras dari Kamboja dan Myanmar. Tambahan stok ini yang sedang ditunggu-tunggu Badan Pangan Nasional. Saat ini stok beras Bulog tinggal 1,3 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 835 ribu ton berstatus cadangan beras pemerintah dan 417 ribu ton milik mitra Bulog atau perusahaan penggilingan padi. Sisa 56 ribu ton adalah beras komersial Bulog.

 

Sedangkan untuk bantuan pangan sebanyak 213 ribu ton per bulan yang akan disalurkan kepada 21,3 juta warga miskin serta program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), Bulog mesti menambah stoknya. Hingga Kamis, 3 Agustus lalu, Bulog menyalurkan 668 ribu ton beras SPHP kepada pengecer di pasar tradisional, peretail modern, dan warga miskin.

 

Pakar pertanian dari IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengatakan impor diperlukan karena ada potensi penurunan jumlah produksi akibat El Niño. Tapi, dia menambahkan, "Celaka sedulur tani kalau impornya kebanyakan."

 

Menurut Andreas, saat ini petani sedang menikmati harga gabah yang tinggi. Nilai tukar petani per Juli 2023 mencapai 104,67. Angka di atas 100 menunjukkan petani sedang menikmati keuntungan. Karena itu, Andreas menuturkan, impor seharusnya dilakukan hanya untuk menambah stok dan berjaga-jaga menghadapi dampak El Niño, bukan merugikan petani yang kian terancam karena krisis iklim. ●

 

Sumber :     https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169546/el-nino-krisi-pangan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar