Minggu, 27 Agustus 2023

 

Mengapa Bahasa Menyediakan Seksisme?

Ahmad Hamidi :  Alumnus Ilmu Linguistik Universitas Indonesia

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

PANDANGAN dunia seseorang terpancar melalui caranya berbahasa, apa yang dibahasakan, dan konstruksi bahasa yang digunakannya dalam merespons realitas. Peradaban manusia kepalang dibangun dalam tatanan berpikir patriarkis, yang muncul dalam bahasa yang seksis, yakni bahasa yang merepresentasikan laki-laki dan perempuan secara tidak setara.

 

Seorang suami yang berkata, “Gini nih enaknya udah nikah. Ada yang bisa buatkan kopi, he-he-he...,” sangat mungkin memandang menyeduh kopi sebagai tugas yang hanya pantas dikerjakan istrinya. Sekalipun si suami berupaya menutup perkataannya dengan tawa, paradigma patriarkis di belakangnya tidak tersamarkan sedikit pun. Perkataan itu memperlihatkan bahwa di dalam kepala si suami telah tersedia dua keranjang tugas domestik yang dibedakannya berdasarkan peran gender.

 

Kaum perempuan tidak perlu seketika ngamuk-ngamuk kepada kaum laki-laki. “Penyakit genetik” ini juga diidap oleh kaum perempuan. Persoalan seksisme bukan tentang siapa dan apa jenis kelamin pelakunya. Persoalannya berada dalam wilayah pikiran dan cara pandang komunal. Masyarakatlah yang telah membuatnya bernapas panjang dan terinternalisasi ke dalam diri setiap orang lintas generasi.

 

Saya duga Anda tidak akan kesulitan bertemu dengan perempuan yang berpikir dan berbahasa seksis terhadap kaumnya sendiri. Dalam keluarga, saya anak laki-laki di antara tiga anak perempuan. Tiap kali saya merasa sebal terhadap salah satu saudara saya, ada saja saudara yang lain mengingatkan, “Namanya juga perempuan, ya, pasti nyinyir.” Nyinyir, cerewet, dan kata-kata lain yang semedan makna dengannya kepalang “pasti” dilekatkan pada perempuan. Padahal menjadi orang nyinyir merupakan hak hidup yang boleh diambil oleh siapa pun dan apa pun jenis kelaminnya.

 

Seksisme berbahasa ibarat tarikan napas. Ia mengendap di lapis terbawah kesadaran manusia. Keberadaannya acap kali tidak disadari oleh penuturnya. Itulah penghambat bagi sebagian dari kita untuk melepaskan diri dari kerangkeng seksisme. Tahu-tahu manusia telah melintasi zaman bersamanya.

 

Yang lebih buruk, ada kerangkeng di dalam kerangkeng setelah negara melembagakan seksisme melalui berbagai perangkatnya. Entri perempuan memang telah memantik kesadaran kolektif dan memaksa Badan Bahasa mengubah definisinya. Namun itu cuma satu di antara sekian banyak persoalan serupa yang masih tersadai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mau contoh? Buka tersadai dalam KBBI. Lihat definisi terakhir. Mengapa hanya merujuk pada “gadis”? Kata Badan Bahasa, sih, mereka menyerap berdasarkan “korpus yang tersaji apa adanya, tanpa ada modifikasi apa pun”. Kalau begitu, bagaimana dengan contoh penggunaan kata dalam kalimat? Diserap berdasarkan fakta kebahasaan masyarakat juga?

 

Berdasarkan definisi, entri cemburu netral, yakni “kurang percaya; curiga (karena iri hati)”. Pada contoh penggunaannya disuratkan: “istrinya selalu -- kalau suaminya pulang terlambat”. Siapa yang cemburu? Istri. Seolah-olah hanya perempuan yang punya perasaan cemburu, laki-laki tidak. Demikian halnya dengan cengeng. Definisinya netral tapi contoh kalimatnya bias. Cengeng didefinisikan (1) “mudah menangis; suka menangis, (2) “mudah tersinggung (terharu dan sebagainya)”, dan (3) “lemah semangat; tidak dapat mandiri”. Salah satu contoh penggunaannya berbunyi: “gadis remaja biasanya lebih -- daripada pria dalam menghadapi suatu kejadian”. Nah!

 

Tanpa istrinya dan gadis remaja sebagai subyek contoh, definisi entri sama sekali tidak akan bias. Saya pikir Badan Bahasa tidak kekurangan referensi dalam menyajikan contoh. Andaikata benar mereka kesulitan menampilkan contoh yang netral, saya bantu usul: “Ia selalu -- kalau pasangannya pulang terlambat” untuk cemburu dan “Anak itu memang lebih -- daripada saudaranya dalam menghadapi suatu kejadian” untuk cengeng.

 

Ketika diproduksi, bahasa merupakan produk budaya. Ketika dipergunakan, bahasa menjadi produk sosial. Ketika dilembagakan, bahasa adalah alat kontrol.

 

Bahasa memang hidup bersama masyarakat pada mulanya. Dalam lingkungan sosial pemuda Minangkabau kontemporer, ada istilah maolah cewek (bahasa Indonesia: mengolah cewek). Bayangkanlah, betapa pasif perempuan dipandang dan diperlakukan, seolah-olah data yang dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Maolah cewek berarti mempengaruhi, mengiming-imingi, mengendalikan, menundukkan, menaklukkan, mengalahkan, bahkan menghabisi. Siapa pelakunya? Jelas cowok, dong. Maolah cewek adalah saudara tua bungkus dalam bahasa kolokial pemuda Ibu Kota. Diolah dulu, dibungkus kemudian. Perempuan dipandang persis seperti jajanan ringan di pasar.

 

Kalau dicari-cari, pujian pun dapat menjerumuskan penuturnya ke lembah seksisme. Tuturan “Hebat, ya, kamu. Perempuan motoran sendirian lewat sana. Malam-malam lagi.” memang berintensi positif, yakni memuji keberanian si perempuan. Namun bukankah tuturan itu berangkat dari bias pikir bahwa perjalanan demikian hanya normal dilakukan laki-laki? Karena pelakunya perempuan, ia jadi pantas dipuji.

 

Yang terhangat, ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana, meminta kuasa hukum aktivis Haris dan Fatia, Ronald Siahaan, melantangkan suara dengan mengatakan, “Ini Saudara suaranya, kan, seperti perempuan gitu loh.” Seorang hakim pun bahkan gagal memberikan keadilan sejak dalam pikiran. Namun, untuk yang satu ini, saya belum tahu apakah itu murni seksisme atau ada intensi “mempekerjakan” seksisme untuk mengintimidasi. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169510/bahasa-seksis

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar