Penggabungan
Kampus Swasta
Ki Supriyoko ; Direktur Pascasarjana Pendidikan
Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta
|
JAWA
POS, 02 Februari 2018
SALAH satu isu pendidikan yang menyita perhatian masyarakat
sekarang ini, khususnya pendidikan tinggi, adalah merger perguruan tinggi
swasta (PTS). Adapun maksud merger dalam konteks tersebut adalah penggabungan
dan penyatuan PTS. Lebih jelasnya, dua atau lebih PTS digabung menjadi satu
PTS dalam melayani masyarakat.
Latar belakang merger PTS itu untuk meningkatkan mutu pendidikan
tinggi di Indonesia di tengah-tengah kondisi banyaknya PTS yang terancam
ditutup. Sebagaimana diketahui, sekarang ini terdapat belasan bahkan ribuan
PTS yang terancam ditutup karena berbagai alasan. Di antaranya, relatif
sedikitnya jumlah mahasiswa sehingga sulit menjalankan roda manajemen,
kurangnya dosen yang memenuhi syarat sebagai pendidik di perguruan tinggi,
dan tidak terpenuhinya standar mutu akreditasi perguruan tinggi.
Logikanya sederhana: dengan banyaknya PTS yang melakukan merger,
muncul berbagai PTS baru hasil merger yang besar dan kuat, tentu yang lebih
berkualitas, sehingga secara nasional kualitas pendidikan tinggi kita bisa
ditingkatkan.
Pola Merger
Belajar dari pelaksanaan merger perguruan tinggi non pemerintah
yang sudah berlangsung selama ini, baik di dalam maupun di luar negeri, ada
beberapa pola merger PTS dari yang relatif mudah hingga yang sangat sulit
dilaksanakan.
Merger dua atau lebih PTS dalam yayasan atau badan penyelenggara
yang sama biasanya relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. Begitu sebaliknya,
merger dua atau lebih PTS dalam yayasan atau badan penyelenggara yang berbeda
biasanya lebih sulit dilaksanakan. Meskipun, bukan berarti hal itu tidak bisa
dilaksanakan sama sekali. Perencanaan mergernya pun ada yang membutuhlan
waktu relatif singkat, tetapi ada pula yang relatif panjang.
Apabila di dalam satu yayasan terdapat dua atau lebih PTS
program studinya sama, kemudian dimerger menjadi satu PTS, biasanya tidak
banyak menimbulkan masalah. Mengapa? Sebab, penggabungan dan penyatuan PTS
tersebut tidak perlu mengubah struktur dan personal yayasan, baik pengurus
maupun pembina. Pola merger seperti itu biasanya dilaksanakan dengan mempertimbangkan
efektivitas dan efisiensi pengelolaan.
Apabila di dalam satu yayasan terdapat dua atau lebih PTS yang
program studinya berbeda, kemudian dimerger menjadi satu PTS, biasanya juga
tidak banyak menimbulkan masalah. Mengapa? Sebab, pola penggabungan dan
penyatuan PTS tersebut juga tidak perlu mengubah struktur dan personal
yayasan, baik pengurus maupun pembina. Pola merger seperti itu biasanya
dilaksanakan, selain mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan,
untuk ’’pengembangan’’ bentuk PTS. Misalnya, dari bentuk akademi menjadi
institut atau dari bentuk sekolah tinggi menjadi universitas.
Seperti kita ketahui, bentuk PTS di Indonesia memiliki
persyaratan yang berbeda antara yang satu dan yang lain. Misalnya, menyangkut
luas tanah dan jenis program studi, termasuk jumlah program studi. PTS
berbentuk sekolah tinggi cukup memiliki luas kampus minimal 5 hektare, tetapi
bentuk universitas harus memiliki luas kampus minimal 10 hektare.
Kalau ada dua yayasan yang masing-masing memiliki PTS, kemudian
dimerger menjadi satu, biasanya sedikit atau banyak menimbulkan masalah.
Mengapa? Sebab, tidak boleh dua yayasan menyelenggarakan satu PTS yang sama.
Itu berarti dua yayasan tersebut harus ’’dimerger’’ terlebih dahulu sebelum
memerger PTS-nya. Dengan begitu, harus ada kesepakatan siapa pimpinan yayasan
baru hasil penggabungan dan penyatuan tersebut. Hal itu biasanya tidak mudah
dilakukan karena personal dalam yayasan lama memiliki visi, misi, dan
kepentingan yang berbeda.
Ketidakmudahan di tingkat yayasan atau badan penyelenggara itu
bisa berlanjut di tingkat eksekutif atau PTS-nya. Adanya merger PTS perlu
diikuti dengan pembentukan pimpinan yang baru, misalnya siapa rektor, ketua,
wakil rektor, dekan, dan Kaprodi. Berasal dari PTS lama yang mana? Kalau
terjadi konflik di tingkat PTS karena ketidakcocokan unsur pimpinan, agak
sulit dicarikan solusi oleh yayasan karena pengurus dan pembina yayasan yang
baru pun berasal dari dua yayasan berbeda yang masih saling mencocokkan irama
kerja masing-masing.
Bantuan Pemerintah
Sebagaimana yang disampaikan pimpinan Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), pemerintah akan
memberikan insentif dalam proses merger PTS. Misalnya, akan mempermudah
proses, menyederhanakan mekanisme, dan membuka kemungkinan pembukaan program
studi non-STEM (science, technology, engineering and mathematics).
Insentif tersebut tentu sangat bermanfaat bagi penyelenggara PTS
yang akan dimerger, di samping menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
program merger PTS.
Kiranya perlu diingat, permasalahan biasanya tidak hanya terjadi
menjelang merger, tetapi juga pascamerger. Konflik yayasan baru dan/atau pts
baru berpotensi muncul justru pascamerger. Oleh karena itu, sebaiknya
pemerintah juga memberikan bantuan dalam batas-batas kewenangannya setelah
terjadi merger PTS! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar