Sabtu, 10 Juli 2021

 

Ki Manteb Soedharsono, antara Kreasi Artistik dan Makna Dedikasi

Purnawan Andra ;  Pamong Budaya pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek

KOMPAS, 9 Juli 2021

 

 

                                                           

Dunia seni pertunjukan tradisi kembali berduka. Dalang wayang kulit gaya Surakarta, Ki Manteb Soedharsono, meninggal di kediamannya di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada Jumat (2/7/2021) pukul 09.45. Seniman kelahiran Palur, Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, 31 Agustus 1948, tersebut selama ini dikenal sebagai dalang setan yang ”pancen oye” karena keterampilan dan kepiawaiannya dalam memainkan boneka wayang (sabet).

 

Sabet merupakan bentuk ekspresi dalang untuk memaksimalkan aspek dramatisasi dalam memainkan wayang sesuai dengan karakter tokoh dan suasananya. Kekuatan sabet menjadikan wayang lebih hidup dan atraktif, terutama ketika adegan bertarung atau perang. Sabet membuat wayang seperti seorang aktor yang berlaga dalam film aksi.

 

Kemampuan ini merupakan buah proses kreatif yang panjang. Lahir dari keluarga seniman tradisi, ayah Ki Manteb adalah Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo, seorang dalang wayang kulit dari Sukoharjo dan ibunya yang bernama Nyi Darti, seorang penabuh gamelan. Bakat Ki Manteb sebagai dalang wayang kulit sudah terlihat sejak kecil. Totalitas dan kesungguhannya terasah bukan dari bangku pendidikan seni, tetapi ditempa oleh pergulatan artistik yang intens, termasuk menimba ilmu pada para dalang senior, seperti Ki Narto Sabdo dan Ki Sudarman Gondodarsono.

 

Pergaulan kreatif tersebut menumbuhkan kreasi artistik dalam gaya sabetan-nya yang khas, yang berbeda dari dalang-dalang lainnya. Gerak wayang-wayangnya menjadi lebih hidup, ekspresif dan artistik dengan gerak-gerak atraktif seperti salto dan jumpalitan.

 

Hal ini tentu saja menimbulkan pro-kontra pada masanya. Terlebih dunia wayang yang tidak bisa lepas dari pakem yang mesti terus dipegang dan ditaati. Namun, Ki Manteb tetap memantapkan diri untuk terus bereksplorasi.

 

Tidak hanya secara teknis, pergumulan kreatif yang intens dengan dunia artistik membentuk sikap kuat dan pemikiran mendalam mengenai dunia seni pedalangan yang digelutinya. Ki Manteb adalah seniman yang mau dan mampu melakukan pembacaan lebih mendalam pada cerita, menginterpretasinya dengan cerdas dan mengontekstualitaskannya dengan kondisi riil dan terkini di masyarakat. Karena itu, wajar jika isu-isu aktual hadir dalam cerita Kresna Jumeneng Ratu (peringatan HUT RI di Istana Negara tahun 2019) atau refleksi pandemi dalam episode Rama Tambak dan Jamus Kalimasada.

 

Ki Manteb menyikapi kelir layar panggung wayangnya sejalan dengan filosofi yang dikandungnya. Wayang adalah babaran kehidupan, dramatika artistik dan juga tafsir nilai simbolis sekaligus. Di hadapan bentangan kain putih itu, ia menghadirkan sosok wayang bukan sebagai bayangan belaka, tetapi mampu menjelmakannya laksana film yang memutar episode hidup manusia.

 

Ia dengan detail menggarap, mengolah dan mengelola ruang artisitik kelir. Budayawan Blontank Poer mencatat bahwa Ki Manteb bereksplorasi kreatif dengan mengubah pencahayaan dari blencong yang berbahan bakar minyak menjadi tata lampu modern yang beraneka warna. Hal ini dilakukannya sebagai bagian dari eksperimen artistik untuk menciptakan kesan dramatis.

 

Ki Manteb juga memiliki kemampuan, kepekaan, dan kreativitas dalam menyusun komposisi musik gamelan tradisi maupun kontemporer. Lakon-lakon yang ia bawakan bak pertunjukan opera wayang yang komunikatif, spektakuler, aktual, dan menghibur. Panggung wayang kulit Ki Manteb menjadi spektakel yang mempesona.

 

Edukasi

 

Meskipun demikian, Ki Manteb meyakini bahwa wayang memiliki nilai edukasi. Seni wayang lebih dari sekadar pertunjukan yang merangsang rasa keindahan sensoris, tetapi sebuah stimulasi pemupuk kematangan pribadi seseorang terhadap nilai-nilai hidup yang lebih bermakna. Spirit kebudayaannya tidak hanya terdapat dalam wujud fisik, tetapi juga ada pada tuturan simbolis nilai bagi tatanan etis dan filosofis yang lebih baik.

 

Wayang tak hanya mempertunjukkan teknik permainan boneka, tetapi juga menyampaikan pesan dan nilai moral. Ia menyampaikan piwulang, nasihat, kritik, cerita tentang kebenaran dan kebaikan. Wayang menjadi refleksi yang menautkan makna peristiwa dan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki (Setiawan, 2016).

 

Bagi Ki Manteb, wayang adalah sebuah tontonan sekaligus tuntunan. Pesan moral dalam pementasan wayang hadir lewat rangkaian kisah dan citra tokoh wayangnya sebagai representasi kehidupan. Simbolisme yang dibawanya mampu membuat berbagai hal sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Ia meyakini formulasi semacam ini bisa menjadi kunci eksistensi dan esensi wayang.

 

Pada setiap pementasan wayang terjadi proses transformasi nilai moral kepada penonton. Sejak zaman Jawa kuno hingga kini, pementasan wayang adalah tontonan massal, baik untuk tujuan ritual, komunal maupun sosial-politik. Pertunjukan wayang dengan kebijaksanaan ini menjadi semacam ”mekanisme referensial” proses belajar dan introspeksi. Pembacaan atasnya akan tetap kontekstual dalam waktu mendatang.

 

Dengannya, kita bisa belajar bahwa identitas Indonesia tidak selalu harus menurut simbol-simbol tradisional yang archaic, tetapi juga eksplorasi yang lebih terbuka, yang berarti dinamis dan segar mengolah simbol-simbol tradisional atau bukan, yang juga berarti ketidakputusasaan untuk terus menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru. Satu yang pasti, hal ini mesti digarap luwes dan kreatif; kreatif memainkan kemajemukan, bidang bahu selebar-lebarnya dalam menyediakan ruang gerak yang bebas tapi reflektif bagi pembacaan yang lebih kritis tentang identitas, tradisi, modernitas, dan diri kita sebagai manusia.

 

Maturnuwun Ki Manteb, sugeng kondur ke alam kelanggengan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar