Minggu, 18 Juli 2021

 

Dapatkah Vaksinasi seperti Dua Ratus Tahun Lalu

Jean Couteau ;  Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 18 Juli 2021

 

 

                                                           

Cukup banyak orang Indonesia takut divaksin. Sekarang tolong pikirkan: dua ratus tahun yang lalu, bukan vaksin yang ditakuti, melainkan penyakit, tepatnya wabah cacar. Ketika cacar sudah mewabah, antara 10-30 persen orang bisa tersapu bersih. Dan ada wabah lain. Maka orang tak ada waktu mempertanyakan apakah wabah itu buatan China atau jadi bagian dari komplotan big pharma. Tidak! Pikiran orang bodoh zaman itu tidak secanggih ini. Mereka pasrah, atau berdoa, biasanya tanpa hasil.

 

Lalu, apa yang terjadi? Meskipun ibu-ibu tak habis-habis melahirkan, jumlah penduduk tidak bertambah. Kenapa? Oleh karena anak-anaknya terus mati. Yang tidak mati sakit cacar, mati sakit kolera atau malaria. Ya, begitulah nasib orang Indonesia pada waktu itu: mereka tidak meninggal akibat vaksin Sinovac atau AstraZeneca seperti sekarang—paling sedikit itulah yang dikatakan dokter Lois dan kawan-kawannya. Mereka meninggal akibat wabah ini atau wabah itu. Sederhana, kan? Harapan hidup rata-rata 25 tahun.

 

Wanita yang  berusia 15 tahun kala itu sudah menikah, lalu segera memiliki enam atau tujuh anak. Tak lama mereka   mengucapkan selamat tinggal menuju liang kubur, diikuti oleh separuh anaknya!  Tidak mengherankan apabila pocong kuburan kini sedemikian banyaknya. Terlalu banyak orang yang meninggal sebelum waktunya, yaitu sebelum Indonesia mengenal vaksin.

 

Untunglah ada para penjajah, para Londo itu. Aneh betul? Tetapi, memang begitu! Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1804, di Batavia, ada penjajah yang tidak hanya asyik menindas pribumi atau membaca berita tentang pemenggalan raja Perancis (1793), pendudukan Belanda dan pembubaran VOC (1799), tetapi cukup banyak juga yang bernalar sehat. Mereka percaya pada kemajuan, pada kausalitas eksperimen-eksperimen, termasuk di dalam bidang medis.

 

Bisa dimaklumi: untuk 100 Londo yang mendarat di Batavia, dalam kurun tiga tahun separuh di antaranya sudah mati. Maka begitu terdengar berita bahwa cacar bisa dihindari dengan vaksin dari cacar sapi—orang yang kena cacar sapi diambil darah dan nanah lukanya dan dipindah ke sayatan penerimanya—Londo-londo progresif itu mengambil tindakan. Mendengar bahwa pengendap cacar untuk vaksin sudah ada di Mauritius, mereka mengirim ”sepuluhan anak berusia 10 sampai 12 untuk divaksinasi dan membawa pulang vaksin’hidup’” (D Lombard, Vol I, 1999: 142).

 

Begitu pulang, kira-kira setahun kemudian, para pahlawan ”vaksin hidup” ini segera dikerahkan, diperbanyak jumlahnya dan disebar-sebar ke pelosok-pelosok Batavia untuk memvaksin orang, sayatan darah dari orang ke orang lalu ke bandar-bandar di pesisir dan kemudian ke seluruh Jawa. Bagaimana hasilnya: wabahnya punah! Orang Jawa bisa lega. Dan memang, dengan berlalunya waktu, selaras kemajuan medis, serta vaksin demi vaksin, populasi Jawa bertambah banyak: dari 5 juta pada tahun 1800 menjadi lebih dari 150 juta sekarang ini. Tanpa vaksin primitif itu, jumlah penduduk Jawa akan jauh lebih sedikit.

 

Melihat sejarah ini, pembaca yang terhormat, mana mungkin masih ada orang yang takut atau meragukan keampuhan vaksin. Bukankah lebih berbahaya melakukan vaksin sayatan darah pada waktu itu, ketika obat merah belum dikenal, daripada divaksinasi Sinovac atau AstraZeneca sekarang ini, apalagi tanpa sayatan. Bukankah waktu itu prosedur uji coba masih sangat sederhana, maka ada risiko.

 

Waktu itu kita di awal kedokteran modern. Pikirkanlah sejenak: apabila londo-londo masa lalu bisa menawarkan vaksin tanpa dihalangi siapa pun, lalu sukses, bukankah perusahaan vaksin dari China, dari Amerika, atau dari mana pun, termasuk Indonesia, dapat juga menawarkan vaksin dengan sukses pula.

 

Ya, teman-teman, bisa jadi jamu atau obat ini-itu membantu daya tahan, tetapi ketahuilah: tidak cukup. Petinju kelas bulu tak bertahan lebih dari 3 menit melawan petinju kelas berat. Virus adalah sesuatu yang nyata, yang hanya dikalahkan oleh sesuatu yang nyata pula: vaksin. Dan apabila ada doktor-doktor atau profesor-profesor yang mengatakan bahwa vaksin tidak menyerang virus tetapi memperbanyaknya, carilah di Google informasi tentang orang itu. Akan cepat kempes kekaguman Anda terhadap mereka itu: delusi, waham kebesaran. Tak pantas diperhatikan.

 

Nalar telah menyelamatkan orang Indonesia 200 tahun lalu. Nalar harus menyelamatkan Indonesia sekarang ini. Maka segeralah mendapat vaksinasi dan sambutlah esok hari dengan tenang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar