Revisi RUU Pengampunan Pajak
Andreas Lako ;
Guru Besar Akuntansi;
Kepala LPPM Unika Soegijapranata,
Semarang
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Akibat terimpit
defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR
segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang sedang
dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku
efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016).
Dengan begitu,
pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk mendapatkan
dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN. Namun,
menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU Pengampunan
Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang serius dan
mesti direvisi.
Tidak adil
Substansi RUU yang
justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi
pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan merugikan
keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di sejumlah
negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan
masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat
rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4
persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam
RUU tersebut muncul sejumlah pasal
aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data wajib pajak nakal yang
mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak hukum.
Substansi RUU tersebut
sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas apabila
disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru
memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah
hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan
keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu
Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp
165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR
sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang bakal
mendapatkan amnesti pajak akibat
mereka mulai terdesak oleh bocornya Dokumen Panama beberapa waktu lalu?
Entahlah! Namun, yang
pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan
keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil. Program
tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan menimbulkan
kerugian dan sejumlah dampak negatif yang jauh lebih besar dibandingkan
manfaat ekonominya.
Meski berdalih demi
menutup defisit APBN, secara etika pemberian amnesti tersebut tidak bisa
dibenarkan. Mengapa?
Pertama, selama ini
terhadap individu dan korporasi yang ketahuan dan terbukti melakukan
kejahatan keuangan, seperti korupsi, penyuapan, penipuan, pemerasan,
penggelapan pajak, atau pencucian uang yang merugikan keuangan negara, aparat
penegak hukum bertindak tegas: memberikan sanksi hukum yang berat kepada
mereka. Selain dipenjara dan didenda, aset-aset hasil kejahatan mereka juga
disita. Karena itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang juga akan memberikan
amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara sungguh
sangat aneh dan tidak adil. Mereka seharusnya dikecualikan dari program
amnesti pajak, diusut tuntas asal-usul asetnya, dan mendapatkan perlakuan
hukum yang sama.
Kedua, selama ini para
wajib pajak patuh membayar pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai
(PPN), pajak atas aset (PBB), dan pajak lainnya secara rutin kepada negara berdasarkan ketentuan dan
tarif perpajakan yang berlaku. Jumlah pajak yang disetorkan ke negara untuk
mendukung APBN dan pelaksanaan pembangunan sangat besar, bahkan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang
hendak memberikan amnesti pajak dengan tarif sangat rendah kepada para wajib pajak nakal yang selama
ini berhasil melakukan kebohongan dan penggelapan pajak dengan cara menyembunyikan dana hasil
kejahatannya di sejumlah negara surga pajak sangat tidak adil. Substansi
tersebut sangat menyakitkan dan mengusik rasa keadilan wajib pajak yang
selama ini jujur dan patuh membayar pajak ke negara.
Dalam sejumlah
kesempatan, mereka bahkan mulai mengeluh dan mempertanyakan sikap ambigu
pemerintah yang akan menerapkan program amnesti pajak. Mereka mengatakan
lebih baik beralih jadi wajib pajak nakal karena bakal mendapat amnesti pajak
dan perlakuan istimewa dari negara daripada jadi wajib pajak patuh. Jika
kebanyakan wajib pajak patuh akhirnya berperilaku begitu, maka program
amnesti pajak yang ingin segera dilaksanakan pemerintah justru akan jadi
bumerang bagi penerimaan pajak dan
mengganggu APBN dalam jangka panjang.
Keadilan sosial-ekonomi
Berdasarkan uraian di
atas, DPR dan pemerintah sangat diharapkan segera mengkaji kembali dan
merevisi sejumlah pasal dalam RUU Pengampunan Pajak yang mengatur tentang
amnesti pajak dan perlindungan hukum
kepada para pelaku kejahatan keuangan negara. Untuk para koruptor dan
penggelap pajak yang konon data identitas lengkapnya sudah dikantongi
Kementerian Keuangan, mereka tidak boleh
diberikan amnesti pajak. Data asal-usul aset mereka harus diusut tuntas.
Apabila aset-aset mereka diperoleh
dengan cara-cara yang melanggar hukum, pemerintah harus melakukan
penyitaan. Mereka layak dihukum dan didenda karena telah merugikan keuangan negara.
Bagi para individu dan
korporasi penggelap dan penghindar pajak yang selama ini menyembunyikan aset
di luar negeri, atau menempatkan aset-asetnya di sejumlah negara dengan
alasan untuk manajemen aset, mereka bisa diberikan skema amnesti pajak dengan
tarif yang lebih tinggi. Besar-kecil tarif dan jumlah denda pajak yang harus
dibayarkan kepada negara juga harus didasarkan pada perhitungan akurat,
seberapa besar kerugian negara yang telah mereka timbulkan. Dengan begitu,
para wajib patuh tidak akan merasa iri dan mempermasalahkan kebijakan amnesti
pajak yang akan diterapkan pemerintah.
Dengan merevisi
substansi RUU dan memperlakukan secara berbeda para individu dan korporasi
pelaku kejahatan keuangan, maka rasa keadilan sosial-ekonomi masyarakat luas
tidak akan terusik oleh pemberlakuan UU Pengampunan Pajak. Perlakuan secara
berbeda tersebut tentu akan menghasilkan pendapatan pajak yang jumlahnya jauh
lebih besar daripada yang diharapkan
Menteri Keuangan. Selain itu, kewibawaan negara dan pemerintahan Jokowi tidak
akan tergerus oleh para pelaku kejahatan keuangan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar