Pegang Kendali Penuh
James Luhulima ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Rabu (15/6) siang,
Ketua DPR Ade Komarudin mengungkapkan, dirinya menerima surat dari Mensesneg
Pratikno yang isinya mengenai Presiden Joko Widodo mengajukan Komisaris
Jenderal Tito Karnavian (51), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
sebagai calon Kepala Kepolisian Negara RI. Tito akan menggantikan Jenderal
(Pol) Badrodin Haiti yang pensiun pada 24 Juli 2016.
Munculnya nama Komjen
Tito sebagai calon Kapolri sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Ia memang
dipersiapkan secara khusus. Jabatan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya
dipegangnya tidak sampai satu tahun (12 Juni 2015-16 Maret 2016), dan
langsung diangkat menjadi Kepala BNPT, 16 Maret 2016, yang diikuti dengan
kenaikan pangkatnya, dari inspektur jenderal menjadi komisaris jenderal.
Dengan kenaikan pangkat itu, Tito masuk ke jajaran perwira tinggi berbintang
tiga yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kapolri.
Namun, yang ingin
dipermasalahkan dalam tulisan ini bukanlah perjalanan karier Tito, melainkan
kebebasan Presiden Jokowi dalam memutuskan Tito sebagai satu-satunya calon
Kapolri. Padahal, kita tahu benar bahwa Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri sangat menginginkan Wakil Kapolri Komjen Budi Gunawan
menggantikan Jenderal (Pol) Badrodin sebagai Kapolri.
Belum lagi, Dewan
Kepangkatan dan Jabatan Tinggi Polri serta Komisi Kepolisian Nasional pun
hanya mengajukan tiga nama calon Kapolri, dan nama Tito tidak termasuk di
dalamnya. Tiga nama calon Kapolri yang diajukan Wanjakti dan Kompolnas adalah
Budi Gunawan, Ketua Badan Narkotika Nasional Komjen Budi Waseso, dan
Inspektorat Pengawasan Umum Polri Komjen Dwi Priyatno.
Bahwa Presiden Jokowi
memilih nama calon Kapolri di luar nama-nama yang diusulkan, itu yang
menarik, mengingat penunjukan Tito baru dilakukan Jokowi pada saat-saat
terakhir, mengingat hingga beberapa hari sebelumnya masih ada pemikiran untuk
memperpanjang masa jabatan Jenderal (Pol) Badrodin. Keberanian Presiden
Jokowi untuk mengambil keputusan itu (mengajukan Tito sebagai calon tunggal
Kapolri) sangat dihargai karena itu menunjukkan ia memegang kendali penuh
dalam penunjukan tersebut. Kendati, keputusan itu tentunya diambil setelah
mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.
Belakangan, Badrodin,
sebagai Ketua Wanjakti Polri, menjelaskan, ketiadaan nama Tito dalam daftar
itu disebabkan Tito menolak untuk dicalonkan karena dirinya merasa yang
paling yunior di jajaran perwira tinggi berbintang tiga Polri.
Infrastruktur
Kendali penuh juga
dipegang Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur. Presiden menguasai
secara detail tentang pembangunan infrastruktur dan persoalan yang dihadapi
di lapangan. Ia juga tahu ke mana harus mencari masukan, dan dari waktu ke
waktu, ia mengecek kemajuan dari tiap-tiap proyek. Presiden Jokowi tidak
hanya mendengarkan laporan dari menteri terkait, tetapi juga mencari masukan
dari sumber lain.
Presiden Komisaris PT
Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir, yang akrab dipanggil Boy Thohir, menceritakan
tentang bagaimana Presiden Jokowi mengikuti dengan saksama kesulitan yang
dihadapinya pada saat membebaskan lahan untuk pembangkit listrik tenaga uap
di Batang, Jawa Tengah. Presiden bahkan meminta menteri dan kepala daerah
terkait untuk membantu.
Ketika Boy Thohir
bertemu lagi, Presiden bertanya kepadanya, bagaimana sudah beres? Ia
menjawab, ”Belum Pak.” Presiden langsung berpaling ke arah menteri terkait
dan berkata, ”Lho bagaimana ini, katanya beres. Kok, belum! Tolong
dibantulah.”
Menurut Boy Thohir,
Presiden dari waktu ke waktu mengecek kemajuannya. Dan, ketika urusan
pembebasan tanah itu selesai, untuk beberapa waktu ia tidak berani bertemu
dengan Presiden, karena urusan komitmen investasi dengan Jepang ternyata
perlu waktu. Setelah urusan dengan Jepang selesai, barulah ia berani bertemu
dengan Presiden. Dan, ketika bertemu, Presiden bertanya kepadanya, ke mana
saja kok lama tidak kelihatan. Terpaksa Boy Thohir menceritakan segala
sesuatunya.
Sayangnya, keadaan
yang sama tidak berlaku ketika Presiden Jokowi dihadapkan pada naiknya harga
bahan pangan di pasar. Tampak jelas bahwa Presiden tidak mempunyai
sumber-sumber yang cukup untuk mengetahui keadaan di pasar yang sesungguhnya,
termasuk mengenai stok bahan pangan di pasar.
Hanya mengandalkan
data dari Menteri Pertanian, ternyata tidak cukup. Data statistik yang ada
sama sekali tidak menggambarkan keadaan di pasar. Tidak heran jika kita
sering melihat harga-harga bahan pangan melonjak di pasar karena ketiadaan
stok yang memadai. Pemerintah meyakinkan jika stok mencukupi, tetapi
tiba-tiba kita melihat pemerintah harus mengimpor karena harga tidak
terkendali.
Yang terbaru adalah
soal harga daging sapi yang bertahan di kisaran Rp 120.000-Rp 130.000 per
kilogram. Entah mendapatkan masukan dari mana, pertengahan Mei lalu,
tiba-tiba Presiden Jokowi memerintahkan para menteri untuk menurunkan harga
daging sapi hingga di bawah Rp 80.000 per kilogram sebelum Lebaran.
Berbagai upaya
dilakukan, termasuk mengimpor daging beku, tetapi tidak memberikan hasil
seperti yang diharapkan. Harga daging sapi tetap bertahan. Semua itu
memperlihatkan bahwa Presiden Jokowi memerlukan lebih banyak sumber, termasuk
pelaku pasar, untuk mengetahui keadaan di pasar yang sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar