Puasa dan Kesalehan Transformatif
Zuly Qodir ;
Sosiolog;
Direktur Sekolah Politik Ahmad
Syafii Maarif Pascasarjana UMY
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Di bulan Ramadhan,
umat Islam dan kaum beriman diperintahkan menjalankan ibadah fisik dan spiritual:
berpuasa. Semua kaum beriman penghuni negeri ini turut menjalankannya.
Negeri ini sangat
dikagumi karena dianggap sangat religius, bukan sekuler. Di tengah posisi
religius tersebut, tampak berseliweran kaum kere, miskin, dan marjinal.
Itulah kaum mustad'afin. Teologi kita agaknya kurang berpihak pada golongan
mustad'afin tersebut ketimbang pada golongan kelas menengah religius.
Fenomena semacam itu dapat dengan mudah kita saksikan pada berbagai acara
televisi yang lebih mempertunjukkan kelas menengah Muslim ketimbang kelas
mustad'afin.
Pemihakan pada kelas
kere ketimbang kelas menengah ditunjukkan ketika kita memiliki kepekaan yang
dalam kepada masyarakat kelas miskin-papa secara sosial, politik, ekonomi,
kultural, bahkan spiritual. Puasa, karena itu, bukan saja ibadah fisik, tapi
juga spiritual, yang diharapkan dapat menciptakan serta menumbuhkan kepekaan
sosial pada kaum papa dan mustad'afin.
Teologi "Kalibokong"
Gagasan orisinal
tentang teologi "Kalibokong", yang dipopulerkan tahun 1990-an oleh
Moeslim Abdurrahman, kira dapat menjadi sepenggal kisah di negeri kaya tetapi
kaum kerenya berseliweran. Teologi "Kalibokong" memberikan kisah
tentang terjadinya ketidakadilan di Tanah Air atas kelas sosial tertentu pada
kaum kere. Kelas menengah menjadikan kaum kere sebagai pijakan beramal saleh.
Kaum kere, karena itu, kata Moeslim Abdurrahman, jangan mudah dihakimi
perilaku kesalehannya oleh kelas menengah Muslim dan kaum santri tulen.
Kaum kere yang sering
dianggap kurang santri karena tak rajin mendengarkan pengajian-pengajian
kiai, ustaz, pak haji dan bu hajah di tengah kompleks perumahan atau di
tengah masjid pasar tidak berarti tidak saleh. Kaum kere, bagi Moeslim Abdurrahman, bukan entitas yang
harus dihakimi kafir, sesat, sinkretik , dan seterusnya, tetapi harus
dipersoalkan mengapa mereka demikian kondisinya.
Teologi
"Kalibokong" adalah sebuah ilustrasi tentang terjadinya ketakadilan
yang dilakukan oleh kelas pemilik usaha alias pemilik modal, yang menjadikan
kaum kere sekadar sebagai pekerja yang diperas keringatnya untuk mampu
menghasilkan sebanyak mungkin barang sebagai produksi, kemudian mereka
dibayar dengan bayaran yang sangat murah. "Kalibokong" adalah
gambaran penindasan yang dilakukan sebuah entitas masyarakat kelas menengah
ke atas terhadap entitas masyarakat lainnya yang tidak memiliki akses atas
pendidikan, kekayaan, high cultur
(modernisme), serta kesalehan simbolik.
Teologi
"Kalibokong" merupakan ilustrasi betapa masyarakat kecil yang tidak
berdaya hanya bisa memberikan tenaga mereka yang harganya dianggap murahan.
Jika demikian, benarlah kaum kere, tertindas, serta miskin itu kemudian harus
benar-benar tertindas secara sosial, secara politik, secara ekonomi, bahkan
secara teologis? Sungguh tak adil memperlakukannya!
Di sinilah jika kita
saksikan sekarang saat Ramadhan tiba, berbagai pengajian diselenggarakan di
hotel-hotel berbintang, pengajian dengan mendatangkan ustaz yang populer
serta selebritas dengan bayaran yang cukup tinggi, tampak paradoks dengan
realitas hidup kaum mustad'afin.
Pada bulan Ramadhan,
melakukan dan mengunjungi pengajian tentu saja perbuatan baik yang harus
dikerjakan oleh umat Islam. Tetapi, apa maknanya pengajian dengan mengundang
ustaz, dai, dan kiai yang kesohor dengan biaya tinggi dan diselenggarakan di
hotel-hotel?
Apa artinya pula
menyelenggarakan pengajian di stasiun-stasiun televisi dengan membayar mahal,
dengan berpakaian seragam yang merupakan "perkumpulan-perkumpulan"
dari kelompok masyarakat kelas menengah ke atas tertentu. Bukankah ini tak jauh
beda dengan "perkumpulan" lain yang juga memiliki atribut-atribut
tertentu sebagai bentuk politik simbolik: bahwa "kami" bagian dari
komunitas, sementara yang lain tidak!
Refleksi teologis
Di tengah
ingar-bingarnya situasi sosial politik dan sosial keislaman yang terjadi,
kita tentu berharap tumbuhnya masyarakat yang memiliki kepedulian kepada
mereka yang tertindas, termarjinalkan, tidak punya akses, serta dituduh tidak
santri. Kita perlu sebuah tafsir Islam yang memihak kaum duafa. Meminjam
Moeslim Abdurrahman, kita perlu tafsir wahyu transformatif.
Tafsir wahyu
transformatif adalah mencoba "menelanjangi" dan menyusun sebuah
kerangka metodologis gerakan umat Islam yang membela kaum duafa. Tafsir wahyu
transformatif telah dikerjakan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan,
yang membebaskan penderitaan masyarakat dari kebodohan dengan mendirikan
sekolah atau tempat pendidikan.
KH Ahmad Dahlan telah
membebaskan masyarakat dari kesengsaraan pengobatan sehingga mendirikan balai
Penolong Kesengsaraan Omoem (PKO) Muhammadiyah, yakni memberikan pelayanan
pada masyarakat miskin dan tertindas.
PKO adalah bentuk paling nyata gerakan KH Ahmad Dahlan membela kaum
miskin, penyakit kemiskinan, dan penyakit sosial lain seperti yatim piatu.
Kesalehan transformatif,
karena itu, adalah sebuah gagasan yang keluar dari refleksi teologis yang
didasarkan pada realitas sosial yang menindas atas sesama umat Islam. Oleh
karena itu, penyelesaiannya adalah membuat satu alternatif keber-Islam-an
yang dapat menggeser ketidakadilan menjadi lebih adil dalam kerangka
mengamalkan "Wahyu Langit" menjadi "Wahyu Bumi". "Wahyu Langit" adalah wahyu yang
suci dengan sekian banyak nilai. Sementara "Wahyu Bumi" adalah
praksis keber-Islam-an yang benar-benar mampu mengubah kondisi kemungkaran
sosial menjadi kesalehan sosial.
Selamat menjalankan
ibadah puasa bagi kaum Muslim.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar