Negosiasi Rantai Pemasok Global
Rekson Silaban ;
Analis Indonesia Labor
Institute
|
KOMPAS, 20 Juni 2016
Konferensi tahunan
ILO, awal Juni 2016, sedikit memanas dengan dimasukkannya agenda pekerjaan
layak dalam industri rantai pemasok global (global supply chains/GSCs). Masalahnya, selama ini GSCs-lah agen
utama sistem kerja fleksibilitas.
Dalam dekade terakhir,
diakui GSCs telah memainkan peran signifikan dalam pertumbuhan perdagangan
internasional. Selain telah menarik pekerja dari sektor produktif rendah
pertanian ke sektor yang lebih produktif (manufaktur, tambang, perkebunan dan
jasa), GSCs juga menyumbang terjadinya transfer teknologi dan pengetahuan ke
pekerja dan pengusaha lokal.
Ketimpangan tata kelola
Namun, gugatan terjadi
saat muncul kecenderungan terjadinya defisit dalam upaya penciptaan pekerjaan
layak. Peran tradisional pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas
kesejahteraan buruh memudar mengingat para agen pemasok perusahaan
multinasional (MNCs) telah menetapkan harga, jangka waktu, dan kualitas
produk mereka. Alhasil, pemerintah dipaksa hanya punya posisi to take or to leave.
Inilah suara
negara-negara Afrika dan diikuti sebagian negara Amerika Latin: "Kami sebenarnya berkomitmen
meningkatkan pekerja layak, tetapi kaum pemilik modal negara Utara telah
memaksa kami harus menerima syarat-syarat mereka sehingga kami tidak memiliki
ruang menaikkan upah layak dan menekan jam kerja panjang. Syarat perundangan
yang kami minta akan membuat GSCs mengalihkan investasinya ke negara lain
yang bisa menerima syarat kerja yang mungkin lebih buruk."
Persaingan negara
berkembang mendapatkan investasi GSCs memunculkan perlombaan minimalis (race
to the bottom). Negara yang menawarkan syarat investasi murah dengan hambatan
paling kecil jadi destinasi investasi favorit. Misalnya, banyak negara yang
menawarkan penyediaan kawasan ekonomi khusus, yang pengaturannya diatur
khusus, berbeda dengan UU nasional. Ini, misalnya, dilakukan Filipina, Sri
Lanka, dan Meksiko. Bagaimana mungkin negara berdaulat diatur oleh dua sistem
perundangan demi investasi asing? Ada juga negara menawarkan fasilitas
investasi bebas pajak sampai puluhan tahun dan tanpa aturan soal lingkungan,
seperti dilakukan Vietnam dan Kamboja.
Masalahnya, bila tata
kelola ekonomi global berlangsung seperti ini, bagaimana tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs) akan dicapai? Seperti diketahui, dari 17 target global
SDGs tahun 2030, efek GSCs berkorelasi terhadap tujuan nomor 8 tentang
mempromosikan pertumbuhan ekonomi bekelanjutan dan pekerjaan produktif;
pembangunan industri yang inklusif dan berkesinambungan (tujuan nomor 9);
penurunan ketimpangan (nomor 10), kesinambungan produksi dan konsumsi (nomor
12).
Bila MNCs berlomba
mencari negara yang menawarkan kewajiban pajak longgar, dari manakah sumber
pembiayaan pembangunan? Yang harus dijaga adalah bagaimana peran pemerintah
tetap sebagai regulator perundangan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
rakyat tak boleh digantikan oleh kekuatan korporasi internasional.
Inilah yang disinyalir
konferensi ILO sebagai bentuk ketimpangan tata kelola (governance gap) saat sebuah praktik bisnis bisa berjalan tanpa
kontrol pemerintah nasional dan global. Yang dipersoalkan di sini bukan
sistem fleksibilitas kerja, melainkan praktik negatifnya. Dalam banyak studi
ditemukan kecenderungan GSCs hanya fokus pada keuntungan, tetapi kecil
tanggung jawabnya pada perbaikan kondisi kerja, pemenuhan hak normatif buruh,
jaminan sosial, termasuk hambatan untuk pengorganisasian buruh dan pembuatan
perjanjian kerja bersama.
Hal yang paling
disoroti masalah upah dan jam kerja. Biaya produk per unit dan jangka waktu
penyelesaian pemborongan kerja sudah ditetapkan antara pembeli dan pemasok
global. Jadi, apabila pemerintah menaikkan upah minimum melebihi labor cost'
yang sudah ditetapkan pemasok global, yang sering terjadi pengemplangan upah
minimum atau aksi relokasi pabrik. Begitu juga masalah jam kerja, walau UU
sudah menetapkan 42 jam per minggu, demi mengejar target buruh terpaksa harus
bekerja melebihi aturan. Praktik inilah yang disebut sebagai "perbudakan
modern".
Dunia memang tak akan
pernah sama lagi. Bila dulu negara-negara bergantung pada penanaman modal
langsung (FDI), selanjutnya industri GSCs akan jadi sumber pendanaan penting
negara-negara Selatan. GSCs telah jadi cara umum dalam mengorganisasi
investasi, produksi, dan perdagangan global. Negara berkembang, khususnya,
menjadikan GSCs sebagai andalan untuk penciptaan lapangan kerja. Seperti yang
dilansir Organisasi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD, saat ini
diperkirakan 80 persen perdagangan global untuk kategori ekspor dilakukan
MNCs melalui GSCs).
Pilihan untuk Indonesia
Pengaturan
fleksibilitas kerja di sejumlah negara berbeda satu sama lain, tergantung
kondisi ekonomi, pasar kerja, dan cakupan jaminan sosial. Di Jepang dan Korea
Selatan, alih daya hanya untuk 26 jenis pekerjaan. Namun, tahun 2015 Jepang
merevisi aturannya. Pekerja alih daya berlaku untuk semua jenis pekerjaan,
kecuali untuk jenis pekerjaan berbahaya, tetapi dengan syarat alih daya harus
dikonsultasikan dengan serikat buruh tingkat perusahaan. Di Australia, alih
daya dibebaskan dengan syarat upah diberikan 25 persen lebih tinggi sebagai
kompensasi karena tak dapat pesangon, bonus, dan tunjangan masa kerja.
Indonesia tak terlalu
jelas dalam pengaturan alih daya. Selain membingungkan, terlalu banyak
penyimpangan dengan modus beragam. Indonesia sebenarnya bisa memilih jalan
sederhana. Pertama, bisa melalui pemberian upah yang lebih tinggi kepada alih
daya. Jumlahnya harus sepadan dengan kompensasi pesangon per bulan. Untuk
Indonesia sekitar 8,3 persen per bulan.
Kedua, menetapkan
jumlah pekerjaan yang bisa dialih daya, seperti Korea Selatan. Untuk
mengatasi kemungkinan adanya jenis pekerjaan yang sulit dikategorikan sebagai
pekerjaan bisnis utama atau pendukung, perlu ada aturan ketenagakerjaan yang
menetapkan adanya konsultasi bipartit di tingkat perusahaan. Perkembangan
industri akan terus berkembang dan makin rumit, UU pasti akan terlambat
mengadaptasi. Di sinilah perlunya melibatkan dialog bipartit. Seperti apa
yang dialami Jepang, awalnya hanya menetapkan 18 jenis pekerjaan yang boleh
dialih daya, direvisi menjadi 26 jenis, terakhir direvisi lagi menjadi hanya
sebatas kesepakatan bipartit.
Ketimpangan tata
kelola harus ditutup dengan menempatkan perundangan nasional sebagai acuan
berbisnis. Selanjutnya, harus ada tata kelola global untuk mengatur etika
berbisnis menjauh dari model persaingan dengan syarat terburuk. Melahirkan
konvensi ILO baru untuk mengatur akan hal ini jadi sangat penting. Indonesia
sebaiknya memilih jadi pendukung lahirnya konvensi baru ini nantinya.
Sebagai negara
penerima GSCs, sudah layaknya Indonesia setuju adanya pengaturan global
tentang GSCs. Sebab, secara matematis justru negara pemilik MNCs yang akan
merasa "dirugikan" dengan pengaturan ini. Jangan mengikuti kilah
negara Uni Eropa yang menyatakan tidak perlu lagi ada aturan baru karena
sudah ada pengaturan etika global untuk berbisnis yang dibuat Badan PBB tahun
2000 (The United Nations Guiding
Principles on Business and Human Rights). Sebab, faktanya instrumen ini
tak efektif. Selain tidak mengikat, perjanjian ini hanya diikuti 10 persen
MNCs dari ribuan MNCs di dunia. Ada juga instrumen yang hampir sama yang
dibuat negara OECD, ada deklarasi ILO tentang panduan berbisnis untuk MNCs,
dan ada aturan yang dibuat anak perusahaan bank dunia, tetapi semua aturan
ini tidak mengikat, jadi tidak memiliki kekuatan. Internasional perlu
melahirkan aturan yang bersifat mengikat agar ketimpangan ekonomi global
tidak semakin melebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar