Kulit Bawang Identitas
Zen RS ;
Novelis; Penulis Traffic Blues
dan Jalan Lain ke Tulehu
|
JAWA POS, 19 Juni
2016
DENGAN identitas
apakah Omar Mateen sebaiknya disebut? Jawaban atas pertanyaan itu akan
melahirkan rentetan konsekuensi yang lain. Jika disebut muslim, dia akan
dilekati atribusi: teroris. Jika dianggap warga Amerika, boleh jadi dia hanya
disebut sakit jiwa.
Omar Mateen adalah
pelaku penembakan yang menewaskan puluhan orang pengunjung kelab gay di
Orlando, Amerika Serikat. Orang tua Omar berasal dari Afghanistan. Orang
tuanya beragama Islam –begitu juga Omar. Namun, Omar lahir di New York dan
tumbuh sebagai anak serta menjadi manusia dewasa di Amerika. Dia mencicipi
dan sedikit banyak dibentuk oleh (jenjang) sistem pendidikan di Amerika.
Omar tentu bisa
disebut sebagai orang Afghanistan, setidaknya karena orang tuanya memang
tulen berasal dari sana. Omar juga bisa disebut sebagai muslim karena dia
memang memeluk Islam. Namun, Omar sangat wajar juga jika dianggap sebagai
warga Amerika. Selain lahir dan besar di Amerika, dia memang berpaspor
Amerika. Sebagai warga Afghanistan, muslim, atau Amerika, semua itu mungkin
dan sah.
Lalu, identitas
manakah yang paling mewakili Omar?
Kemungkinan akan ada
banyak jawaban atau justru tidak ada jawaban sama sekali. Sebab, apa pun
jawaban yang diberikan, hampir pasti jawaban tersebut memberangus sisi Omar
yang lain –menyangkalnya, menihilkannya. Pertanyaan di atas hanya mungkin
dijawab dengan meyakinkan dalam perspektif yang memandang identitas sebagai
sesuatu yang tunggal, solid, tak terbagi.
Masalahnya, identitas hampir selalu bersifat
jamak, plural, beraneka. Tidak ada orang yang sepenuhnya beridentitas
tunggal. Masing-masing di antara kita terdiri atas berlapis-lapis identitas.
Seseorang bisa menjadi muslim, namun saat yang sama juga merupakan seorang
laki-laki, seorang Jawa, seorang Marxis, atau seorang gay. Sekaligus juga
penggemar Persebaya sekaligus Liverpool, pemuja Pramoedya Ananta Toer dan
Maxim Gorky, hingga seorang berkulit cokelat dan berambut keriting.
Mengikuti klasifikasi
Amin Maalouf, secara garis besar identitas terbagi dua: (warisan) vertikal
dan horizontal. Warisan vertikal adalah identitas yang tidak bisa dipilih
(misalnya, jenis kelamin dan ras) –pendeknya primordial, alami, tak
tertampik. Namun, identitas horizontal bisa dipilih secara sadar dan mana
suka. Misalnya, fans Man United atau Liverpool, Teman Ahok atau Lawan Ahok,
dan jadi anggota geng motor atau komunitas fotografi.
Ketika salah satu
identitas menguat dan mengatasi identitas yang lain, itulah ’’situasi’’ yang
disebut sebagai politik identitas. Saya menyebut itu ’’situasi’’ karena
politik identitas hampir selalu muncul dalam konteks tertentu. Bukan hadir
mak mbedunduk alias sekonyong-konyong. Sebuah konteks, entah itu politik atau
ekonomi atau sosial atau yang lain, akan membuat salah satu di antara aneka
identitas menguat dan melejit ke permukaan.
Dalam konteks Ambon
pada 1999, sudah pasti identitas muslim atau Kristen yang akan mencuat. Dalam
konteks pertandingan sepak bola di Tambaksari, tidak penting lagi muslim atau
Kristen karena yang pokok adalah Bonek atau Aremania.
Di Afrika Selatan pada
masa apartheid, warna kulit jelas menjadi hal yang menentukan. Namun, di
Rwanda, warna kulit sudah tidak penting lagi karena yang menentukan
(sekaligus mematikan) adalah seseorang itu (etnis) Hutu atau Tutsi.
Menjadi perempuan di
Jerman sangat mungkin tidak berdampak, namun menjadi perempuan di Afghanistan
pada masa kekuasaan Taliban jelas akan sangat menentukan nasib. Pada 2012, di
Jakarta, tidak penting identitas anggota Gerindra atau PDIP. Namun, hal itu
bisa amat memengaruhi silaturahmi pada 2014.
Padahal, sangat
mungkin dalam situasi yang lain, sebagai contoh, seorang Hutu dan Tutsi bisa
berbagi kopi karena sama-sama menyukai Barcelona atau sama-sama menggemari
novelnya Chinua Achebe. Di luar stadion, seorang Bonek dan Aremania mungkin
saja akan jejingkrakan bareng mendengar rima ’’Barisan Nisan’’ karena
sama-sama menggemari Homicide.
Politik identitas
sering tidak terhindarkan karena, sekali lagi, seseorang kadang-kadang tidak
bisa memilih situasi. Tiba-tiba saja sebuah konteks politik datang menyergap
dan memaksa satu sama lain menegaskan diri ke mana menghadap dan ke mana pula
berpihak.
Namun, semoga lah kita
masih bisa menarik napas dalam-dalam, mengambil jeda beberapa waktu, agar
bisa melihat dan akhirnya menyadari satu hal penting: mungkin saja seseorang
yang menjadi lawan sebenarnya punya lebih banyak persamaan dengan kita
daripada perbedaannya. Entah itu persamaan etnis, ras, warna kulit, agama,
hobi, profesi, band/klub/pengarang favorit, atau persamaan-persamaan yang
lain.
Sebab, identitas boleh
jadi bukan ’’jati diri’’, yang mengandaikan seakan-akan ada inti yang ajek di
dalam diri masing-masing. Seakan-akan ada diri yang sak jati ning diri.
Kemungkinan seperti mengupas bawang: ketika kulitnya dikelupas satu demi
satu, pada akhirnya tak ditemukan satu pun biji.
Jadi, siapakah Omar
Mateen? Muslim? Seorang (Keturunan) Afghanistan? Warga Amerika? Atau bahkan,
seperti ditengarai banyak pihak, sebagai gay? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar