Paradoks Intelijen Kemenhan
Soleman B Ponto ;
Kepala Badan Intelijen
Strategis TNI 2011-2013
|
KOMPAS, 20 Juni 2016
Langkah taktis
Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya yang membubarkan 10 lembaga
nonstruktural (akan ditambah 40 lembaga nonstruktural lain) dapat banyak
apresiasi. Langkah tersebut, selain menghemat anggaran, juga merampingkan
birokrasi yang pada ujungnya membuat pelayanan kepada rakyat menjadi lebih
mudah, cepat, dan baik.
Namun, seiring
berjalannya waktu, semangat tersebut mulai mengendur dengan lahirnya beberapa
institusi baru yang mubazir dan menjadi paradoks dengan kebijakan sebelumnya.
Salah satunya adalah kebijakan baru Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard
Ryacudu yang akan membentuk Badan Intelijen Pertahanan. Dalam logika Menhan, badan ini dibentuk untuk
mendapatkan berbagai informasi sebagai landasan pengambilan keputusan dan
pembuatan kebijakan strategis.
Kebijakan vs operasional
Jika merujuk pada
tugas Kementerian Pertahanan, acuan utama adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara. Pada Pasal 16 (Ayat 1 sampai 7) UU No 3/2002
itu, dengan jelas dinyatakan bahwa tugas utama Menteri Pertahanan adalah
membuat kebijakan. Dengan demikian, terdapat pemisahan yang jelas antara
kewenangan membuat kebijakan dan yang menyelenggarakan.
Dalam menghadapi
ancaman militer, Menhan hanya sebagai pembuat kebijakan. Adapun
penyelenggaranya atau operasionalnya dilakukan oleh Panglima TNI. Sementara dalam menghadapi
ancaman nonmiliter, Kemenhan hanya pembuat kebijakan, sedangkan
penyelenggaranya atau operasionalnya dilakukan oleh lembaga atau kementerian
terkait sesuai dengan bentuk ancaman.
Maka, sejak berlakunya
UU ini, berakhir pula jabatan Menhankam/Pangab yang sebelumnya memegang
kewenangan sebagai pembuat kebijakan dan penyelenggara atau operasionalnya.
Atas dasar ini pula, turunannya-termasuk peran intelijennya-disesuaikan
dengan kewenangan Menhan, yaitu hanya sebagai "analis" informasi
untuk kemudian dijadikan kebijakan pertahanan negara. Informasi yang
dibutuhkan oleh para analis ini tidak dicari sendiri, tetapi diminta dan
disuplai dari badan intelijen yang ada, yakni dari para operator lapangan, di
antarnya Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais), dan
Atase Pertahanan (Athan).
Oleh karena
"intelijen" di Kemenhan itu hanya berupa analis, organisasinya
bernama Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan (Dirstrahan). Jangan karena
tim di direktorat ini kering alias kesulitan mendapatkan pasokan suplai
informasi lantas Kemenhan berkeinginan melakukan tugas operasional dengan
memiliki badan intelijen sendiri: itu sama saja telah keluar dari kodratnya
sebagaimana yang diamanatkan oleh UU.
Menyadari bahwa
sebagai pembuat kebijakan tidak mungkin memiliki badan intelijen sendiri, dibuatlah
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2015 tentang Kementerian Pertahanan. Pada
perpres ini, tugas Menhan atau Kemenhan yang sebelumnya sebagai pembuat
kebijakan diubah menjadi "operasional" menyelenggarakan pertahanan
negara.
Pada Pasal 2 perpres
tersebut berbunyi: "Kementerian Pertahanan mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara." Atas dasar inilah, Kemenhan mempunyai dasar
atau legitimasi untuk menjalankan tugas melakukan intelijen sehingga akan
melahirkan Badan Intelijen Pertahanan.
Namun, amat
disayangkan, lahirnya Perpres No 58/2015 menimbulkan konsekuensi serius.
Pertama, tabrakan kewenangan antara Kemenhan dan TNI. Sebagai sesama 'operator'
atau penyelenggara pertahanan negara, TNI yang mendapatkan mandat berdasar UU
No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merasa punya hak yang
sama dengan Kemenhan.
Tidak hanya dalam hal
operasional, dalam penganggaran pun akan menyebabkan benturan. UU No 34/2004
mewajibkan anggaran belanja TNI disalurkan dan diurus oleh Kemenhan. Namun,
dalam Perpres No 58/2015 tidak ada satu pasal pun yang memberikan kewenangan
kepada Kemenhan untuk menentukan anggaran belanja TNI.
Jika kemudian Presiden
mendiamkan benturan aturan ini, pada dasarnya kita kembali ke era
Menhankam/Pangab karena Menhan telah menjadi penyelenggara dan operasional.
Dengan demikian, TNI tunduk kepada Menhan. Padahal, TNI harus dipimpin oleh
jenderal aktif.
Kedua, benturan tak hanya
dengan TNI, tetapi juga dengan kementerian atau lembaga lainnya. Kalimat
"menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan" menjadi
multitafsir karena Kemenhan bisa menafsirkan sendiri makna tugas ini.
Akibatnya, tabrakan dengan lembaga atau kementerian lainnya pun akan terjadi,
termasuk di dalamnya tabrakan di bidang intelijen. Tentunya ini sangat
berbahaya.
Ketiga, terjadinya
pemborosan uang negara. Pada saat pemerintah sedang berupaya
merasionalisasikan pegawai negeri agar tidak membebani negara, lahirnya badan
baru pasti menimbulkan biaya yang tidak sedikit.
Harmonisasi
Dari fakta di atas,
langkah yang paling tepat adalah berjalan pada rel konstitusi. Merujuk UU No
12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan, dinyatakan bahwa kedudukan
hukum UU adalah lebih tinggi daripada peraturan presiden. Oleh karena itu,
mengingat Perpres No 58/2015 kedudukannya lebih rendah daripada UU, perlu
harmonisasi terhadap aturan yang ada.
Mengingat tugas dan
peran intelijen yang sangat khas, jangan hanya melihat tugas ini hanya dalam
perspektif yang sempit. Munculnya tabrakan antarintelijen akan menimbulkan
dampak yang begitu dahsyat. Jangan sampai musuh akan bertepuk tangan
kegirangan melihat adegan aneh ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar