Merevolusi Mental Pemberantasan Terorisme
Hasibullah Satrawi ;
Direktur Aliansi Indonesia
Damai (Aida) Jakarta
|
JAWA POS, 13 Juni
2016
IBARAT manusia, ada penyakit yang sangat
serius dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan selama ini di
Indonesia. Yaitu penyakit "mental".
Dalam hemat penulis, penyakit itulah yang
membuat pemberantasan terorisme selama ini gagal mencapai tujuan yang
diharapkan: mencegah pengembangan jaringan terorisme, menyembuhkan
mereka-mereka yang terpapar keyakinan yang bercorak teroristis, dan
menyadarkan masyarakat luas terkait pentingnya perdamaian.
Penyakit mental dalam upaya pemberantasan
terorisme dapat dilihat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan. Berupa
penindakan secara bersenjata, penegakan hukum dengan hukuman yang berat dan
pencegahan, termasuk program pelatihan kewirausahaan ataupun penguatan
ekonomi bagi mereka yang terpapar keyakinan terorisme.
Pendekatan Gagal
Dilihat dari perkembangan yang ada,
pendekatan-pendekatan seperti di atas telah gagal menyelesaikan persoalan
terorisme. Penindakan secara bersenjata, contohnya, hanya mampu membunuh para
teroris yang sudah ditarget maupun telah menampakkan diri di lokasi tertentu.
Keyakinannnya (isme) dan para teroris lain yang bersembunyi atau belum
ditarget tidak terbunuh oleh senjata aparat.
Kegagalan pendekatan penindakan secara
bersenjata tak hanya terjadi di Indonesia. Keberadaan ISIS saat ini bisa
dijadikan salah satu contoh. Mengingat ISIS berkembang setelah Amerika
Serikat dan sekutunya menghancurkan Afghanistan yang dianggap menjadi sarang
bagi jaringan Al Qaeda. Alih-alih terorisme selesai, kini justru muncul ISIS
yang jauh lebih canggih dan sadis daripada Al Qaeda.
Pendekatan penegakan hukum dengan hukuman yang
berat kurang lebih mengalami kegagalan serupa. Sebagian bahkan telah dihukum
mati seperti trio pelaku bom Bali I.
Alih-alih jera karena hukuman yang berat,
sebagian teroris yang sudah keluar dari penjara dengan seluruh hukuman yang
diterima justru terlibat dalam penyerangan lain yang lebih brutal. Misalnya
yang dilakukan para pelaku penyerangan di Jalan Thamrin, Jakarta, beberapa
waktu lalu.
Kegagalan kurang lebih sama terjadi dalam
pendekatan pencegahan.
Secara teoretis, jaringan terorisme tidak akan terus
berkembang bila tidak ada regenerasi atau pihak-pihak yang bermigrasi (atau
hijrah dalam bahasa mereka) dari luar jaringan. Belakangan regenerasi
jaringan terorisme justru menarget anak-anak muda yang masih aktif di bangku
sekolah.
Pendekatan kewirausahaan maupun penguatan
ekonomi bagi para teroris mengalami kegagalan kurang lebih sama. Dalam
beberapa peristiwa, penguatan ekonomi justru dijadikan momentum untuk
mengorganisasi kembali jaringan maupun kekuatan lama. Contohnya beberapa
tokoh di balik peristiwa Komando Jihad pada 1962.
Revolusi Mental
Karena itu, harus ada perubahan-perubahan
besar dan mendasar dalam upaya pemberantasan terorisme ke depan. Salah
satunya dengan menghadirkan perspektif korban dalam upaya-upaya pemberantasan
terorisme. Baik secara konseptual maupun implementatif.
Mengapa perspektif korban ini penting? Tak
lain karena para korbanlah yang selama ini mengalami dan merasakan dampak
langsung dari kejahatan terorisme. Bila suatu keahlian harus dibangun
berdasar rasa dan pengalaman (kata tokoh-tokoh empirisme), sejatinya para
korbanlah yang ahli tentang terorisme. Sebab, kata ahli tasawuf, man lam
yazuq lam yasu'ur (orang yang tak pernah mencicipi tak akan pernah merasa).
"Rasa keahlian" para korban terkait
terorisme sangat murni. Sebab, mereka menjadi ahli terorisme bukan karena
tuntutan tugas seperti aparat atau tuntutan profesi seperti pengamat dan
akademisi. Melainkan karena terpilih.
Dari segi hukum dan keamanan, apa yang dialami
para korban terorisme merupakan bukti kegagalan negara dan aparat dalam
melindungi segenap warganya.
Ketentuan perundangan-undangan maupun regulasi
dapat dijadikan cermin untuk melihat sikap negara yang abai terhadap pemenuhan
hak-hak dan peran korban terorisme. Sejauh ini hanya ada satu undang-undang
(UU) yang secara tegas mengatur hak-hak korban terorisme, yaitu UU Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Padahal, banyak korban yang
sudah menderita jauh tahun sebelumnya. UU itu pun belum diimplementasikan
secara optimal dalam pemenuhan hak-hak korban.
Di luar UU 31/2014, sesungguhnya ada dua
regulasi lain yang juga terkait dengan hak-hak korban terorisme. Yaitu UU
15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpres 12/2012
tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tapi, dua regulasi di
atas selama ini nyaris tidak bermakna apa pun bagi pemenuhan hak-hak dan
peran korban.
Saat ini pemerintah dan DPR mulai membahas
draf revisi atas UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Revisi itu harus dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menciptakan
revolusi mental dalam upaya pemberantasan terorisme sesuai dengan visi
Presiden Jokowi selama ini.
Dengan demikian, revisi tersebut tidak hanya
mencakup hal-hal yang bersifat penindakan, penegakan, dan pemberatan hukuman
yang selama ini kurang efektif dalam upaya penyelesaian terorisme. Revisi itu
juga harus menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, termasuk pemenuhan
hak-hak korban terorisme. Khususnya pemberian kompensasi secara mudah nan
cepat dan jaminan negara atas seluruh pembiayaan medis korban pada masa-masa
kritis sesaat setelah kejadian aksi terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar