Mayat dengan Tato di Dadanya
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 12 Juni
2016
PADA setiap bencana,
yang muncul berikutnya adalah statistik. Kita akan diberi tahu melalui
angka-angka berapa jumlah yang mati, berapa total kerugian, berapa yang
dirawat di rumah sakit, dan sebagainya.
Para jurnalis tahu
bahwa statistik hanya akan menjadikan tulisan terasa datar, membosankan, dan
tidak menghasilkan efek apa pun yang menyentuh perasaan. Untuk menjadikannya
lebih menyentuh, mereka menentukan angle, menentukan sudut pandang
penceritaan, dan memilih untuk menyampaikan cerita tentang bencana itu dari
pengalaman satu orang.
Dari sana, kita
disuguhi detail segala sesuatu yang menyangkut kehidupan pribadi seseorang
dan dibawa larut ke dalam nasib mengenaskan orang itu di dalam situasi
tertentu. Dan diam-diam kita menanam anggapan di kepala kita bahwa
orang-orang lain, di dalam situasi yang sama, kurang lebih serupa juga
nasibnya.
Kisah tentang nasib
buruk satu orang adalah metafora bagi nasib buruk orang-orang lain yang lebih
luas. Bencana disorot dari pengalaman satu orang, itulah angle. Kita sering
mendapati tulisan feature semacam itu di media massa dan menjadi lebih paham
ketika dibawa masuk ke dalam kehidupan satu orang, mencermati kesehariannya,
mengetahui aspek-aspek terkecil kehidupannya.
Beberapa hari lalu
saya mendapatkan video dari seorang teman, berjudul Who is Dayani Cristal?,
film dokumenter yang meraih penghargaan untuk sinematografi terbaik Sundance
Film Festival 2013.
Film itu menyampaikan
cerita besar tentang perjalanan sengsara para imigran dari Amerika Tengah
untuk menemukan surga di Amerika Serikat. Mereka meninggalkan rumah, menempuh
jarak 3.200 mil dengan bus, berdesakan di atap gerbong kereta api, untuk tiba
di tempat yang mereka tuju: pagar perbatasan.
Bus membawa mereka ke
tempat di mana tersedia tangga dari tali yang digantungkan pada pagar. Dengan
tangga itu, mereka melompati pagar dan memasuki perjalanan selanjutnya...
menuju kematian.
Padang tandus Sonora,
Arizona, dikenal di kalangan para imigran dengan sebutan lorong kematian.
Yang mampu bertahan hidup di sana adalah kaktus-kaktus raksasa yang tegak
menjulang, seperti bayang-bayang hantu saat matahari terbenam.
Statistik menyebutkan
bahwa dalam sepuluh tahun terakhir jumlah imigran yang meninggal di sana
meningkat sepuluh kali lipat. Mereka adalah orang-orang yang putus asa di
negara sendiri dan nekat menyeberanginya dengan niat luhur untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Tetapi, film tersebut tidak bicara statistik. Ia
bercerita tentang orang-orang yang ingin mengubah nasib.
”Kau juga imigran,
Tuhan, meninggalkan surga untuk turun ke bumi dan menyelamatkan kehidupan kami
di bumi,” seseorang berdoa di awal film, di depan salib Yesus. ”Aku mengikuti
jejakmu.”
Dengan cara yang
menyentuh, Who is Dayani Cristal? bercerita tentang jenazah imigran yang
ditemukan di Sonora. Dia terbujur kaku di lorong kematian ketika petugas
imigrasi menemukannya. Tentu saja dia tidak sendirian. Ada banyak jenazah
lain di sana, beberapa sudah menjadi tulang belulang.
Tidak ada kartu
identitas untuk bisa mengenali siapa dia (para imigran gelap disarankan untuk
tidak membawa kartu identitas apa pun); hanya ada secarik kertas berisi doa
di saku celananya dan tato ”Dayani Cristal” di dadanya.
”Dia terabaikan pada
saat hidup dan menjadi misteri ketika mati,” kata narator.
Gael Garcia Bernal,
pemeran Ernesto ”Che” Guevara dalam film The Motorcycle Diaries, menjadi
narator dalam film dokumenter itu. Dia memerankan salah seorang imigran,
merenungi kehidupan yang keras dan tak memberikan apa-apa, membawa kita ke
masa lalu jenazah tersebut serta mencari tahu siapa orang itu.
Memandang sebuah
peristiwa besar –atau bencana besar– dari sudut pandang satu orang selalu
akan menghasilkan efek yang menyentuh perasaan. Anda tahu, kita selalu akrab
dengan cerita dan bisa tersentuh oleh cerita. Bahkan, kita bisa dibuat
bersimpati kepada karakter Don Vito Corleone, seorang kepala mafia yang
bengis dalam film The Godfather, dan ikut bersedih ketika dia mengalami nasib
buruk.
Itu hal yang paling
patut dicemburui dari para pencerita. Dengan kecakapan yang mereka miliki,
mereka bisa membuat kita ”berpihak” kepada tokoh seperti apa pun. Tidak
selalu tokoh utama dalam cerita adalah pribadi-pribadi yang baik. Tetapi,
selalu saja kita bisa bersimpati kepadanya. Tokoh utama dalam film Raging
Bull, Jake LaMotta (diperankan oleh Robert De Niro), adalah petinju yang
mengerikan. Dia memukul istrinya dan mencampakkan perempuan itu ketika sudah
menjadi juara dunia tinju kelas menengah. Tetapi, tetap saja penonton bisa
bersimpati kepadanya.
Cerita-cerita yang
baik selalu berhasil membuat orang terpesona dan bersimpati kepada tokoh-tokohnya.
Apa pun pendapat Anda
tentang Holocaust, tragedi yang dialami orang-orang Yahudi di masa Hitler itu
telah melahirkan cerita-cerita yang menyentuh perasaan. Statistik tentang
jumlah korban yang meninggal akibat kekejaman Hitler hanya akan menjadikan
orang berdebat tentang berapa sebetulnya jumlah orang Yahudi yang meninggal.
Dan perdebatan tentang Holocaust bisa menyulut kebencian. Sebaliknya, kita
bisa bersimpati dan dihanyutkan oleh perasaan haru saat menyaksikan
cerita-cerita Schindler’s Lists, Life is Beautiful, Catatan Harian Anne
Frank, dan sebagainya yang berkisah tentang satu orang di tengah kekejaman
Nazi.
Hampir dalam semua hal
seperti itu. Statistik memberi kita gambar besar, cerita memberi kita gambar
konkret tentang kehidupan.
Gelombang imigran
gelap, rombongan orang dari satu negara yang mencoba memasuki negara lain
yang tidak menginginkan mereka, tentu saja merupakan masalah besar bagi
negara tujuan. Namun, orang tidak akan membicarakan hal itu ketika menonton
film Who is Dayani Cristal? Informasi demi informasi yang disampaikan selama
film berlangsung terasa semakin menyesakkan.
Di akhir film, kita
tahu bahwa pria dengan tato ”Dayani Cristal” di dadanya adalah seorang lelaki
Honduras berusia 29 tahun, ayah tiga anak dan suami yang tidak pernah
mendapatkan uang. Anak bungsunya menderita leukemia.
Perjalanannya
menyeberangi padang tandus Arizona mungkin keputusan bodoh, tetapi tetap
bertahan di kampung halamannya pun tidak akan membuat perubahan sama sekali.
Baginya, hidup tidak menyediakan pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar