Di Saat Ali Meninggal, Komedi Tidak Mati
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO JAWA POS
|
JAWA POS, 13 Juni
2016
Muhammad Ali sudah
pergi.
Tapi, dia tidak pernah
meninggal.
Itulah kata penutup
yang manis dari sambutan seorang komedian terkemuka Amerika Billy Crystal.
Dia bukan hanya
pemegang 33 award di bidang komedi, tapi juga dianggap adik sendiri oleh
almarhum Ali.
Jutaan orang
menyaksikan secara live siaran tv acara besar di gedung basket utama
Louisville, kota terbesar di Negara Bagian Kentucky, Jumat sore lalu itu.
Gedung basket megah
itu hanya dua blok dari Muhammad Ali Center. Museum megah yang dibangun
almarhum untuk mengabadikan kehebatan dirinya.
Sepanjang jalan dari
gedung basket ke center itu penuh dengan manusia. Melepaskan jenazah Muhammad
Ali menuju makam sekitar 10 km dari situ.
Pidato Crystal tentu
yang paling menarik. Sekitar 15.000 orang yang hadir di gedung itu
terbahak-bahak. Termasuk mantan Presiden Bill Clinton, pesepak bola terkemuka
dari Inggris David Beckham, bintang film Spike Lee, Whoopi Goldberg, Arnold
Schwarzenegger, olahragawan Ray Lewis, Jim Brown, Kareem Abdul-Jabbar, dan
banyak lagi.
Sambutan komedian itu
memang hanya 14 menit. Tapi, saya hitung berapa kali hadirin bertepuk tangan
dan tertawa ngakak: 39 kali.
Inilah upacara
melepaskan jenazah yang unik. Dibuka dengan bacaan Alquran oleh imam dari
Memphis, kota besar di Negara Bagian Tennessee, acara itu ditutup dengan doa
oleh empat imam dari empat agama: Islam, Kristen, Yahudi, dan aliran
kepercayaan suku asli American Indian.
Di tengah-tengahnya
banyak sambutan. Termasuk dari pelawak Billy Crystal tadi. Yang menilai Ali
sejajar dengan pelukis Picasso yang baru akan lahir setiap seribu tahun satu.
Crystal kenal Ali
untuk pertama kalinya saat karir lawaknya masih hijau. Saat itu Ali, juara
dunia tinju tiga kali, dinobatkan majalah Time sebagai Man of the Year.
Di penobatan itulah
Crystal mengisi acara dengan komedinya: menirukan gaya Ali di panggung. Sejak
itu karir lawaknya melejit. Dia merasa dipromosikan berkali-kali oleh Ali.
Di resepsi itu dia
bilang, Ali memang dikenal luas dengan kecepatannya mengayunkan tinju. Tidak
ada yang menandingi. ”Hanya saya yang bisa mengalahkan kecepatannya,” ujar
Crystal melucu.
”Saya buktikan ketika
saya mau tidur. Saya matikan lampu. Saya sudah bisa tidur sebelum cahayanya
menjadi gelap.”
Sejak malam penobatan
itu Ali menganggap Crystal adiknya sendiri. Suatu saat Crystal diajak lari
pagi berdua. Di sebuah lapangan golf yang aturannya ketat: tidak boleh
dimasuki orang Yahudi.
”Ali,” kata Crystal,
”Anda kan tahu saya Yahudi.”
”Tenang saja. Saya kan
Islam,” jawab Ali.
Setelah tepuk tangan
gemuruh hadirin reda, Crystal berubah wajah menjadi haru. ”Sejak itu Ali
tidak pernah lagi mau lari di lapangan golf tersebut,” katanya.
Ali juga bersedia
diajak acara pengumpulan dana untuk perdamaian. Aktivisnya para tokoh
kesenian, olahragawan, dan ilmuwan. Bahkan, Ali adalah bagian dari upaya
perdamaian itu sendiri.
Dia menentang perang
Vietnam dengan penuh risiko: gelarnya dicopot. Lalu ditambah pula hukumannya:
empat tahun tidak boleh naik ring.
Selama menjalani masa
sulit itu, Ali terus keliling dunia. Ke universitas-universitas. Dari ceramah
ke pidato. Untuk kampanye perdamaian.
Ali juga terus
memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam. Justru di saat posisi orang kulit
hitam sangat sulit. Dia memanfaatkan ketenarannya untuk perjuangan menaikkan
harkat warga kulit hitam. Yang begitu rendah diri.
”Saya hitam dan saya
cantik.” Itulah kata-kata Ali yang amat terkenal. Dia tidak segan mengatakan,
”Saya ini orang kulit hitam.”
”Postur Ali,” ujar
Crystal, ”memang gabungan antara keperkasaan dan kecantikan.”
Crystal lantas
menampilkan gambar-gambar Ali di atas ring. Berbeda dengan bentuk tubuh
umumnya petinju.
Ali itu, ucap Crystal,
juga humoris. Suatu saat ”kakak-adik” ini menghadiri upacara pemakaman
seorang selebriti yang dikenal sebagai MC terkemuka. Begitu terkenalnya,
orang sudah langsung tahu siapa dia dari jenis suaranya. Tidak perlu lihat
wajahnya.
Selebriti itu sebenarnya botak. Tapi, tidak
ada yang tahu. Kecuali teman-teman dekatnya seperti Ali dan Crystal.
Sang MC selalu
mengenakan rambut palsu yang amat sempurna. Konsisten. Publik tidak ada yang
mengira kalau itu rambut palsu.
Di saat ”adik-kakak”
ini melayat sang MC, duduknya berjajar di depan peti mayat.
Saat itulah, kata
Crystal, Ali sempat-sempatnya bertanya kepadanya secara berbisik.
”Apakah mayatnya juga
mengenakan rambut palsu,” tanya Ali.
”Saya kira tidak
perlu,” jawab Crystal.
”Apakah Tuhan nanti
kenal dia?”
”Begitu dia ngomong, Tuhan akan langsung
tahu siapa dia.”
Crystal heran
bagaimana pertanyaan yang dianggap dosa oleh gereja seperti itu
sempat-sempatnya terpikir di saat yang suasananya mestinya begitu duka.
Kini, di depan
jenazahnya sendiri, Ali tidak bisa lagi melucu.
Tapi, jutaan orang
tertawa-tawa mendengar kisah kelucuannya.
Mungkin kalau Gus Dur
meninggal di Amerika, Cak Lontong yang akan menggantikan Crystal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar