Menjerat Ring 1 Koruptor
Kurnia Ramadhana ;
Divisi Fundraising Indonesia
Corruption Watch
(ICW) Jakarta
|
JAWA POS, 10 Juni
2016
MENURUT catatan Indonesia Corruption Watch
(ICW), selama 12 tahun terakhir tak satu pun pelaku tindak pidana pencucian
uang (TPPU) pasif dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu
membuktikan bahwa KPK tidak serius menerapkan pasal 5 UU No 8 Tahun 2010.
Jika membahas secara terperinci isi pasal
tersebut, kita dapat menerima pesan bahwa tujuan pasal itu adalah menjerat
kroni-kroni koruptor.
Kalau ditinjau dari proses terjadinya tindak
pidana pencucian uang, ada tiga tahapan yang akan dilakukan pelaku korupsi.
Pertama, tahap penempatan. Pada tahap itu, pelaku pencucian uang akan
menempatkan uang hasil korupsi ke sistem keuangan suatu negara.
Kedua, tahap pelapisan. Pelaku pencucian uang
bakal berusaha mentransfer uang hasil tindak pidana korupsi ke beberapa
rekening untuk menyamarkan jejak agar tidak diketahui oleh aparat penegak
hukum.
Ketiga, tahap integrasi. Tahapan itu menjadi
akhir dari perjalanan uang-uang yang sudah disebar untuk disatukan kembali ke
dalam keuangan milik pelaku pencucian uang. Sebenarnya titik inti jika ingin
menjerat kroni-kroni koruptor ada di tahap kedua, yaitu pelapisan. Pada tahap
itu seharusnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa
langsung menemukan transaksi-transaksi yang mencurigakan untuk kemudian
dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
Harus diakui, memang dalam upaya pemberantasan
korupsi, khususnya pencucian uang, KPK telah mengalami kemajuan yang
signifikan setiap tahun. Sebut saja kasus M. Nazaruddin, Wa Ode Nurhayati,
Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, dan Akil Mochtar. Mereka menjadi sederet
nama yang telah dikenai UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Sayang, pelaku pasif dari sekian banyak kasus tersebut belum tersentuh
KPK.
Justru kepolisian yang harus diapresiasi terkait
dengan penerapan pasal 5 UU No 8 Tahun 2010 tentang pelaku pasif pencucian
uang. Dalam kasus artis Eddies Adelia, pihak kepolisian menyatakan telah
menemukan aliran dana Rp 10 miliar yang ditransfer secara bertahap ke
rekening Eddies dari rekening suaminya (Ferry Setiawan, tersangka kasus
penipuan investasi batu bara) dan menetapkan Eddies sebagai tersangka TPPU.
Belum lagi jika kita berkaca pada penanganan
kasus pencucian uang pasif di negara lain. Misalnya, di Yunani, sekitar
Oktober 2013, pengadilan Athena menghukum mantan Menteri Pertahanan Akis
Tsohatzopoulos dengan pidana penjara 20 tahun untuk kasus korupsi dan
pencucian uang. Kasus korupsi Tsohatzopoulos berawal ketika terdapat kontrak
pengadaan peralatan persenjataan dari Rusia dan Jerman.
Kekuatan Pasal 5
Setidaknya ada tiga keuntungan jika KPK bisa
menerapkan pasal 5 kepada pelaku pencucian uang. Pertama, upaya pengembalian
aset negara bisa lebih maksimal. Beberapa kasus yang sedang ditangani KPK
telah merugikan negara dalam jumlah yang banyak. Misalnya kasus M.
Nazaruddin. Pertengahan Mei lalu kasus itu baru saja disidangkan dan jaksa
KPK mengatakan bahwa Nazaruddin telah "mencuci" uang Rp 500 miliar
dalam kurun 2010 sampai 2014. Jika dalam pengusutan kasus itu KPK bisa
menerapkan pasal 5, akan banyak kroni Nazaruddin yang bisa dijerat.
Kedua, membangun budaya integritas di
keluarga. Pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang sering kali dalam tahap
pelapisan mentransfer dana-dana hasil korupsi kepada keluarga terdekat. Hal
itu harus dijadikan momentum oleh KPK. Berhasilnya KPK menjerat keluarga
koruptor akan menjadi "teguran" keras kepada keluarga-keluarga yang
masih menikmati uang hasil tindak pidana pencucian uang.
Ketiga, membuat efek jera bagi koruptor.
Penerapan pasal 5 itu setidaknya bisa menjadi teguran keras kepada para
pelaku pencucian uang. Pelaku-pelaku tersebut bisa sadar akan akibat
tindakannya, yakni bakal banyak orang yang awalnya tidak bersalah menjadi
sasaran jerat hukum karena menjadi pelaku pasif pencucian uang.
Hilangnya Keberanian
KPK sebagai sebuah lembaga yang dianggap
paling berani dan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi harus lebih
serius untuk menjerat kroni-kroni koruptor dalam kasus pencucian uang. Publik
tentu tidak ingin melihat para penikmat dana haram pencucian uang masih
beraktivitas seperti biasanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh KPK
untuk memaksimalkan penggunaan pasal 5.
Pertama, KPK bisa membangun sinergi yang lebih
kuat dengan PPATK dan penyedia jasa keuangan untuk membenahi sistem pengecekan
transaksi keuangan yang mencurigakan agar bisa diikuti dengan tindakan
represif untuk mengamankan uang tersebut.
Kedua, pola penanganan kasus tindak pidana
pencucian uang harus dimaknai dengan pendekatan yang baru, bukan lagi follow the suspect, melainkan harus
berubah menjadi follow the money.
Sasaran utamanya adalah aliran uang. Produk kejahatan pencucian uang itu
harus dijadikan sebagai subjek dalam hukum. Dengan begitu, penuntasan kasus
pelaku aktif ataupun pasif pencucian uang dapat ditindak secara maksimal.
Ketiga, diperlukan komitmen yang kuat dari
pimpinan serta penyidik KPK untuk berani menerapkan pasal 5 dalam setiap
kasus pencucian uang. Tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan yang
terus mengikuti perkembangan zaman, telah dibuktikan dari kasus pencucian
uang. Pola terstruktur dan sistematis dengan menggunakan media elektronik
dalam sistem perbankan sering kali bisa mengelabui aparat penegak hukum.
Diperlukan keberanian yang lebih dari jajaran KPK untuk bisa menjawab
permasalahan penerapan pasal 5 itu.
UU TPPU menjadi paket penting untuk
pemberantasan korupsi. Peraturan itu menjadi pintu masuk untuk upaya
perampasan aset-aset gelap para koruptor. Meminjam kata-kata Mahatma Gandhi,
"Jangan bekerja sama dengan kejahatan. Sebab, kewajiban kita adalah
bekerja sama dengan kebaikan," rasanya tepat untuk orang-orang yang
masih menikmati harta dari pelaku pencucian uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar