Mencegah Negara Gagal Fiskal
M Ikhsan Modjo ; Ekonom;
Wakil Sekjen Partai Demokrat
|
KOMPAS, 17 Juni
2016
Indonesia berpotensi mengalami gagal fiskal
pada 2016 jika tidak segera dilakukan perbaikan fundamental pada Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, yang kini
dibahas pemerintah dan DPR.
Gagal fiskal adalah suatu kondisi di mana
postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara tak mematuhi disiplin dan
kepatutan ekonomi yang digariskan aturan perundang-undangan. Kegagalan fiskal
bukanlah sesuatu yang bisa dipandang remeh dalam konteks politik kenegaraan
mutakhir. Pemerintahan Obama mengalaminya pada 2013 akibat kegagalan mematuhi
ketentuan batas maksimal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB),
yang berujung pada Fiscal Shutdown di AS.
Di Brasil,
gagal fiskal berakibat lebih ekstrem, pemakzulan terhadap Presiden
Dilma Rousseff yang dianggap melanggar ketentuan konstitusi tentang disiplin
mekanisme pembiayaan fiskal.
Dalam hal ini, secara umum bisa dikatakan, tak
banyak perubahan dalam postur kasar RAPBN-P 2016 yang diajukan pemerintah.
Total anggaran turun dari Rp 1.822 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp 1.734
triliun pada RAPBN-P 2016 akibat merosotnya penerimaan negara sebesar Rp 88
triliun. Susutnya penerimaan ini dikompensasi dengan pengurangan belanja
sebesar Rp 48 triliun dan tambahan pembiayaan utang Rp 40 triliun.
Pengurangan belanja yang tak sebanding dengan penurunan penerimaan negara
menyebabkan meningkatnya rencana defisit anggaran di 2016, dari Rp 273
triliun atau 2,15 persen dari PDB menjadi Rp 313 triliun atau 2,48 persen
dari PDB.
Rencana defisit anggaran ini secara faktual
terhitung konservatif karena realisasi defisit tahun fiskal berjalan sampai
Mei 2016 sudah mencapai Rp 189,2 triliun, atau 69,3 persen dari target Rp 273
triliun hingga akhir tahun. Angka ini membengkak hampir tiga kali lipat
dibandingkan realisasi defisit pada waktu yang sama di tahun sebelumnya,
sebesar Rp 71,2 triliun atau 32 persen dari target.
Kelemahan amnesti pajak
Dari simulasi yang kami lakukan, realisasi
defisit akan mendekati Rp 500 triliun akhir 2016. Atau, bila dirasiokan,
angka ini mencapai 4,1 persen terhadap perkiraan angka PDB, yang artinya
melewati batas maksimal 3 persen yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2003 (UU
Keuangan Negara). Dus, Indonesia terancam mengalami gagal fiskal.
Pemerintah memang mengantisipasi kemungkinan
ini dengan menyiapkan kebijakan pengampunan pajak pada RAPBN-P 2016, yang
menargetkan tambahan penerimaan Rp 165 triliun untuk mencegah
menggelembungnya angka defisit. Namun, kebijakan ini memiliki beberapa
kelemahan.
Pertama, asumsi tambahan penerimaan Rp 165 triliun terlampau
optimistik. Beberapa lembaga, termasuk Bank Indonesia, memperkirakan
penerimaan dari amnesti pajak paling tinggi Rp 60 triliun. Dengan kata lain,
ada risiko kekurangan penerimaan negara sekitar Rp 100 triliun, yang sudah
cukup membuat gagal fiskal karena rasio defisit terhadap PDB mencapai 3,6
persen.
Kedua, kebijakan amnesti pajak juga berpotensi
menyebabkan liquidity mismatch antara penerimaan dan belanja
negara. Kenaikan rencana penerimaan dari tarif tebusan pengampunan pajak yang
diperkirakan terjadi di akhir tahun sama artinya keringnya likuiditas pada
bulan-bulan sebelumnya. Karena itu, bisa dipastikan akan terjadi beberapa
penundaan pembayaran belanja atau tambahan utang modal kerja untuk menambal
kas negara.
Ketiga, kebijakan ini berbenturan dengan
beberapa UU lain, termasuk UU Perpajakan dan UU Perbankan. Pada titik ini,
terobosan hukum diperlukan karena pemerintah dan DPR tak memiliki waktu cukup
untuk merevisi pasal-pasal pada UU lain yang bertabrakan dengan UU
Pengampunan Pajak. Dari sisi keadilan, ada rasa keadilan sosial yang terkoyak
ketika para pengemplang pajak bisa menghindari sanksi administrasi dan pidana
dengan hanya membayar tarif tebusan 1-6 persen.
Keempat, pengampunan pajak merusak struktur
penerimaan negara karena ada pembengkakan penerimaan yang tak
berkesinambungan. Kebijakan amnesti pajak hanya kebijakan semu yang
memindahkan defisit anggaran dari tahun fiskal 2016 ke tahun-tahun mendatang.
Apabila ini diterapkan, penerimaan negara secara rasional akan turun di masa
depan. Sementara belanja negara cenderung tetap atau mengalami sedikit
peningkatan. Akibatnya, angka defisit akan kembali meledak.
Kebijakan pengampunan pajak juga sekadar
remedi sementara dari persoalan defisit APBN yang sudah bersifat kritis. Akar
masalah sebenarnya ada pada asumsi penerimaan negara yang tak realistis, yang
dimulai pada 2015. Pada saat itu, pemerintah menaikkan rencana penerimaan
sektor pajak hampir Rp 350 triliun atau tumbuh 26 persen dari realisasi
penerimaan tahun sebelumnya yang gagal tercapai. Bahkan, realisasi di 2015
sebesar Rp 1.240 triliun adalah lebih rendah daripada target tahun 2014 sebesar
Rp 1.246 triliun.
Sumber masalah lain adalah asumsi makro yang
ditetapkan pemerintah. Sebagaimana APBN-P 2015 di mana pemerintah bertahan
pada asumsi pertumbuhan tinggi 5,7 persen yang kemudian terbukti meleset
hampir 1 persen karena pertumbuhan tercatat hanya 4,8 persen. Pada RAPBN-P
2016, pemerintah pun kukuh mematok asumsi pertumbuhan 5,3 persen hingga akhir
tahun. Angka ini diperkirakan juga meleset karena sudah tak sesuai dengan
kondisi terakhir di mana banyak lembaga memperkirakan pertumbuhan paling
tinggi tak lebih dari 5,1 persen.
Selisih antara asumsi angka pertumbuhan dan
pertumbuhan riil yang terjadi berimplikasi pada penerimaan pajak sebagai
komponen terbesar penerimaan negara. Melemahnya pertumbuhan ekonomi
menyebabkan melemahnya penerimaan negara karena pajak sangat tergantung pada
pendapatan masyarakat dan ekspektasinya ke depan. Lebih jauh, penggunaan
angka pertumbuhan PDB pada asumsi makro APBN sudah kurang relevan untuk
mengukur potensi penerimaan. Seyogianya pemerintah menggunakan angka
pendapatan per kapita, yang walau pertumbuhannya lebih rendah pada dua tahun
terakhir, tetapi lebih realistis memotret daya beli dan potensi pajak
masyarakat.
Penyesuaian fiskal
Selain sisi penerimaan, RAPBN 2016 juga
berisiko pada sisi belanja. Pemangkasan belanja negara sebesar Rp 48 triliun
akan memiliki komplikasi yang tak kecil, baik di pusat maupun daerah. Akan
muncul banyak pertanyaan tentang prioritas anggaran dan cara yang diambil
untuk mengurangi belanja. Adapun dari sisi pembiayaan, RAPBN 2016 akan
menyerap lebih banyak dana masyarakat akibat meningkatnya utang pemerintah.
Hal ini secara langsung mengurangi jumlah ketersediaan likuiditas bagi sektor
swasta. Tambahan pembiayaan melalui utang akan mendesak keluar (crowding-out
effect) dan mengakibatkan kian tertekannya investasi dan konsumsi sektor
swasta. Padahal, tambahan utang ini diperuntukkan guna menutup current
spending yang kurang berdampak pada angka pertumbuhan.
Tentu, pihak pemerintah berargumen bahwa
posisi utang negara masih dalam kategori aman, dengan rasio utang terhadap
PDB sampai kuartal I-2016 sebesar 36,5 persen. Rasio ini juga masih di
bawah ketetapan maksimal sebesar 60 persen yang digariskan UU Keuangan
Negara.
Namun, argumen ini hanya valid sebagian.
Sebab, saat ini, selain Menteri Keuangan yang menurut UU seharusnya adalah
pengendali tunggal utang negara, Menteri BUMN juga secara de facto bisa
meminjam dari luar negeri dengan menggadaikan aset BUMN di bawah kendalinya.
Tambahan utang BUMN ini tak dimasukkan dalam perhitungan utang negara
sehingga besaran rasio yang ada cenderung bias ke bawah. Tindakan ini
sendiri pun sebenarnya sudah pengabaian disiplin fiskal yang digariskan UU
Keuangan Negara.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB bukanlah
ukuran tunggal keamanan pembiayaan, terutama bagi negara dengan ekonomi
terbuka seperti Indonesia, yang penerimaan devisanya sangat fluktuatif.
Sebagaimana pernah terjadi pada krisis 1998 dan 2008, eskalasi ketersediaan
devisa bisa berlangsung sangat cepat dan menyebabkan krisis likuiditas
domestik. Dari uraian ini, dapat disimpulkan, potensi gagal fiskal tidaklah
mengada-ada. Postur RAPBN-P 2016 sangat tak realistis dan jauh dari sikap
kehati-hatian. Ia tidak hanya melanggengkan sikap lebih besar pasak ketimbang
tiang, tetapi juga memperbesar pasak yang ada dibanding tiang karena
dilandasi postulat ekonomi yang spekulatif tentang penerimaan dan belanja
negara ke depan.
Untuk itu, tindakan penyesuaian fiskal (fiscal
adjustment) di luar pelebaran angka defisit harus diambil. Penyesuaian ini
bisa diimplementasikan melalui dua langkah: pengurangan belanja dan fiscal
switching. Pengurangan belanja dilakukan dengan memangkas lebih jauh
belanja fungsional kementerian/lembaga yang produktivitasnya terhadap
perekonomian rendah. Ruang untuk penyesuaian pada jenis belanja ini masih
terbuka lebar mengingat ada peningkatan hampir Rp 60 triliun pada APBN 2016
dibandingkan realisasi 2015.
Langkah kedua, melakukan fiscal
switching atau realokasi anggaran dari belanja yang daya stimulusnya
rendah ke jenis belanja yang daya stimulusnya tinggi. Untuk konteks saat ini,
dua pos anggaran patut dapat prioritas lebih. Pertama, penguatan anggaran
belanja modal yang pada RAPBN-P 2016 justru mengalami penurunan sekitar 8
persen. Kedua, pengadaan atau penguatan anggaran belanja negara bagi transfer
langsung pada masyarakat untuk menahan konsumsi rakyat di saat adanya
pelemahan daya beli.
Pada saat yang sama, pemerintah dan DPR perlu
kembali menegakkan komitmen terhadap disiplin fiskal negara dengan
mempertegas kepatuhan pada ketentuan batas maksimal rasio fiskal yang
digariskan UU dan menutup ruang bagi otorisasi pembiayaan di luar kendali
Menteri Keuangan. Dengan berbagai langkah ini, daya tahan ekonomi akan
bertambah sehingga negara terhindar dari kemungkinan gagal fiskal dan
komplikasi politik yang bisa disebabkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar