Menimbang Pengampunan Pajak
Yustinus Prastowo ; Direktur
Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta
|
KOMPAS, 17 Juni
2016
Rencana penerapan
pengampunan pajak masih terus diperdebatkan, bahkan cenderung membelah opini publik
ke dalam pro dan kontra yang simplistik. Pembahasan alot di DPR barangkali
merepresentasikan kegamangan publik dalam menyikapi ide pengampunan pajak.
Alih-alih mencapai
kata sepakat, pembahasan RUU Pengampunan Pajak justru masih alot. Di satu
sisi, kita patut bersyukur bahwa diskursus publik yang sehat dan elaboratif
mampu menyediakan mata awas agar program ini ditempa dan matang.
Di sisi lain,
berlarut-larutnya pembahasan yang disebabkan kegagalan masuk ke detail
persoalan, lemahnya pemahaman terhadap dinamika perpajakan internasional, dan
keengganan melakukan pembacaan internal terhadap RUU ini rawan
menggelincirkan kita pada jargon, ilusi, serta menyia-nyiakan momentum.
Melampaui pro dan kontra, kita seyogianya mencari jalan keluar paling mungkin
di tengah kemandekan ekonomi dan kebuntuan sistem perpajakan.
Jejak pengampunan pajak
Program pengampunan
pajak bukan barang baru di dunia, pula di Indonesia. Sejak Rosetta Stone di
Mesir (200 SM) di era Ptolomeus V, setidaknya sudah lebih dari 40 negara
menerapkannya, termasuk Turki, Rusia, Thailand, India, Kolombia, Mongolia,
dan Brasil pada kurun 2014-2016. Indonesia sendiri pernah menerapkan di era
Presiden Soekarno lewat Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 dan Presiden
Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984.
Mengiringi dua program
pengampunan ini, pemerintah mengimplementasikan sunset policy pada tahun 2008
dan terakhir tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak-
keduanya kerap disebut sebagai "pengampunan terbatas".
Dalam konteks itu,
pemahaman konseptual-historis menjadi penting. Baik Soekarno maupun Soeharto
menempatkan pengampunan pajak sebagai jembatan. Bagi Soekarno, pengampunan
pajak menjadi jalan keluar bagi kebutuhan modal demi Revolusi Nasional dan
Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yang salah satunya bersumber dari
uang yang belum dipajaki.
Konsiderasi dan
formulasi yang dibuatnya pun lugas, tepat sasaran, dan visioner. Adapun
Soeharto menjalankan pengampunan sebagai bagian tak terpisahkan dari Reformasi
Pajak 1983, yaitu peralihan dari official assessment menuju self assessment.
Agar sistem perpajakan baru berhasil, diperlukan pangkal tolak yang bersih
berlandaskan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Kini, 33 tahun sejak
Reformasi Pajak 1983 dicanangkan, self assessment system masih terkendala
beberapa hal: kepatuhan pajak rendah, rasio pajak stagnan, penegakan hukum
belum efektif, dan penghindaran pajak yang cukup tinggi.
Jika ditilik dari
perspektif kontrak demokratik, pajak adalah relasi dialektis hak dan
kewajiban antara negara dan warga negara. Kepatuhan pajak selalu bersifat
quasi-voluntary karena publik menuntut transparansi, perlakuan adil, dan
imbalan yang sepadan. Pertanyaan reflektif layak diajukan kepada pemerintah:
apakah fungsi pelayanan, pembinaan, dan pengawasan yang menjadi mandat
Reformasi Pajak 1983 dan kontraprestasi melalui belanja APBN telah dijalankan
dengan baik sehingga secara moral mengikat kepatuhan wajib pajak?
Bertolak dari fakta
bahwa kepatuhan wajib pajak masih rendah dan otoritas belum sepenuhnya
bekerja optimal, pengampunan pajak berpotensi ditimbang sebagai jalan keluar.
Setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati. Pertama, kondisi perekonomian
yang belum membaik dan sedang berupaya pulih membutuhkan berbagai stimulus
dan insentif. Kebijakan pemungutan pajak yang ramah tentu mendorong pemulihan
yang lebih cepat.
Kedua, stagnasi
penerimaan pajak lima tahun terakhir dan ambisi pemerintah melakukan
pembangunan infrastruktur memicu penetapan target pajak terlalu optimistik-melampaui
kemampuan alamiah-sehingga dalam jangka pendek kontradiktif dengan kondisi
ekonomi. Intensifikasi akhirnya menjadi pilihan dan konsekuensinya terjadi
pemungutan pajak yang agresif. Ketiga, kenyataan bahwa banyak dana milik WNI
yang diparkir di luar negeri merupakan potensi penerimaan pajak dan darah
segar bagi perekonomian.
Tantangan berikutnya
adalah bagaimana di tengah segala keterbatasan-baik kapasitas, regulasi,
maupun waktu-kita mampu meracik kebijakan dan strategi yang efektif dan
paling mungkin dilakukan. Secara teoretik dan ideal, kita seharusnya
melakukan penegakan hukum yang keras dan tegas terhadap para pengemplang
pajak.
Berdamai dengan mereka
melalui pemberian pengampunan dapat dipandang sebagai bentuk kekalahan
negara. Namun, kita harus mengukur diri. Pertama, bahkan terhadap
gonjang-ganjing Offshore Leaks dan Panama Papers saja kita tak berkutik dan
tak mampu melakukan tindakan yang memadai. Bahkan belum ada tanda-tanda
tindak lanjut terhadap "Jokowi Papers" yang konon lebih akurat dan
dahsyat.
Kedua, kita
mengabaikan relasi "power-property", bahwa struktur oligarkis
melanggengkan pertalian kuasa dan modal yang menyulitkan penegakan hukum.
Ingatan kita lantas kembali pada lunglainya penyidikan pajak terhadap
beberapa kelompok usaha besar beberapa waktu lalu. Ketiga, kita berimajinasi
seolah data atas dana ribuan triliun di luar negeri sudah kita kantongi dan
tinggal dilakukan penegakan hukum dengan hasil fantastik! Bukanlah justru
lambannya penegakan hukum atas data ini menunjukkan kita tak memiliki cukup
peluru dan nyali?
Keempat, jika memilih
penegakan hukum ketimbang pengampunan, kita dihadapkan pada ketentuan
daluwarsa penetapan pajak, yaitu lima tahun. Di samping itu, fakta cakupan
audit hanya 2 persen dari total wajib pajak menunjukkan keterbatasan
kapasitas Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan. Hal ini diperparah dengan
potensi sengketa pajak yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kelima, kita
terjebak simplifikasi bahwa dana triliunan itu statis dan serba terang. Padahal,
saat bersamaan, di belahan lain siasat supercanggih untuk menghemat pajak dan
melindungi aset sedang dirancang guna mengelabui era keterbukaan informasi
yang akan tiba.
Paradigma antara
Di tengah aneka fakta
dan keterbatasan yang ada, pengampunan pajak layak ditimang. Kali ini kita
berpacu dengan waktu: sekarang atau tidak sama sekali. Justru apabila
penegakan hukum dipaksakan di tengah berbagai keterbatasan, kita
melanggengkan praktik ketidakadilan karena tak pernah bisa menjangkau the
untouchable. Sebaliknya, pengampunan pajak dapat mendorong kegotongroyongan
dan keadilan baru karena bertambahnya jumlah wajib pajak dan basis pajak
baru.
Beban pajak untuk
pembangunan akan disangga semakin banyak orang dan wajib pajak kecil-menengah
serta patuh berpeluang mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum karena
semua akan masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Narasi yang harus
terus-menerus dibangun adalah pengampunan pajak sebagai transisi menuju era
keterbukaan informasi disertai penegakan hukum yang keras.
Pemerintah dan DPR
wajib memastikan program pengampunan pajak membawa maslahat bagi publik
melalui formulasi UU yang baik. Pengampunan pajak dapat dijadikan paradigma
antara (meso-paradigm) yang menjembatani transisi menuju sistem perpajakan
baru yang berkeadilan dan berkepastian hukum serta ekonomi yang tumbuh
mandiri.
Menyertai pengampunan
pajak, komitmen pemerintah dan DPR dalam merevisi UU Perpajakan yang
berkeadilan dan berkepastian hukum, memperluas akses ke data perbankan,
membentuk Badan Penerimaan Perpajakan, meningkatkan koordinasi penegakan
hukum, dan pengembangan administrasi yang mumpuni, harus diikat sebagai
prasyarat. Akhir kata, memperlakukan pengampunan pajak sebagai panasea yang
serba mujarab atau program yang secara intrinsik jahat sama-sama menyesatkan.
Di ujung lorong harapan ini, diam-diam kita merindukan Bung Karno yang tegas
dan visioner. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar