Dalam Bayang Ancaman "Proxy War"
Susaningtyas Nefo Handayani
Kertopati ; Pemerhati
Intelijen dan Pertahanan; Mantan Anggota Komisi I DPR
|
KOMPAS, 17 Juni
2016
Lebih dari satu dekade
lalu, dunia dikejutkan oleh serangan teroris terhadap gedung WTC di AS.
Sementara di Indonesia, peristiwa Bom Bali dan rangkaian aksi terorisme
lainnya, serta banyaknya WNI yang memilih menjadi anggota NIIS merupakan
indikator makin maraknya radikalisasi.
Baru-baru ini, di
tengah derasnya kebijakan deradikalisasi, wacana ancaman komunisme muncul
jadi perbincangan khalayak ramai; seolah melengkapi ancaman ekstrem kanan dan
ekstrem kiri bagi keamanan nasional. Serangkaian peristiwa tersebut merupakan
sinyalemen kuat bahwa ancaman keamanan nasional saat ini tidak hanya
berdimensi militer, juga nonmiliter dengan modus operandi yang semakin
canggih dan sering kali tak terbaca secara kasatmata, yang populer disebut
proxy war.
Ancaman nonmiliter
Dalam perspektif
ancaman keamanan, saat ini ada pergeseran paradigma terhadap ancaman yang
bersifat konvensional berupa fisik dan militer menjadi ancaman nonmiliter
yang multidimensional dan bersifat proxy war. Ketika ancaman militer hadir
dalam bentuk agresi, okupasi, spionase, dan lainnya, ancaman proxy war
bersifat tidak langsung, nonlinear, bekerja pada tataran nilai yang hadir
menyusup dalam keseharian kita, hingga dapat bereskalasi mengganggu
stabilitas keamanan nasional.
Sebagai bangsa yang
majemuk, ancaman proxy war merupakan ancaman yang berupaya melemahkan
sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia.
Sebagai pembelajaran,
kita tak perlu terlalu jauh untuk melihat peristiwa runtuhnya Uni Soviet
ataupun fenomena Arab Spring. Masih segar dalam ingatan ketika bangsa
Indonesia tertatih-tatih lepas dari rezim otoritarian menuju proses
demokratisasi: pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan kerusuhan rasial
mewarnai peta instabilitas keamanan nasional.
Pada masa itu, tampak
jelas adanya upaya untuk memperlemah Pancasila sebagai konsensus nasional
yang diseret oleh kepentingan rezim otoriter sebagai dasar tindakan represif.
Ruang kosong ideologi ini makin memperlemah kohesi masyarakat Indonesia yang
majemuk. Simbol, bahasa, nilai, dan norma persatuan nasional, kendati ada,
belum sepenuhnya mampu memadamkan berkobarnya sentimen sektarian etnis, ras,
dan agama. Tak heran bila kemudian banyak kalangan merasa terpanggil untuk
menengok kembali pentingnya Pancasila yang jadi dasar pengikat bangsa ini.
Pembelajaran ini
seharusnya jadi refleksi bagi bangsa Indonesia mengenai hal fundamental yang
tampaknya belum banyak disentuh, tetapi menjadi penentu dalam menghadapi
ancaman proxy war, yaitu pentingnya sebuah ideologi pemersatu dalam bangsa
yang majemuk. Karena itu, semestinya kita tak heran selama 70 tahun menghirup
atmosfer kemerdekaan, baru pada 1 Juni 2016-melalui keppres-Presiden Joko
Widodo menetapkan hari lahirnya Pancasila menjadi hari libur nasional sebagai
bentuk penghormatan terhadap ideologi nasional NKRI.
Namun, hendaknya
perayaan ini jangan hanya menegaskan kedaulatan politik Indonesia sebatas
seremonial. Terdapat urgensi untuk merumuskan kebijakan strategis bidang
pertahanan dan keamanan, yang disusun untuk memadukan persepsi dan
menjembatani disparitas dalam mengenali, menyikapi, dan menghadapi ancaman
proxy war dalam kemajemukan Indonesia.
Indonesia sebagai
masyarakat majemuk rentan terhadap ancaman proxy war yang berupaya menyulut
perpecahan. JS Furnivall (1948) menyatakan bahwa masyarakat majemuk hanya
berdampingan dalam teritorial, tetapi terpisah secara sosial-budaya. Merujuk
istilah Clifford Geertz (1996), Indonesia adalah "negara dengan banyak
bangsa". Sementara itu, Amartya Sen (2006) melihat masyarakat majemuk
sebagai entitas yang hanya berdampingan, tetapi tidak terikat secara
emosional-kultural.
Sebenarnya ancaman
pecah-belah ini bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sejarah mencatat, pada masa
kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat majemuk
yang dibelah berdasarkan unsur primordial etnis, agama, ras, dan golongan.
Gerry Van Klinken (2003) melihat, pembelahan ini dilakukan secara sistematis
dan terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda, seperti Hendrikus
Colijn, melalui politik "Colijnialism" atau yang dikenal sebagai
politik devide et impera.
Ironisnya, pasca kemerdekaan, di tengah lubang struktural yang terbuka lebar
mengenai lemahnya nation and character
building, isu primordial sentimen kerap mengemuka dan masih berlaku
sebagai komoditas politik maupun amunisi pemicu perpecahan dalam masyarakat.
Membangun jiwa bangsa
Dalam konteks ini,
penting menyimak kembali kutipan pidato Bung Karno pada Hari Kemerdekaan RI
tahun 1966. Ia menegaskan "membangun suatu negara, membangun ekonomi,
membangun teknik, membangun pertahanan adalah pertama-tama dan pada tahap
utamanya membangun jiwa bangsa. Tentu saja keahlian adalah perlu, tetapi
keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin
mencapai tujuannya. Inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya nation and
character building, Pancasila, Panca Ajimat, harus kita pertahankan terus,
malah harus kita pertumbuhkan terus."
Kutipan pidato Bung
Karno di atas menegaskan kepada kita pentingnya nation and character building
di atas membangun ekonomi, infrastruktur, dan pertahanan. Tampak para Bapak
Bangsa kita menyadari kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai etnis, ras, agama, dan golongan sosial lainnya. Kondisi dan situasi
seperti ini merupakan suatu kewajaran dalam sebuah negara-bangsa. Namun,
ketika perbedaan dipolitisasi dan dieksploitasi kemudian menjadi sebuah
ancaman disintegrasi bangsa, di sinilah masuknya ancaman proxy war.
Ancaman proxy war bagi
kemajemukan Indonesia, seharusnya dapat menjadi landasan bagi reorientasi
upaya nation and character building dalam mengelola kemajemukan itu. Yaitu,
dengan membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa
Indonesia. Jika kita cermati lebih dalam, Pancasila berisi nilai-nilai yang
digali dari akar budaya bangsa, seperti nilai toleransi, kemanusiaan,
kerukunan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial yang mampu
menjiwai kemajemukan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila sesuai
dengan kondisi karakter bangsa dan berorientasi pada kebutuhan masa depan
generasi penerus bangsa.
Namun, upaya nation and character building tak
dapat dilakukan secara taken for
granted, trial and error, atau sebatas seremonial belaka. Harus
diupayakan secara sistematis, terintegrasi, dan berkesinambungan oleh semua
pihak, sehingga akan muncul masyarakat dengan kesadaran identitas sebagai
bangsa di atas kemajemukan etnis, ras, agama, dan golongan sosial lainnya.
Sehingga terbangun kuatnya ikatan emosional-kultural dalam masyarakat
Indonesia yang dapat mendorong stabilitas keamanan dalam mewujudkan pembangunan
nasional di NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar